Lumrah,
sebagai pegawai di institusi berkantor cabang banyak, dalam masa kerja, sering
dipindah menempati posisi pegawai di mana saja tersedia kantor cabang. Umumnya rumah
instansi kantor cabang di daerah, siap huni bagi pegawai yang ditugaskan ke
cabang tersebut.
Silih
berganti rumah instansi itu berganti penghuni. Rumah instansi diantaranya ada
yang dibangun disuatu komplek, puluhan pintu. Setiap pintu dihuni keluarga yang
dimutasikan ke cabang tersebut.Tidak dapat memilih tentunya; misalnya milih
bertentangga dengan keluarga sesama etnis, sesama suku dan sesama agama. Al
hasil terima saja, dapat rumah nomor berapa, jiran langsungnya dengan siapa,
pokoknya sesuai strata kepegawaian pegawai penghuninya.
Suatu
ketika, keluarga kami betambiran persis dengan keluarga yang sama-sama masih
punya anak-anak pra sekolah dasar. Di dekat kompleks kami tersedia sekolah
taman kanak-kanak yang cukup ternama dikota itu. Dua anak kami (kedua-duanya
laki-laki), dua anak keluarga tambiran rumah kami itu (seorang putera dan
seorang puteri) ikutlah dimasukkan ke taman kanak-kanak tersebut. Kebetulan
kami hampir bersamaan menghuni komplek itu.
Belum
sepekan anak-anak tambiran rumah kami itu, sudah dapat mengikuti apa yang di
ajarkan ibu guru yang mengasuh mereka di sekolah. Begitu masuk rumah kedua anak
tetangga kami itu, sembari mengetuk pintu dengan nyaring dan lantang serempak
mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. Dari dalam rumah memang tidak mendapat
sahutan, langsung dibukakan pintu. Esok paginya setelah dirapikan pakaiannya
lengkap dengan tas punggungnya, merekapun menyalami dan mencium tangan ayah
bundanya sembari mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
Sebagai
tetangga tambiran rumah, meskipun mendengar, karena hanya dibatasi dinding,
tidak hendak memberikan komentar apapun. Kami tidak berhak memberi tahukan
kepada ayah bunda anak tetangga kami itu untuk menjawab salam misalnya. Tidak
mau memberi penjelasan bahwa menjawab salam itu adalah wajib, umpamanya, karena
tetangga kami menganut agama yang berbeda dengan kami. Adapun taman kanak-kanak
dekat komplek kami itu kebetulan didirikan yayasan bernuansa Islami.
Senin,
beberapa pekan kemudian, terlihat Bapak/Ibu tetangga kami itu berangkat dari
rumah lebih pagi, dalam kendaraan ikut juga putra-putri mereka, serta pembantu.
Beberapa hari kemudian kami ketahui rupanya mereka memindahkan anak-anak mereka
ke taman kanak-kanak yang sesuai dengan agama yang mereka anut, walau lokasinya
cukup jauh dari komplek kami.
Kubilang
ke istriku, saya salut dengan tetangga tambiran rumah kita, sebab begitu
baiknya mereka mempertahankan akidahnya, biar dengan adanya pengorbanan,
berangkat lebih pagi, mengeluarkan sedikit ongkos untuk menjemput putra-putri
mereka, karena tidak mungkin dengan hanya berjalan kaki. Demi mempertahankan
akidah. Agar putra putri mereka tidak terkontaminasi akidah lain, berlaian
dengan akidah ibu bapaknya.
Kami
yang tinggal sekomplek, tidak mempersoalkan dan tidak pula mempergunjingkan
masalah tersebut, sebab menurut kami itu adalah salah satu bentuk toleransi.
Agama
Islam yang kami anut mengajarkan bahwa harus bertoleransi terhadap pemeluk
agama lain, tidak ada paksaaan dalam agama. Toleransi antar ummat beragama,
walau bukan bertoleransi dalam beragama. Kalau sudah dalam beragama
bertoleransi itu malah namanya tidak toleran. Bahkan, bila pemeluk agama Islam
disuatu negara, jika Mayoritas fakta menunjukkan Islam melindungi pihak Minoritas,
hidup berdampingan secara damai. Anak-anak muslim, sejak dini, sebelum dapat membaca
Al-Qur’an secara keseluruhan, sudah di ajarkan membaca Juz Amma. Di Dalam Juz
Amma ada surat Al-Kafirun, ayat 6-nya memberi pelajaran toleransi, “Bagiku
agamaku bagimu agamamu”
Tetapi
juga ada garis tegas dalam agama yang seyogyanya pihak pemeluk agama lainpun
harusnya toleransi serta memahami garis-garis tegas yang ada dalam ajaran Islam
dan dibukukan dalam kitab suci Alqur’an. Adalah tidak bijak jika mengatakan
ustadz yang menyampaikan pesan Al-Qur’an, misalnya “jangan memilih pemimpin
bukan orang Islam”, mereka ustadz penyebar kebencian, karena itu termuat dalam
Al-Qur’an, bukan karangan ustadz. Ustadz-ustadz yang berceramah atau berkhutbah
tentang hal “jangan memilih pemimpin yang bukan Islam”, dia hanya menyampaikan.
Boleh kan kalau penganut agama Islam mentaati aturan agamanya, kalau
betul-betul kita sama-sama bertoleransi. Namun pada kenyataannya misalnya
kabanyakan orang Islam juga menjatuhkan pilihannya kepada Non Muslim sebagai
pemimpin, para ustadz itu insya Allah sudah tidak lagi akan dimintai
pertanggungan jawab tentang keustadzan-nya di yaumil akhir nanti, dia sudah
menyampaikan.
Dalam
agama Islam. menyadari benar bahwa ada pertangungan jawab sosial dan
pertanggungan jawab pribadi. Pertanggungan jawab sosial ini akan sudah tidak
terbebani lagi jika sudah diikhtiarkan maksimal. Misalnya seperti anak-anak
keturunan kita, sudah kita usahakan mendidiknya dengan pendidikan Islam sejak
dini. (kembali teringat dan salut dengan tetangga tambiran kami diceritakan di
atas, mereka dalam rangka membimbing anak-anak mereka jangan sampai “menyimpang”
menurut versi mereka). Setelah dewasa tetap dipantau dan diarahkan, tetapi
tidak juga menjalankan perintah agama, tidak juga menjauhi larangan agama dan
ektrimnya pindah keyakinan. Insya Allah ORTU sudah terbebas dari kewajibannya.
Tanggung jawab terpulang kepada masing-masing individu. Bukan sedikit contoh,
dalam Alqur’an; seperti anak nabi Nuh, Istri Nabi Luth, ayahanda Nabi Ibrahim,
mereka tidak sejalan dengan Nabi-Nabi tersebut. Dalam Islam kita kenal Paman
Nabi Muhammad S.A.W. yang sampai akhir hayat tidak mendapat hidayah.
Jadi
toleransi, haruslah dimaknai:
·
Biarkan setiap agama menerapkan apa yang
diajarkan agamanya.
·
Biarkan para pemuka agama menjelaskan
ajaran kitab sucinya kepada pemeluknya.
·
Fasilitasi setiap penganut agama
menjalankan perintah agamanya.
·
Tidak saling mencela apalagi mencemooh.
·
Jangan saling mengganggu masing-masing
agama menjalankan syariat agamanya.
·
Tidak usah mencela ayat-ayat kitab suci
agama lain, walau mungkin tidaklah dipantangkan untuk membanding untuk pencerahan,
bukan untuk merendahkan.
Insya
Allah, bila ini semua ditaati, tak akan timbul pergesekan dalam Masyarakat
dengan stempel “Tidak toleran”,
No comments:
Post a Comment