Friday 23 January 2015

Objective dan Subjective



Dalam suatu kampanye, sang “jurkam”, dengan suara lantang penuh percaya diri berpidato diruang sebuah sekolah SD di suatu desa dengan penerangan lampu petromak. Antara lain pidato yang berapi-api itu: “Kita harus mampu memilih wakil-wakil kita yang representative, untuk duduk dilembaga legeslatif dan akhirnya wakil-wakil rakyat kita itu nanti akan menentukan kita punya nasib, sebab merekalah yang nantinya akan mengangkat siapakah yang akan menjadi pemimpin eksekutif di negeri kita ini, agar mereka memimpin kita dengan arif, memimpin negeri kita ini dengan kreatif penuh inisiatif dan inovatif tetapi tetap objektif”. Ini adalah kampanye pemilu sebelum jaman reformasi, sebab Pilkada dan Pilpres belum langsung dipilih oleh rakyat.
Walau kalimat pidato yang dikutip di atas, disampaikan dengan kalimat panjang tanpa jeda dan senapas, karena  diucapkan dengan lancar dengan intonasi yang baik, agaknya para hadirin yang sebagian tetua kampung itu, terpana diam dan penuh kemengertian.
Sebagian tetua kampung yang usianya yang sudah kepala enam, didudukkan dibarisan depan dengan kursi “sedan” (istilah di kampung = kursi yang empuk besar dan rendah, mungkin sebangsa kursi sofa). Si jurkam sempat melirik ketika ia sedang pidato, bahwa beberapa diantara tetua itu mengeluarkan sapu tangan dan menyeka matanya. Agaknya mereka terharu dan bahkan ada yang menangis sambil menahan cegugukannya.
Karena rencana pidato yang akan disampaikan belum selesai, si jurkam terus saja meneruskan pidatonya sampai seluruh materi tersampaikan sesuai scenario yang ditetapkan partai untuk merebut hati rakyat. Tetapi di akhir pidato, sebagai kesimpulan diucapkan kembali isi pidato seperti yang terkutip di atas. Langsung saja Bapak-Bapak tua di barisan depan mengambil lagi sapu tangan dan mengusap matanya dan diantaranya ada yang cegugukan.
Sudah menjadi tradisi, setiap ada acara begini ada jeda isterahat untuk beramah tamah, walau acara sudah ditutup, namun keramah tamahan bangsa kita tetap terjaga. Tamu dihormati sambil menikmati minum atau makan walau ala kadarnya kue penganan berbahan tepung singkong buatan kampung. Bapak dibarisan depan yang mengusik perhatian sang jurkam, sudah pulang duluan, karena mereka umumnya tidur tidak boleh terlalu malam. Kalau terlambat tidur dari pukul 10 han malam, nanti bakal “kancilan” (yaitu susah tidur sampai pagi). Ujungnya bukan mustahil bakal jatuh sakit.
Begitu para tetua itu pulang, tidak sabar si jurkam ingin mengetahui, apa gerangan yang membuat pak-pak tua itu pada terharu dengan pidatonya, betul-betul mengherankan, sebab pidato yang sama juga disampaikan dengan meteri yang sama dikota dan di desa lain. Sampai hapal si jurkam itu dengan kalimat-kalimat pidato yang harus disampaikan. Namun tidak menemukan reaksi seperti dikampung ini.
Iapun bertanya dengan seorang anak muda yang menjadi panitia penyambutan jurkam, merupakan kader partai di kampung itu. “Apa agaknya yang membuat pinisepuh-pinisepuh kita itu terharu dengan pidato saya itu” tanya si jurkam. Lama juga si ketua panitia tidak dapat memberikan jawaban, setelah terjadi berapa jurus dialog. Walau si ketua panitia juga melihat kejadian itu, karena ia duduk di kursi di belakang meja, berhadapan dengan hadirin. Akhirnya salah seorang dari hadirin yang masih ada dalam majelis, sudah agak berangkat tua usianya mungkin di bawah enampuluhan menjelaskan. “Begini pak, dahulu di kampung ini, pernah ada seorang guru ngaji yang sangat-sangat kami hormati dan disayangi oleh penduduk. “Seregi guru” (sebutan sangat hormat untuk mendiang), bernama “Abdul Latif”. Ketika Bapak menyebut-nyebut “reperesentatif”, “eksekutif”, “legeslatif”, “Inisiatif”, “inovatif”, “kreatif” dan “objektif”, para penisepuh itu tergugah kembali ingatannya kepada “tuan guru” yang teramat mereka hormati dan sayangi. Mereka mungkin menyangka bahwa Bapak kenal atau setidaknya pernah tau reputasi “tuan guru” mereka itu. Itulah sebabnya sebagian terharu dan mungkin ada yang menangis.”
Belakangan istilah-istilah penuh dengan “tif” di atas banyak lagi digunakan misalnya kata “Objective”. Yang diartikan menurut kamus bahasa adalah: “menurut kenyataan” jadi tak boleh ditambah-atau dikurangi, bolah juga di kata arti objective “apa adanya”. Sebagai lawan objective ialah subjective. Menurut kamus, subjective diartikan “menurut pandangan sendiri”. Persoalannya adalah, sepertinya kita dipertotonkan di madia bahwa agaknya “Objective” itu sendiri mengandung “Subjective”, sebab setiap pakar sepertinya menterjemahkan menurut kenyataan itu berbeda-beda. Kalau sudah berbeda-beda artinya tidak sesuai kenyataan, kalau sudah tidak sesuai kenyataan kan artinya “subjective”.
Pinisepuh di kampung diceritakan di atas mungkin sudah tiada, dan yakin kalau nanti pemilu mendatang jurkam datang lagi ke kampung itu dengan pidato yang sama, sudah dipahami hadirin. Tapi cerita ini memberikan pelajaran buat kita bahwa kalau memberikan penjelasan kepada suatu lingkungan, sebagai apapun kita, apakah sebagai jurkam, sebagai penceramah, sebagai pemberi materi disuatu kelompok sebaiknya dipelajari lebih dahulu, atau sekurangnya dicari informasi tentang audience anda. Selanjutnya ketika berbicara kitapun dapat menggunakan bahasa yang dapat dimaknai oleh para penanggap kita.

No comments:

Post a Comment