Thursday 4 June 2015

SAMPAI TUWIR TETAP TAK MAU SALAH



Belakangan ini dengan adanya commuter line kareta api melayani Bogor, Tangerang, Bekasi melintasi kediaman kami. Transportasi ketempat tertentu yang dilintasi kereta api cukup mudah buat kami. Belakangan Jakarta kian macet. Semula beberapa tahun yang lalu, dari rumahku ke Bendunghan Hilir tempat saya ngajar, dapat ditempuh 40 menit. terakhir ini bila mengendarai mobil sendiri bisa-bisa sampai 2 jam. Tahun lalu ketempuh dengan mengendarai Bus Way, makin sekarang juga makin lama sampai ke tujuan, sebab kadang nunggunya lama dan penumpang yang nunggu sudah makin ramai di jam-jam tertentu. Disamping itu juga rada ngeri sering  liat di TV ada Bus Way yang terbakar.
Baru enam bulan terakhir ini kumengetahui, bahwa commuter line pantas jadi tumpanganku untuk pergi pulang mengajar di beberapa kawasan di Jakarta dan Tangerang. Tanpa kemacetan dan waktu tempuh hampir teratur dan terukur, dengan biaya yang jauh lebih murah bila dibanding dengan memakai mobil sendiri, memakai bus way apalagi bila dipadan dengan taxi.
Naik Kereta Api Commuter Line, memang tidak langsung sampai di depan kampus, harus disambung dengan angkot sekitar 10 sampai 15 menit, di DKI dan Jabotabek sekarang biaya angkot jarak dekat Rp 4 ribu, lebih mahal sedikit dari KA Commuter Line. Contoh tarif KA sekarang kalau ke Tangerang dari rumahku hanya Rp 3 ribu, ke stasiun “Karet”, hanya Rp 2 ribu.
Lumayan juga, kegiatan rutin sesudah purnabhakti dari kerjaan lama, sepekan dua atau tiga hari masih ketemu dengan komunitas mahasiswa. Masih dapat keluar rumah bersosialisasi dengan orang lain. Di KA CL, disediakan tempat duduk prioritas diperuntukkan bagi yang lansia, bagi ibu mengandung, atau ibu membawa bayi dan penyandang cacat. Walaupun aku belum membawa tongkat seperti dilambangkan dekat tempat duduk prioritas itu, agaknya aku sudah pantas untuk mendudukinya di usia di atas 65 bukahkan sudah lansia.
Ketika suatu hari aku akan menuju ke stasiun Karet naik dari Sentiong, tetangga dudukku ibu-ibu sudah lansia juga, mungkin lebih senior dariku. Meliwati stasiun Senen menuju Kemayoran, Ibu itu mulai membuka cerita, menanyakan diriku akan kemana. Ku Jawab akan ke Benhil. Karena pertanyaannya berkelanjutan, kujelaskan bahwa akan turun nanti di Stasiun Karet, disambung angkot ke Benhil. 
Rasa ingin tau itu ibu cukup tinggi, tanya pula apa urusanku ke benhil, semula kujawab singkat; “Kerja”. Ibu itu setengah ndak percaya melanjutkan tanyanya “Kerja kok berangkatnya tanggung, sudah pukul empatan sore begini”. Benar juga ini Ibu, kalau kerja kantoran tentu berangkatnya pagi, kalau jaga malam sepertinya ndak pantas potongannya, juga berangkatnya ke awalan.
Kujelaskan sedikit tugasku agak jujur yaitu ngajar, kelihatannya malah tambah si Ibu ndak percaya. Baru agak mudeng ibu ini setelah kusinggung, ada kampus buka mulai sore sampai malam. Malah ibu ini rupanya agak melek soal jurusan perguruan tinggi, pertanyaan makin berentet. Walau kujawab sekali sekali, sesuai pertanyaan, rasa ingin tau si Ibu  rupanya ingin memastikan dengan siapa dia duduk berdampingan di tempat duduk prioritas itu.
Tak terasa kereta tumpangan kami sudah hampir memasuki stasiun Tanah Abang. Giliran aku beratanya: “Ibu mau turun di mana”. Tenang sekali ibu ini menjawab “Stasiun Duri”. Kontan tetangga duduk yang berhadapan dengan kami nyeletuk, “Duri kan sudah lewat”. Dengan cekatan ibu tadi berguman sambil kelihatan kaget “abis Bapak si ngajak saya ngobrol”. Beliau rupanya tak bersedia salah dan balik mempersalahkan saya yang katanya sayalah yang ngajak beliau ngobrol.
Pikirku dalam hati, ini ibu sudah tuwir tetap ngak mau salah. Padahal sedari tadi dia yang mulai ngajak ngomong dengan serentetan pertanyaan. “Ok. Bu, nanti di Tanah Abang ibu turun naik lagi yang nuju Jatinegera turun di stasiun Duri”, demikian beberapa penumpang lain memberi saran. Ibu itupun menghentikan omongannya sambil menanti dibuka pintu kereta, sesampainya nanti di stasiun Tanah Abang. Sebab pintu gerbong kereta tiap stasiun yang dilintasi terbuka sangat sebentar, kalau terlambat keluar, pintu tertutup kembali baru terbuka stasiun berikut. Kebetulan kali ini kereta agak lama bertahan sebelum dapat lampu hijau masuk ke stasiun Tanah Abang. Untungnya sampai di Stasiun Tanah Abang si Ibu masih sempat menucapkan salam perpisahan.
Dalam perjalanan terusan kereta, kuingat tulisan-tulisan ku terdahulu dan juga sering kusampaikan dihadapan audienceku penyebab kenapa bangsa kita tidak mau mengakui kesalahan. Penyebabnya adalah kita sejak kecil oleh pengasuh kita, sudah dibiasakan tidak pernah salah. Contohnya kalau kita masih kecil baru pandai berjalan, tiba-tiba dengan tak sengaja menyenggol sudut meja terkena pelipis atau kepala kita, tentu saja kita yang masih kecil itu menangis sejadi-jadinya disebabkan sakit. Untuk mendiamkan kita agar berhenti menangis, pengasuh kita lantas memukul meja berkali-kali dan mempesalahkan meja, dengan kata-kata “meja nakal-meja nakal”. Sejak masih baru pandai berjalan kita sudah diajari bahwa kita tak pernah salah, walau kenyataannya tu meja diam ditabrak oleh kita, tetap saja meja yang salah. Pelajaran itulah yang terbawa oleh kita sampai tua, semisal Ibu yang manula sekereta dengan saya tadi.

No comments:

Post a Comment