Wednesday 18 November 2015

LESUNG dan LUMPANG



Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Demikian pepatah lama yang belum usang mengandung makna; bahwa lain daerah lain pula penuturannya, adat istiadatnya bahkan nilai-nilai yang dianggap sopan/pantas dan tidak pantaspun kadang berbeda bahkan tak jarang berlawanan di setiap daerah.
Gambar di bawah ini, menurut istilah penutur bahasa melayu (Kalimantan-Barat) adalah Lesung, suatu alat memproses Gabah menjadi Beras. Beras Menjadi Tepung. Biji Kopi menjadi serbuk Kopi. Pokoknya memproses penghalusan umumnya biji-bijaan sehingga layak diproses kosumsi lebih lanjut.
 

Peralatan itu, terbuat dari bahan kayu yang keras, di Kalimantan dari kayu Belian ada yang menyebut Kayu Besi di Kal-Sel di sebut Kayu Ulin, berupa balog kayu persegi empat panjang dibuat sedemikian rupa ditengahnya dibuat lobang/palung tempat memasukkan susuatu yang akan diproses menjadi siap untuk diproses guna dikonsumsi atau diproses lanjut.
Kenapa ku sampai menukil pepatah di atas, sebab di Jawa gambar di atas namanya bukan lengsung tetapi “LUMPANG”, sedangkan lesung bagi penutur bahasa Jawa adalah seperti yang tampak di gambar di bawah ini:
 

Fungsi lesung di Jawa untuk merontokkan butiran-butiran gabah dari tangkainya. Tidak di kenal di Kalimantan, sebab padi di Kalimantan tidak dapat diperlakukan sama dengan padi di Jawa. Padi di Kalimantan mudah rontok dari tangkainya, begitu di panen tidak dapat di bawa ke pinggir sawah seperti petani di jawa dengan dipikul hanya dengan mengikat/menghubungkan tangkai-tangkai padi sehingga menjadi sekupung padi. Padi di Kalimantan harus dimasukkan karung  begitu diambil dengan pengetam pakai alat pengetam (ani-ani), sebab kalau tidak dimasukkan karung akan langsung gugur ke tanah. Untuk memisahkan padi dari tangkainya (ruman) di Kalimantan dengan cara menggirik (diinjak-injak). Sedangkan penyimpanan padi/gabah di Kalimantan dalam keadaan curai di dalam lumbung disebut “Kepuk” terbuat dari “Kajang” semacam anyaman daun Nipah, setelah terlebih dahulu di jemur. Penyimpanan padi di Jawa untuk jangka waktu cukup lama, setelah dijemur “kupungan padi” di gantung di dalam gudang, hal ini  di Kalimantan tidak mungkin dilakukan karena sifat padi Kalimantan seperti diutarakan di atas.
Di usiaku masih anak-anak, di masa libur sekolah, sering diajak ayahandaku untuk turney ke pedalaman. Ayahandaku almarhum adalah keluarga “Api Nan Tak Kunjung Padam”, suatu lambang Kementerian yang akhirnya padam juga setelah Republik berganti tiga Presiden. Beliau ayahandaku dan rombongan rutin ke pedalaman menerangkan kebijakan pemerintah, biasanya diiringi dengan memutar film penerangan dengan layar tancap. Isi film memberikan informasi kemajuan daerah lain dan moment itupun diselingi penjelasan yang diperlukan untuk kemajuan penduduk yang dikunjungi dengan bahasa dan teknik penjelasan yang mudah dicerna Masyarakat setempat. Hasilnya Alhamdulillah sekarang kalau kita ke pedalaman, sudah maju dalam berbagai hal. Orang pedalaman yang dulu lelakinya hanya pakai “Cawat”, sekarang sudah banyak berpendidikan tinggi dan bahkan jadi pemimpin negeri ini yang kemana-mana dengan pakaian keren serta naik Pesawat. Ketika itu di pedalaman, menumbuk padi dilakukan anak-anak gadis di pagi buta, sebelum matahari belum sempurna terbitnya, mungkin memanfaatkan keteduhan. Gadis gadis pedalaman ketika setengah abad lalu itu, menumbuk padi bersama-sama sekitar enam sampai sembilan orang. Lesung yang mereka gunakan dibuat panjang di balok dalam tiga lobang. Masing-masing lobang ditumbuk bersama-sama oleh tiga orang. Iramanya cukup indah, karena mereka masing-masing 3 orang di suatu lobang lesung secara bergantian menjatuhkan alu (alat penumbuk) ke lobang lesung. Begitu pula kelompok yang tiga orang dua lobang sebelahnya berirama sahut-sahutan jatuhnya alu ke lobang lesung. Yang menarik lagi, di keadaan waktu itu, masih sangat-sangat sederhana, sembilan gadis itu hanya mengenakan pakaian yang menutupi pinggang ke bawah sampai di atas lutut, sementara bagian atas dibiarkan terbuka leluasa, sehingga irama hentakan alu ke lesung diikuti iramanya ayunan buah dada mereka yang masih polos alami itu, di bawah keteduhan pohon rindang di halaman rumah panggung mereka. Sayang waktu itu kamera digital dan vedio belum ada apalagi HP yang secanggih sekarang. Kalau umpamanya sudah ada alat secanggih sekarang, menarik juga untuk di vediokan. Tapi jangan salah, bahwa untuk situasi waktu itu, untuk kesopanan ketika itu. untuk nilai baik buruk di zaman itu, sekitar lima puluh tahunan yang silam itu, hal yang demikian adalah dianggap sopan dan tak melanggar kesusilaan sedikitpun. Sekali lagi “Lain Padang lain Belalalang, lain Lubuk lain Ikannya, lain waktu lain pula nilai-nilai normanya” 

No comments:

Post a Comment