Kumulai
menulis apa yang kupikirkan dengan judul di atas dari pertandingan sepak bola.
Bila digelar pentandingan sepak bola, antar kesebelasan, ketika menonton
pertandingan tersebut melalui TV, entah bagaimana hati ini memihak kepada salah
satu ke sebelasan.
Pemihakan
tersebut akan tergantung “apa lawan apa” yang sedang bertanding. Misalnya yang
bertanding adalah kesebelasan berasal dari pulau kelahiranku dengan pulau lain,
maka serta merta pemihakan ke kesebelasan pulau kelahiran. Provinsi kelahiranku
entah kenapa tidak punya kesebelasan kebagaan yang ikut berlaga yang masuk TV.
Jadi lumayanlah ikut bangga kalau ada kesebelasan dari pulau Kalimantan masuk
TV. “Khusbul wathan minal iman”, demikian hadist yang tergolong “maudu’” yang
diterjemahkan “Cinta tanah air sebagian dari iman”.
Sudah
kodrati manusia cinta akan tanah kelahirannya. Kalau anda menunaikan ibadah
haji, terasa benar bagaimana punya tanah air. Begitu kita kumpul dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, jika ketemu dengan setanah air, bukan main rasanya
berbunga-bunga. Ketika wukuf di padang Arafah, manakala kita sedang mencari
perkemahan kita dimana posisinya, begitu melihat “Merah Putih” berkibar diujung
tiang ditiup angin Arafah, tak tersa terkesiap darah di dada, yang perasaannya
halus kadang menitikkan air mata. Begini rupanya kebanggaan mempunyai tanah
air, disini terasa benar kalau punya tanah air. Arti Tanah air itu sangat terasa tatkala kita berada diluar negeri.
Wajar kalau para Perantau, kebanggaannya ke tanah air lebih tinggi dari yang
berdiam di tanah air itu sendiri. Sebagaimana kita mengetahui bagaimana
nikmatnya sehat ketika kita sedang sakit.
Giliran
yang bertanding, antara kesebelasan yang keduanya bukan berasal dari
Kalimantan, maka pilihan keberpihakan berikutnya ke kesebelasan berasal dari
daerah ku pernah bertugas. Kalau juga kedua kesebelasan yang bertanding bukan
dari daerah kupernah bertugas, pilihan berikut barulah ke pemain-pemain yang Paforit anggota kesebelasan.
Trakhir
ini dipersoalkan tentang rasa cinta tanah air dari anak Indonesia yang kini
pernah atau sudah menjadi warga negara asing. Rasaku bahwa mereka ini dimanapun
berada tetap mencintai tanah kelahirannya, tetap ingin berbuat banyak terhadap
tanah airnya. Sebagai contoh warga negara Indonesia yang kebetulan etnis asing,
engkong buyutnya saja sudah lahir di Indonesia, tetapi diam-diam dia tetap saja
membanggakan asal negara keturunannya. Kalaupun dianya tidak membanggakan asal
keturunannya, mau tidak mau warna kulit, bentuk hidung, format mata ada beda dengan
bangsa Indonesia Asli. Begitu juga kalau kita dinegara lain, wajah kita tak
dapat di sembunyikan, wajah Indonesia. Wajar kalau sudah jadi warga negara
lain, juga masih tetap saja mengaku orang Indonesia. Apalagi, kalau masih jelas
nenek moyangnya, masih jelas kampung halamannya, masih jelas di mana dia
bersekolah semasa kecil dan remaja. Sedangkan warga negera Indonesia ketururan
asing, mereka sudah tidak tau lagi di mana kampung eyang dari eyang buyutnya.
Kalau mereka ke negara asal eyang-eyang buyutnya itu sudah tidak punya lagi
sekavling tanahpun, untuk sekedar membuat pondok, lagikan mereka masih
diam-diam bangga dengan asal keturunannya. Buktinya pada nama kelompok ini, disamping
nama diri tetap saja di tambahkan nama family yang menunjukkan negara asalnya.
Yang menyedihkan lagi di beberapa dekade yang lalu masih sempat kelompok asal
keturunan bukan asli Indonesia ini, baik yang asal Asia maupun Timur Tengah
sempat merasa punya derajat keturunan yang tinggi, tidak sudi ceweknya
dipersunting pemuda pribumi. Syukurlah dengan sudah merdeka 71 tahun ini tak
banyak lagi etnis keturunan asing mempunyai kebanggaan derajat yang tinggi dari
penduduk pribumi. Merasa bangga etnis asing dari pribumi ini adalah imbas dari
tiupan penjazah yang berabad-abad itu.
Kembali
ke kecintaan akan tanah kelahiran, meskipun lama dikampung atau negara orang,
sekalipun sudah ber KTP kota lain, ber passport negara lain, rasa rindu kampung
halaman ini tetap ada di dalam hati. Jutaan orang mudik kampung halaman, tanah
kelahirannya dengan biaya tidak sedikit, ketika lebaran atau hari besar
keagamaan. Mungkin pembaca ada yang anak
atau kemenakannya atau family dan kerabatnya sekolah di luar negeri,
selanjutnya bekerja dan sukses di sana dengan gaji yang zakatnya saja puluhan
juta per tahun, tetapi masih pulang kampung, pulang ke Indonesia sesekali
mengunjungi keluarga dan rindu akan kampung halaman, rindu akan tanah
kelahiran, rindu akan tanah air.
Terkait
dengan itu maka bilamana ada anak bangsa yang sudah terkenal di negeri orang,
lagi pula mempunyai kemampuan intelektual tinggi, hendaklah permadani merah
dibentangkan bila yang bersangkutan ingin membangun negerinya Indonesia.
Bukannya dicurigai dan ragukan loyalitasnya kepada tanah air. Banyak kita
dengar anak bangsa ini sukses di negeri orang bahkan punya penemuan-penemuan
yang menakjubkan tidak dipunyai bangsa lain. Tapi mereka dimanfaatkan oleh negara
lain yang justru sudah maju. Hal ini sepantasnya bangsa ini introspeksi diri,
mengapa anak-anak bangsa ini sukses di negeri orang, kalau di negeri sendiri
kurang sukses. Barang kali salah satu penyebabnya adalah di negeri ini kurang
menghargakan penemuan-penemuan orang. Atau mungkin juga anak-anak kita sejak dini
terlalu dibebani serentetan kurikulum yang kurang focus, tidak disesuaikan
dengan bakat yang dimiliki individu. Entahlah………… Walahu a’lam bishawab.