Friday 19 August 2016

TOLERANSI



Lumrah, sebagai pegawai di institusi berkantor cabang banyak, dalam masa kerja, sering dipindah menempati posisi pegawai di mana saja tersedia kantor cabang. Umumnya rumah instansi kantor cabang di daerah, siap huni bagi pegawai yang ditugaskan ke cabang tersebut.
Silih berganti rumah instansi itu berganti penghuni. Rumah instansi diantaranya ada yang dibangun disuatu komplek, puluhan pintu. Setiap pintu dihuni keluarga yang dimutasikan ke cabang tersebut.Tidak dapat memilih tentunya; misalnya milih bertentangga dengan keluarga sesama etnis, sesama suku dan sesama agama. Al hasil terima saja, dapat rumah nomor berapa, jiran langsungnya dengan siapa, pokoknya sesuai strata kepegawaian pegawai penghuninya.
Suatu ketika, keluarga kami betambiran persis dengan keluarga yang sama-sama masih punya anak-anak pra sekolah dasar. Di dekat kompleks kami tersedia sekolah taman kanak-kanak yang cukup ternama dikota itu. Dua anak kami (kedua-duanya laki-laki), dua anak keluarga tambiran rumah kami itu (seorang putera dan seorang puteri) ikutlah dimasukkan ke taman kanak-kanak tersebut. Kebetulan kami hampir bersamaan menghuni komplek itu.
Belum sepekan anak-anak tambiran rumah kami itu, sudah dapat mengikuti apa yang di ajarkan ibu guru yang mengasuh mereka di sekolah. Begitu masuk rumah kedua anak tetangga kami itu, sembari mengetuk pintu dengan nyaring dan lantang serempak mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.  Dari dalam rumah memang tidak mendapat sahutan, langsung dibukakan pintu. Esok paginya setelah dirapikan pakaiannya lengkap dengan tas punggungnya, merekapun menyalami dan mencium tangan ayah bundanya sembari mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
Sebagai tetangga tambiran rumah, meskipun mendengar, karena hanya dibatasi dinding, tidak hendak memberikan komentar apapun. Kami tidak berhak memberi tahukan kepada ayah bunda anak tetangga kami itu untuk menjawab salam misalnya. Tidak mau memberi penjelasan bahwa menjawab salam itu adalah wajib, umpamanya, karena tetangga kami menganut agama yang berbeda dengan kami. Adapun taman kanak-kanak dekat komplek kami itu kebetulan didirikan yayasan bernuansa Islami.
Senin, beberapa pekan kemudian, terlihat Bapak/Ibu tetangga kami itu berangkat dari rumah lebih pagi, dalam kendaraan ikut juga putra-putri mereka, serta pembantu. Beberapa hari kemudian kami ketahui rupanya mereka memindahkan anak-anak mereka ke taman kanak-kanak yang sesuai dengan agama yang mereka anut, walau lokasinya cukup jauh dari komplek kami.
Kubilang ke istriku, saya salut dengan tetangga tambiran rumah kita, sebab begitu baiknya mereka mempertahankan akidahnya, biar dengan adanya pengorbanan, berangkat lebih pagi, mengeluarkan sedikit ongkos untuk menjemput putra-putri mereka, karena tidak mungkin dengan hanya berjalan kaki. Demi mempertahankan akidah. Agar putra putri mereka tidak terkontaminasi akidah lain, berlaian dengan akidah ibu bapaknya.
Kami yang tinggal sekomplek, tidak mempersoalkan dan tidak pula mempergunjingkan masalah tersebut, sebab menurut kami itu adalah salah satu bentuk toleransi.
Agama Islam yang kami anut mengajarkan bahwa harus bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, tidak ada paksaaan dalam agama. Toleransi antar ummat beragama, walau bukan bertoleransi dalam beragama. Kalau sudah dalam beragama bertoleransi itu malah namanya tidak toleran. Bahkan, bila pemeluk agama Islam disuatu negara, jika Mayoritas fakta menunjukkan Islam melindungi pihak Minoritas, hidup berdampingan secara damai. Anak-anak muslim, sejak dini, sebelum dapat membaca Al-Qur’an secara keseluruhan, sudah di ajarkan membaca Juz Amma. Di Dalam Juz Amma ada surat Al-Kafirun, ayat 6-nya memberi pelajaran toleransi, “Bagiku agamaku bagimu agamamu”
Tetapi juga ada garis tegas dalam agama yang seyogyanya pihak pemeluk agama lainpun harusnya toleransi serta memahami garis-garis tegas yang ada dalam ajaran Islam dan dibukukan dalam kitab suci Alqur’an. Adalah tidak bijak jika mengatakan ustadz yang menyampaikan pesan Al-Qur’an, misalnya “jangan memilih pemimpin bukan orang Islam”, mereka ustadz penyebar kebencian, karena itu termuat dalam Al-Qur’an, bukan karangan ustadz. Ustadz-ustadz yang berceramah atau berkhutbah tentang hal “jangan memilih pemimpin yang bukan Islam”, dia hanya menyampaikan. Boleh kan kalau penganut agama Islam mentaati aturan agamanya, kalau betul-betul kita sama-sama bertoleransi. Namun pada kenyataannya misalnya kabanyakan orang Islam juga menjatuhkan pilihannya kepada Non Muslim sebagai pemimpin, para ustadz itu insya Allah sudah tidak lagi akan dimintai pertanggungan jawab tentang keustadzan-nya di yaumil akhir nanti, dia sudah menyampaikan.
Dalam agama Islam. menyadari benar bahwa ada pertangungan jawab sosial dan pertanggungan jawab pribadi. Pertanggungan jawab sosial ini akan sudah tidak terbebani lagi jika sudah diikhtiarkan maksimal. Misalnya seperti anak-anak keturunan kita, sudah kita usahakan mendidiknya dengan pendidikan Islam sejak dini. (kembali teringat dan salut dengan tetangga tambiran kami diceritakan di atas, mereka dalam rangka membimbing anak-anak mereka jangan sampai “menyimpang” menurut versi mereka). Setelah dewasa tetap dipantau dan diarahkan, tetapi tidak juga menjalankan perintah agama, tidak juga menjauhi larangan agama dan ektrimnya pindah keyakinan. Insya Allah ORTU sudah terbebas dari kewajibannya. Tanggung jawab terpulang kepada masing-masing individu. Bukan sedikit contoh, dalam Alqur’an; seperti anak nabi Nuh, Istri Nabi Luth, ayahanda Nabi Ibrahim, mereka tidak sejalan dengan Nabi-Nabi tersebut. Dalam Islam kita kenal Paman Nabi Muhammad S.A.W. yang sampai akhir hayat tidak mendapat hidayah.
Jadi toleransi, haruslah dimaknai:
·         Biarkan setiap agama menerapkan apa yang diajarkan agamanya.
·         Biarkan para pemuka agama menjelaskan ajaran kitab sucinya kepada pemeluknya.
·         Fasilitasi setiap penganut agama menjalankan perintah agamanya.
·         Tidak saling mencela apalagi mencemooh.
·         Jangan saling mengganggu masing-masing agama menjalankan syariat agamanya.
·         Tidak usah mencela ayat-ayat kitab suci agama lain, walau mungkin tidaklah dipantangkan untuk membanding untuk pencerahan, bukan untuk merendahkan.
Insya Allah, bila ini semua ditaati, tak akan timbul pergesekan dalam Masyarakat dengan stempel “Tidak toleran”,


No comments:

Post a Comment