Wednesday 21 November 2012

GAJI BAGAIKAN HALUAN DAN BURITAN PERAHU, SIKAPI SEPERTI AIR DIJEDING

Ditayangkan di TV, upah buruh selaras dengan upah minimun di kota dimana buruh bekerja sepertinya di Jakarta akan disetujui  sebesar Rp 2.200.000,-. Besaran itu dibuat cukup ya cukup, dibuat kurang ya kurang.  Saya sering membuat perumpamaan penghasilan itu umpama air di jeding (bak mandi).
Alhamdulillah diri ini pernah mengalami kerja di instansi pemerintah pegawainya disebut sekarang PNS. Pernah pula kerja di perusahaan swasta sering disebut sekarang “buruh”. Pernah pula kerja di BUMN lazim disebut “karyawan”. Kini disisa usia jadi guru di pereguruan tinggi, disapa orang dosen.
Penghasilan di PNS sesuai dengan PGPNS yaitu Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, sering diplesetkan menjadi “Pintar Goblog Pendapatan Sama”. Sepintas ada benarnya juga pelesetan itu, sebab gaji diatur atas dasar pangkat, masa kerja, jabatan. Orang dengan pangkat  sama, masa kerja sama dan jabatan sama gajinya sama. Tetapi ada sebagian kenyataannya tidak sepenuhnya benar; di pegawai negeri ada instansi basah dan ada instansi kering.  Setelah berada dalam instansi basah dan kering ada pula lokasi basah dan lokasi lembab dan lokasi kering. Faktor inilah  yang membedakan pendapatan mereka. Gaji boleh sama tapi pendapatan berbeda tergantung instansi dan lokasi. Instansi dan lokasi menentukan rezeki. Tidak mengherankan seseorang pegawai negeri mempunyai kekayaan yang lebat tidak sepadan dengan gaji menurut PGPNS.  Sementara ada pegawai negeri diujung masa dinasnya banter dapat menghuni sebuah rumah klas BTN type 70an yang dimodifikasi.
Penghasilan di perusahaan swasta, mending diera saya masih bekerja di perusahaan swasta dulu belum ada istilah pegawai kontrak. Kami dulu memang ada masa percobaan tiga bulan atau enam bulan, kemudian diangkat mnjadi buruh tetap. Kalau sudah jadi buruh tetap, upahpun ada standarnya dan makin tahun makin naik, juga dapat bantuan kesehatan, dengan ditanggung ongkos berobat yang resmi, kecuali kalau berobat ke dukun, itu tidak ditanggung.
Beralih ke BUMN, lumayan waktu saya pindah kerja ke BUMN skala gajinya lumayan tinggi ketimbang dua lapangan kerja yang sudah saya lalui. Cukup dapat dibuat makan yang agak bergizi, pakaian yang lebih bermerk, memungkinkan untuk sekedar rekreasi dan bahkan masih ada untuk dapat disisihkan untuk disimpan. Pangkat jabatanpun naiknya sudah dapat diprediksi, walau ada yang berhasil  lebih baik dalam kareir karena yang bersangkutan terlihat berpretasi atau memang berprestasi apalagi bila didukung oleh koneksi.
Kini menjadi guru diperguruan tinggi, juga menadapat honor dan gaji dari lembaga pendidikan. Disamping itu sekarang pemerintah lagi berbaik hati pada para guru. Setiap enam bulan sekali kami dapat pula tunjangan lumayan bagi kami sebagai dosen telah tersertifikasi, apabila memenuhi standar BKD (Beban Kerja Dosen) yang disyaratkan.
Kembali ke pasafah “penghasilan bagaikan air di dalam Jeding”. Dari PNS, Buruh swasta, Karyawan BUMN dan Dosen. Bahwa pendapatan itu kalau sedikit, kita menggunakannyapun berhati hati, seperti air di jeding bila tidak begitu banyak, maka untuk mandi menggunakan penceduk dengan mengisi airnya sedikit-sedikit. Setelah badan terasa basah segera disabun. Kemudian air diambil lagi dalam jeding dengan ceduk yang sedikit-sedikit untuk membilas lengketan sabun. Dengan cara itupun mandi juga dan segar juga. Perlu diperhitungkan berapa orang yang harus menggunakan air yang sedikit di dalam jeding itu. Kalau ada isteri, ada anak yang akan berangkat sekolah, maka juga harus di menej dengan baik, misalnya si anak harus mandi dulu karena ia akan segera ke sekolah, sebaiknya airnya di ambilkan di dalam ember dengan ukuran harus cukup seember itu, sebab si bapak yang akan pergi kerja belum mandi. Sedangkan si isteri kalau kebetulan ibu rumah tangga, biar mandinya belakangan. Tatapi kalau kebetulan sama pekerja juga, baiknya isteri lebih dahulu mandi. Begitulah pengaturan air di jeding harus cukup dengan adanya hanya seberapa. Kalau airnya banyak cara mandinyapun berbeda. Untuk mengguyur tubuh dengan air penuh didalam gayung, diguyur beberapa kali, baru kemudian anggota tubuh disabun. Setelah itu diguyur lagi tubuh dengan air sepenuh gayung beberapa kali. mandipun tidak lagi menghitung gayung, karena air didalam jeding masih penuh tertampung.  Perumpamaan seperti inilah pendapatan seseorang atau keluarga bersumber dari upah atau gaji atau apapun namanya dari hasil kerjanya disuatu perusahaan atau instansi. “Sedikitpun cukup banyakpun kurang”.
Menyikapi upah/gaji seperti air di dalam jeding saya kemukakan di atas, sebagai langkah “apaboleh buat” harus di terima. Sebab kadang apapun yang dilakukan tidak ada pilihan, adanya hanya itu, “agar jiwa tidak terlalu terbebani, biarlah raga menyesuaikan diri”.  Sebagai manusia tentu harus terus menerus berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik, keadaan yang lebih nyaman. Itulah sebabnya setiap tahun ada saja tuntutan kelompok buruh untuk minta kenaikkan skala gaji, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, sekurangnya secara minimal. Namun sebagaimana diketahui dinegeri ini barang-barang kebutuhan pokok setiap tahun terus naik. Tarif listrik dan air bersih belum pernah ada ceritanya tahun depan menurun dari tahun sekarang. Uang sekolah, biaya berobat,  biaya transportasi begitu juga beriring sejalan dengan naiknya berbagai tarif dan harga barang.  Bila tahun ini upah minimum disetujui pengusaha dengan angka Rp 2.200.000,- untuk sementara mungkin sudah cukup memenuhi kebutuhan sangat mendasar seseorang, dengan serba kesederhanaan. Tahun depan jumlah itu sudah tertinggal lagi, begitulah terus menerus setiap tahun dari waktu-kewaktu, gaji/upah selalu tertinggal dari kebutuhan hidup, dapat dipastikan tidak akan ketemu. Bila dibuat perumpamaan posisi antara upah/gaji dan kebutuhan hidup bagaikan haluan dan buritan perahu, bagaimanapun jauhnya perahu berlayar  haluan  perahu dengan buritan perahu tak akan kunjung ketemu. Kemungkinan ketemu kalau nanti perahunya pecah, barulah bagian buritan perahu yang sudah bercerai berai dengan body perahu mungkin dapat ditemukan. Apakah setiap tahun anak bangsa ini harus terus menerus disibukkan dengan urusan demonstrasi untuk menuntut kenaikan upah? Siapapun menyadari bahwa demonstrasi menguras energi dan biaya yang tidak sedikit. Akan lebih bermanfaat bila biaya dan energi itu digunakan untuk hal lebih produktif.  Belum saatnyakah disusun suatu pola pengupahan yang lebih adil yang tidak rentan terhadap kenaikan kebutuhan hidup.

No comments:

Post a Comment