Wednesday 17 December 2014

RUMAH KEBESARAN




Karebatku ketika masih aktif, sehat dan kebetulan usahanya sukses membuat rumah lumayan besar punya tiga belas kamar standar. Setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi, AC dan seperangkat perabot termasuk TV.
Beralasan memang, kerabatku itu membuat rumah begitu luas, karena punya anak sembilan orang, jadi kamar dipakai sendiri sebuah, untuk anak-anak masing-masing sebuah, komplit terpakai sepuluh kamar. Hitung-hitung kalaulah dikatakan “idle room” ada 3 kamar, tapi itu diperuntukan yang dua buah untuk kemenakan yang numpang hidup untuk kuliah, sebuah lagi dicadangkan buat keluarga dari kampung kadang mampir ke Jakarta nginap semalam dua malam.
Mamang hidup ini tidak kekal selamanya begitu terus, anak-anak satu-satu mulai berkeluarga, selanjutnya misah tidak serumah lagi dengan ORTU. Bagi anak kandung mungkin tetap enak saja, tapi lainhalnya dengan mantu, salah sedikit saja mertua ngomong sudah rasa teriris hati oleh sembilu. Tidak itu saja kadang bahasa tubuh si mertua saja dianalisis, mending kalau postif, kebanyakan out put analisis jatuh ke negatif.
Belum genap limatahun dari mgunduh mantu yang pertama, kamar-kamar sudah semuanya kosong. Kemenakanpun rupanya tidak ada lagi yang numpang, kemenakan yang dulu numpang kuliah sudah pada kerja dan mapan. Kemenakan cucu, sudah lain lagi mereka ganti generasi, kalaulah ada yang numpang kuliah, mereka memilih kerumah paman atau tantenya yaitu anak kerabat saya tadi.
Rumah besar dan kosong bukan mudah bagi Manula diatas mendekati tujuhpuluhan. Rumah bertingkat dua itu, cukup sulit mengurusnya, untuk menghidup dan mematikan listrik yang penting-penting dilantai dua saja merupakan pekerjaan yang membuat pusuh nafas. Belum lagi kalau sesekali harus ngurusin debu dan jelaga. Apalagi kini TDL naik terus, kalau ndak cekatan menghidup dan mematikan lampu,  tariff bulanannya begitu tinggi. Menurut banyak orang, kalau malam listrik diruangan kosong tidak dinyalakan alamat bakal ditempati Gendrowu. Serba salah memang, dari pada kamar dihuni Gendrowo, susah ngusirnya, sudahlah terima nafas puso ngidup matikan lampu.
Lama-kelamaan ada wacana ingin menjual saja rumah yang sudah dibangun susah payah dimasa muda itu, selanjutnya ingin membeli rumah yang sedikit kecil cukup untuk sepasang nenek dan kakek. Atau lebih baik menyewa saja rumah yang labih kecil agar biaya bulanannya tak tertalu tinggi. Mungkin kalau dijual untuk dibelikan rumah lagi, agaknya para pembaca sebagian besar mendukung. Tapi kalau kerabatku yang sudah Manula itu ngontrak, sepertinya banyak handai tolan ndak setuju. Sebab kalau misalnya rumah tersebut terjual katakanlah Rp100, selanjutnya untuk menyewa misalnyalah Rp5, maka 20 tahun rumah tersebut habis tak bepuing. Betul,…. nenek dan kakek undur panggung dunia mungkin ndak sampai 20 tahun, tapi harus diingat bahwa itu nenek dan kakek kan punya keturunan. Jadi keturunan tidak lagi punya bekas-bekas peninggalan ORTU.
Kalau kisah ini dipersamakan dengan Negara, maka bangsa ini kan rencananya hidup terus. Generasi silih berganti dan generasi yang akan datang tentu akan lebih ramai jumlahnya dari generasi kini. Dapat saja terjadi bahwa sebuah gedung kini terasa besar, 20 tahun kedepan sudah kecil.
Kusarankan kepada kerabatku itu, udahlah, itu rumah jangan dijual, pasarkan untuk disewakan buat kost-kost-an ber AC. Ternyata begitu di informasikan, langsung kamar-kamar tersebut terisi penuh. Untuk pengawasan dan Pengelolaan Administrasi, sebuah kamar diperuntukkan bagi seorang yang digaji sebagai pengurus rumah kost. Lumayan di Jakarta rumah setara rumah kerabatku itu per kamar sekurangnya Rp 2,5 juta per bulan. Sebagai tambahan, bahwa untuk menerima orang yang kost harus diteliti identitas dan statusnya, sabab kalau tidak ada sedikit bahaya jika dihuni orang yang tidak baik. Buat saja pembatasan persyaratan sehingga hanya terjaring orang-orang yang baik.
Kayaknya kalaulah ada gedung pemerintah yang dirasa mubajir, rasanya lebih mudah lagi. Bukankah ada instansi pemerintah yang katanya menganggarkan untuk membangun gedung karena gedung lama sudah tak memadai. Tukar aja gimana ya, yang pegawainya sedikit nempati gedung kecil, yang karyawannya banyak nempati gedung besar.  Atau kalau mau niru model kerabatku itu, bagaimana ruangan itu di sewakan ke perusahaan-perusahaan, duitnya masuk kas Negara.
Selamat mencoba ………

No comments:

Post a Comment