Sunday 14 October 2012

PEMICU KEBERANIAN


Ada pepatah cukup populer “Berani karena benar, takut karena salah”. Pepatah ini ada kalanya benar, tetapi dalam konteks tertentu malah sebaliknya, salah. Dikisahkan dalam suatu kebijakan, seorang memutus perkara: “perihal dua orang ibu bersengketa seorang bayi”. Masing-masing ibu mengaku bahwa bayi itu miliknya. Singkat kisah ketika dibawa ke pemutus perkara, diputuskan si bayi dibelah dua. Salah seorang ibu dengan spontan menerima keputusan itu, dia berani melihat kenyataan sibayi dibelah dua. Sementara ibu yang satunya lagi, tidak berani melihat kenyataan sibayi dibelah dua dan menyatakan rela bayi itu diserahkan ke ibu yang berani itu. Hakim justru memutuskan bahwa ibu yang tidak berani itulah yang berhak atas bayi yang disengketakan itu. Dalam hal ini “berani karena salah”, “takut karena benar”
Di suatu pengadilan primitif  darurat di pedalaman kampungku Kalimantan Barat bagian selatan sana, pernah terjadi petinggi adat setempat memutuskan perkara dua orang bersengketa dengan keberanian memegang bara. Dua orang bersengketa atas kepemilikan sesuatu barang, masing-masing pihak mengaku bahwa barang itu miliknya, dengan mengemukakan sejumlah bukti-bukti dan ciri serta asal usul barang dan juga tidak ketinggalan saksi. Karena kedua belah pihak punya bukti yang sama kuat, punya saksi yang sama banyak, punya argumentasi yang sama meyakinkan, maka petinggi adat setempat memutuskan untuk ditempuh cara adu berani. Caranya ialah dengan membakar sepotong “kayu LEBAN”. Setelah kayu tersebut merah membara diminta kepada kedua orang yang bersengketa untuk memegang “bara kayu LEBAN”. Diyakini bahwa siapa yang berada di pihak benar akan memegang “bara kayu LEBAN itu”  dengan tidak mengakibatkan tangannya luka bakar. Sedangkan pihak yang hanya mengaku-ngaku maka ketika memegang kayu akan menjerit kesakitan,  tangannya akan luka bakar serius. Kedua orang yang bersengketa didudukkan dalam suatu majelis disaksikan para pemuka masyarakat  pada upacara ritual pemutusan perkara dilangsungkan. Akan terlihat ketika bara sudah siap, siapa yang lebih percaya diri akan kebenaran dirinya terlihat dari bahasa tubuh masing-masing, sejak itu petinggi pemutus perkara sudah dapat menarik kesimpulan barang sengketa sesungguhnya milik siapa. Sebab yang bersalah sejak bara hampir siap, sudah mulai salah tingkah dan sekujur tubuhnya sudah mengeluarkan keringat karena ketakutan dan wajahnyapun pucat pasi, senyumnyapun terpaksa.  Dasar acara ini ritual juga tetap dilaksanakan, benar saja pihak yang benar tangannya tidak apa-apa dan pihak yang salah baru saja memegang bara langsung menjerit kesakitan. Disini benar pepatah di atas, “Berani karena benar, takut karena salah”
Menyoal takut atau berani ini, sepertinya ada lagi faktor lain selain contoh di atas sehingga dapat disimpulkan ada beberapa faktor pemicu takut dan keberanian ialah:
1.    Orang berani karena tidak tau
2.    Orang takut karena taunya hanya sedikit.
3.    Orang akan lebih berani kalau betul-betul mengetahui.
4.    Orang berani karena sebagai puncak rasa takut.
5.    Orang berani karena terpaksa

Berani karena tidak tau.
Tahun 1988, saya sekeluarga (isteri dan dua anak) beserta ibuku dan ayahku bepergian ke pedalaman Kalimantan Barat bagian selatan menyusuri sungai Pawan menumpang sampan bermesin milik kerabat kami yang tinggal di anak sungai Pawan. Kru sampan itu tiga orang jadi jumlah rombongan kami 9 (sembilan) orang termasuk anak saya masih usia 5 tahun dan 6 tahun.  Perjalanan lancar menyusuri sungai Pawan, melawan arus sepanjang  siang dan malam hari sekitar 20 jam, sebab sungai Pawan cukup besar dan dalam. Keesokan harinya kami mulai masuk ke anak sungai, setempat dikenal sungai Pemahan. Kini atap sampan bermesin itu harus dibuka, lantaran sungai begitu kecil dan berkelok-kelok, kadang ada dahan-dahan pohon yang menjuntai ke sungai, jika atap tidak dibuka akan mengganggu lajunya perjalanan. Kurang lebih setengah hari perjalanan masuk ke hulu anak sungai, ternyata ada bagian alur anak sungai yang dangkal, membuat perahu kami kandas di atas dasar sungai yang mendangkal. Dasar sungai pasir bercampur lumpur, dikiri kanan sungai terlihat semak belukar. Kru sampan berusaha meloloskan perahu kami dengan menekan galah (terbuat dari bambu panjang, salah satu ujungnya ada kaitnya). Kait sangat berguna membantu lajunya perahu untuk dikaitkan ke dahan pohon. Di lokasi kami kandas kebetulan tidak ada pohon yang dekat. Satu-satunya fungsi galah hanya ditekankan ke dasar anak sungai. Sudah dicoba beberapa kali dengan galah di kiri kanan sampan, namun perahu tidak bergeser. Sementara satupun kru sampan tidak ada yang berupaya turun ke air yang dalamnya tidak sampai sepaha orang dewasa itu. Akhirnya dengan spontan saya mencebur ke sungai, mendorong perahu kami dari buritan. Alhamdulillah perahupun bergeser. Kupikir ada dua penyebab perahu dapat bergerak maju. Pertama muatan perahu berkurang sekitar 80kg (bobot badan saya waktu itu). Kedua daya dorong dari buritan cukup kuat dibanding tekanan galah dari atas sampan.  Perahupun berjalan normal sampai kami petang harinya sampai di tempat tujuan, sebuah desa “Semayok” kelurahan Pehibingan Kecamatan Tumbang Titi. Di dalam perahu setelah melewati kandas itu, saya penasaran ingin mengetahui kenapa kru perahu tidak satupun mau turun ke anak sungai, ditempat kami kandas. Kemudian setelah kami bersantai dirumah, kru perahu menjelaskan bahwa mereka takut untuk turun ke sungai di daerah itu, sebab terkenal di situ bersarang buaya dikiri kanan sungai, di semak-semak mereka bergerombol.  Saya satu-satunya orang yang berani turun ke sungai. Keberanian saya itu disebabkan saya tidak mengetahui bahwa tempat kami kandas adalah sarang buaya.
Teringat saya ketika tugas di bank setelah berdinas kurang lebih 10 tahun  dimutasikan oleh atasan ke bagian Ekspor-Impor sebagai pejabat, kewenangan saya antara lain diberi hak menanda tangani schedule of remittance (SR). Sarana menagih hasil ekspor ke bank koresponden di luar negeri. Terus terang saya tidak mempunyai latar belakang  bidang ekspor-impor dan ketika masih jadi pegawai TU juga belum bertugas di bidang ekspor-impor. Apa boleh buat ini tugas, walau dengan pengetahuan hampir nol, tugas saya jalankan. Saya rasakan bahwa keberanian saya sangat tinggi. Begitu berkas-berkas negosiasi hasil ekspor diserahkan anak buah ke meja saya, dengan membaca sekedarnya dengan segera penuh keberanian saya tanda tangani.  Sebab hasil cair dari nilai lawan rupiah hasil ekspor itu sudah ditunggu nasabah diantaranya ditarik melalui kliring (waktu itu di daerah, kliring sehari harus selesai), betul-betul saya bekerja di bawah tekanan. Sekali lagi karena saya tidak begitu mengatahui seluk beluk dokumen negosisi ekspor waktu itu, maka segera saja saya tanda tangani dimana tempat saya harus membubuhkan tanda tangan. Akibatnya lumayan, sebagian oleh koresponden bank luar negeri  pembayaran ditolak karena ternyata terdapat discrepancy (penyimpangan dokumen).   Disinilah saya simpulkan bahwa orang akan berani kalau ia tidak tau.
Takut karena taunya hanya sedikit.
Penolakan pembayaran di luar negeri atas beberapa dokumen lampiran SR yang saya tanda tangani, membuat saya sedikit demi sedikit mempelajari lika-liku dokumen ekspor mengenai syarat dan kondisi dokumen yang “complying presentation”, tidak akan ditunda atau ditolak pembayarannya. Seiring dengan mulai sedikit agak tau, maka saya jadi orang yang paling penakut menandatangani SR. Setiap SR dibaca berulang-ulang dengan cermat, dilihat dengan teliti, kadang untuk cadangan negosiasi besok hari saya minta anak buah sudah menyiapkan hari ini, untuk dipelajari lagi dirumah. Tetapi juga  masih saja ada yang lolos,  saringan  saya mencermati dokumen rupanya belum betul-betul baik lantaran masih keterbatasan ilmu dan teknik penelitian. Dalam hal ini kesimpulannya  bahwa orang yang taunya hanya sedikit, akan ragu-ragu dan takut. Seperti halnya kru perahu kami sedang kandas itu, mereka taunya bahwa sekitar itu banyak buayanya, sangat mungkin mereka belum melihat sendiri tepatnya dimana sarang buaya yang menakutkan itu, oleh karena itulah mereka takut.
Lebih berani kalau betul-betul mengetahui.
Pengalaman demi pengalaman ditolaknya pembayaran hasil negosiasi wesel/hasil ekspor ke bank luar negeri, membuat saya lama kelamaan menemukan cara mensiasati persiapan dokumen yang akan diajukan nasabah. Akhirnya saya menemukan formula untuk mengetahui anatomi L/C dan dengan demikian begitu L/C di terima sudah dapat diketahui berapa macam dan berapa jenis dokumen yang harus dipersiapkan oleh eksportir. Begitu dokumen siap, ditemukan kunci memeriksanya, sehingga tidak akan lolos. Selanjutnya saya tularkan pengetahuan itu bukan saja kepada anak buah dan rekan-rekan bidang “trade service” di kantor bank, tetapi juga kepada para pengusaha audience saya dalam pelatihan-pelatihan. Saya sempat menulis empat buku mengenai ekspor impor dan jauh sebelum pensiun saya sering diundang mengajar oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta lembaga pelatihan ekspor-impor lainnya. Dalam kesempatan mengajar di kedua departemen itu dan instiutusi pelatihan bidang ekspor-impor saya tularkan pengetahuan dimaksud kepada masyarakat ekspor impor yaitu teknik dan cara menghindari penolakan pembayaran hasil ekspor di luar negeri tersebut. Setelah menemukan kunci-kunci pemeriksaan dokumen diawali dengan memahami anatomi L/C, pekerjaan menjadi lancar dan menjadi lebih berani menangani transaksi dengan menggunakan L.C, sebab betul-betul mengetahui rahasianya. Itulah sebabnya saya berkesimpulan kalau seseorang betul-betul mengetahui, ia akan menjadi lebih berani.
Teringat saya menyoal soal buaya, tetangga rumah di kampung saya dulu ada seorang disapa “Pak Ngah Alek”, dianya adalah dukun buaya, ahli benar menaklukkan buaya. Pekerjaan sehari harinya menangkap buaya liar di sungai Pawan dan sekitarnya. Dianya sanggup mengundang buaya yang pernah bersalah menangkap orang, untuk naik ke darat. Setelah naik buaya diperintahkan diam, buayapun akan diam, diperintah telentang buayapun telentang dengan hanya bantuan tangannya sedikit.  Pawang buaya ini dengan sigap menangkap buaya dengan tangan kosong, baik di dalam air apalagi di darat. Itulah buktinya bahwa orang yang betul-betul mengetahui akan lebih berani.
Berani karena sebagai puncak rasa takut.
Seorang pemburu masuk hutan keluar hutan lebat dengan menyandang bedil, ingin memburu menjangan.  Dalam keletihan di suasana guyuran hujan gerimis, ketika berusaha melangkahi sebuah batang kayu besar yang tumbang, begitu kaki menginjak bumi di sebelah pohon yang tumbang itu tiba-tiba seekor beruang dewasa berada disana menutar arah sehingga tepat berdiri berhadap-hadapan. Senjata yang disandang tidak dapat digunakan lagi karena posisi sudah begitu dekat. Takut pemburu itu tiba-tiba memuncak, membuatnya harus berani menghadapi beruang itu, sambil menunggu kemungkinan, apakah mendahului menyerang beruang itu, atau siap-siap menghadapi serangan beruang tersebut, sebab untuk mengambil langkah seribu sudah tidak mungkin. Dengan penuh keberanian, si pemburu menatap wajah si beruang tanpa berkedip dan mungkin tidak bernafas. Lama kedua mahluk itu saling tatap dan tidak bergerak, mungkin kira-kira seperempat jam. Diluar dugaan,  si beruang pelan-pelan memutar arah dan menjauh dari si pemburu. Pemburupun menarik nafas dan mengeluarkan nafas yang panjang, sambil menatap binatang berkuku tajam itu berlalu dan membiarkannya tidak membidikkan bedilnya meskipun itu dapat dilakukan. Inilah salah satu bentuk puncak dari takut membuat seseorang menjadi berani.
Berani karena terpaksa.
Siapapun orangnya pasti takut akan jiwanya melayang, tetapi kadang manusia rela mempertaruhkan jiwanya bilamana dalam keadaan terpaksa, mereka jadi berani menghadapi risiko apapun dengan perlengkapan keamanan yang minimal sekalipun. Sering kita dengar bahwa banyak manusia perahu yang berusaha mencari suaka politik ke negeri lain karena terpaksa, di negerinya sudah serba sulit untuk mempertahankan kehidupan. Ini salah satu bentuk berani karena terpaksa. Banyak bentuk lain berani karena terpaksa, salah satu contoh lain ialah keberanian berusaha bagi orang yang merantau ke negeri orang, karena bila ia tidak berani berusaha maka ia akan sulit hidup. Berangkat dari keterpaksaan orang merantau berusaha/bekerja mengenyampingkan rasa malu, mengenyampingkan lelah dan capek. Maka tidak heran kalau para perantau kebanyakan lebih sukses dari penduduk asli.

No comments:

Post a Comment