Thursday 25 August 2016

TANAH KELAHIRAN



Kumulai menulis apa yang kupikirkan dengan judul di atas dari pertandingan sepak bola. Bila digelar pentandingan sepak bola, antar kesebelasan, ketika menonton pertandingan tersebut melalui TV, entah bagaimana hati ini memihak kepada salah satu ke sebelasan.
Pemihakan tersebut akan tergantung “apa lawan apa” yang sedang bertanding. Misalnya yang bertanding adalah kesebelasan berasal dari pulau kelahiranku dengan pulau lain, maka serta merta pemihakan ke kesebelasan pulau kelahiran. Provinsi kelahiranku entah kenapa tidak punya kesebelasan kebagaan yang ikut berlaga yang masuk TV. Jadi lumayanlah ikut bangga kalau ada kesebelasan dari pulau Kalimantan masuk TV. “Khusbul wathan minal iman”, demikian hadist yang tergolong “maudu’” yang diterjemahkan “Cinta tanah air sebagian dari iman”.  
Sudah kodrati manusia cinta akan tanah kelahirannya. Kalau anda menunaikan ibadah haji, terasa benar bagaimana punya tanah air. Begitu kita kumpul dengan bangsa-bangsa lain di dunia, jika ketemu dengan setanah air, bukan main rasanya berbunga-bunga. Ketika wukuf di padang Arafah, manakala kita sedang mencari perkemahan kita dimana posisinya, begitu melihat “Merah Putih” berkibar diujung tiang ditiup angin Arafah, tak tersa terkesiap darah di dada, yang perasaannya halus kadang menitikkan air mata. Begini rupanya kebanggaan mempunyai tanah air, disini terasa benar kalau punya tanah air. Arti Tanah air itu sangat  terasa tatkala kita berada diluar negeri. Wajar kalau para Perantau, kebanggaannya ke tanah air lebih tinggi dari yang berdiam di tanah air itu sendiri. Sebagaimana kita mengetahui bagaimana nikmatnya sehat ketika kita sedang sakit.
Giliran yang bertanding, antara kesebelasan yang keduanya bukan berasal dari Kalimantan, maka pilihan keberpihakan berikutnya ke kesebelasan berasal dari daerah ku pernah bertugas. Kalau juga kedua kesebelasan yang bertanding bukan dari daerah kupernah bertugas, pilihan berikut barulah ke pemain-pemain yang  Paforit anggota kesebelasan.
Trakhir ini dipersoalkan tentang rasa cinta tanah air dari anak Indonesia yang kini pernah atau sudah menjadi warga negara asing. Rasaku bahwa mereka ini dimanapun berada tetap mencintai tanah kelahirannya, tetap ingin berbuat banyak terhadap tanah airnya. Sebagai contoh warga negara Indonesia yang kebetulan etnis asing, engkong buyutnya saja sudah lahir di Indonesia, tetapi diam-diam dia tetap saja membanggakan asal negara keturunannya. Kalaupun dianya tidak membanggakan asal keturunannya, mau tidak mau warna kulit, bentuk hidung, format mata ada beda dengan bangsa Indonesia Asli. Begitu juga kalau kita dinegara lain, wajah kita tak dapat di sembunyikan, wajah Indonesia. Wajar kalau sudah jadi warga negara lain, juga masih tetap saja mengaku orang Indonesia. Apalagi, kalau masih jelas nenek moyangnya, masih jelas kampung halamannya, masih jelas di mana dia bersekolah semasa kecil dan remaja. Sedangkan warga negera Indonesia ketururan asing, mereka sudah tidak tau lagi di mana kampung eyang dari eyang buyutnya. Kalau mereka ke negara asal eyang-eyang buyutnya itu sudah tidak punya lagi sekavling tanahpun, untuk sekedar membuat pondok, lagikan mereka masih diam-diam bangga dengan asal keturunannya. Buktinya pada nama kelompok ini, disamping nama diri tetap saja di tambahkan nama family yang menunjukkan negara asalnya. Yang menyedihkan lagi di beberapa dekade yang lalu masih sempat kelompok asal keturunan bukan asli Indonesia ini, baik yang asal Asia maupun Timur Tengah sempat merasa punya derajat keturunan yang tinggi, tidak sudi ceweknya dipersunting pemuda pribumi. Syukurlah dengan sudah merdeka 71 tahun ini tak banyak lagi etnis keturunan asing mempunyai kebanggaan derajat yang tinggi dari penduduk pribumi. Merasa bangga etnis asing dari pribumi ini adalah imbas dari tiupan penjazah yang berabad-abad itu.
Kembali ke kecintaan akan tanah kelahiran, meskipun lama dikampung atau negara orang, sekalipun sudah ber KTP kota lain, ber passport negara lain, rasa rindu kampung halaman ini tetap ada di dalam hati. Jutaan orang mudik kampung halaman, tanah kelahirannya dengan biaya tidak sedikit, ketika lebaran atau hari besar keagamaan.  Mungkin pembaca ada yang anak atau kemenakannya atau family dan kerabatnya sekolah di luar negeri, selanjutnya bekerja dan sukses di sana dengan gaji yang zakatnya saja puluhan juta per tahun, tetapi masih pulang kampung, pulang ke Indonesia sesekali mengunjungi keluarga dan rindu akan kampung halaman, rindu akan tanah kelahiran, rindu akan tanah air.
Terkait dengan itu maka bilamana ada anak bangsa yang sudah terkenal di negeri orang, lagi pula mempunyai kemampuan intelektual tinggi, hendaklah permadani merah dibentangkan bila yang bersangkutan ingin membangun negerinya Indonesia. Bukannya dicurigai dan ragukan loyalitasnya kepada tanah air. Banyak kita dengar anak bangsa ini sukses di negeri orang bahkan punya penemuan-penemuan yang menakjubkan tidak dipunyai bangsa lain. Tapi mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang justru sudah maju. Hal ini sepantasnya bangsa ini introspeksi diri, mengapa anak-anak bangsa ini sukses di negeri orang, kalau di negeri sendiri kurang sukses. Barang kali salah satu penyebabnya adalah di negeri ini kurang menghargakan penemuan-penemuan orang.  Atau mungkin juga anak-anak kita sejak dini terlalu dibebani serentetan kurikulum yang kurang focus, tidak disesuaikan dengan bakat yang dimiliki individu. Entahlah………… Walahu a’lam bishawab.


Friday 19 August 2016

TOLERANSI



Lumrah, sebagai pegawai di institusi berkantor cabang banyak, dalam masa kerja, sering dipindah menempati posisi pegawai di mana saja tersedia kantor cabang. Umumnya rumah instansi kantor cabang di daerah, siap huni bagi pegawai yang ditugaskan ke cabang tersebut.
Silih berganti rumah instansi itu berganti penghuni. Rumah instansi diantaranya ada yang dibangun disuatu komplek, puluhan pintu. Setiap pintu dihuni keluarga yang dimutasikan ke cabang tersebut.Tidak dapat memilih tentunya; misalnya milih bertentangga dengan keluarga sesama etnis, sesama suku dan sesama agama. Al hasil terima saja, dapat rumah nomor berapa, jiran langsungnya dengan siapa, pokoknya sesuai strata kepegawaian pegawai penghuninya.
Suatu ketika, keluarga kami betambiran persis dengan keluarga yang sama-sama masih punya anak-anak pra sekolah dasar. Di dekat kompleks kami tersedia sekolah taman kanak-kanak yang cukup ternama dikota itu. Dua anak kami (kedua-duanya laki-laki), dua anak keluarga tambiran rumah kami itu (seorang putera dan seorang puteri) ikutlah dimasukkan ke taman kanak-kanak tersebut. Kebetulan kami hampir bersamaan menghuni komplek itu.
Belum sepekan anak-anak tambiran rumah kami itu, sudah dapat mengikuti apa yang di ajarkan ibu guru yang mengasuh mereka di sekolah. Begitu masuk rumah kedua anak tetangga kami itu, sembari mengetuk pintu dengan nyaring dan lantang serempak mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.  Dari dalam rumah memang tidak mendapat sahutan, langsung dibukakan pintu. Esok paginya setelah dirapikan pakaiannya lengkap dengan tas punggungnya, merekapun menyalami dan mencium tangan ayah bundanya sembari mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
Sebagai tetangga tambiran rumah, meskipun mendengar, karena hanya dibatasi dinding, tidak hendak memberikan komentar apapun. Kami tidak berhak memberi tahukan kepada ayah bunda anak tetangga kami itu untuk menjawab salam misalnya. Tidak mau memberi penjelasan bahwa menjawab salam itu adalah wajib, umpamanya, karena tetangga kami menganut agama yang berbeda dengan kami. Adapun taman kanak-kanak dekat komplek kami itu kebetulan didirikan yayasan bernuansa Islami.
Senin, beberapa pekan kemudian, terlihat Bapak/Ibu tetangga kami itu berangkat dari rumah lebih pagi, dalam kendaraan ikut juga putra-putri mereka, serta pembantu. Beberapa hari kemudian kami ketahui rupanya mereka memindahkan anak-anak mereka ke taman kanak-kanak yang sesuai dengan agama yang mereka anut, walau lokasinya cukup jauh dari komplek kami.
Kubilang ke istriku, saya salut dengan tetangga tambiran rumah kita, sebab begitu baiknya mereka mempertahankan akidahnya, biar dengan adanya pengorbanan, berangkat lebih pagi, mengeluarkan sedikit ongkos untuk menjemput putra-putri mereka, karena tidak mungkin dengan hanya berjalan kaki. Demi mempertahankan akidah. Agar putra putri mereka tidak terkontaminasi akidah lain, berlaian dengan akidah ibu bapaknya.
Kami yang tinggal sekomplek, tidak mempersoalkan dan tidak pula mempergunjingkan masalah tersebut, sebab menurut kami itu adalah salah satu bentuk toleransi.
Agama Islam yang kami anut mengajarkan bahwa harus bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, tidak ada paksaaan dalam agama. Toleransi antar ummat beragama, walau bukan bertoleransi dalam beragama. Kalau sudah dalam beragama bertoleransi itu malah namanya tidak toleran. Bahkan, bila pemeluk agama Islam disuatu negara, jika Mayoritas fakta menunjukkan Islam melindungi pihak Minoritas, hidup berdampingan secara damai. Anak-anak muslim, sejak dini, sebelum dapat membaca Al-Qur’an secara keseluruhan, sudah di ajarkan membaca Juz Amma. Di Dalam Juz Amma ada surat Al-Kafirun, ayat 6-nya memberi pelajaran toleransi, “Bagiku agamaku bagimu agamamu”
Tetapi juga ada garis tegas dalam agama yang seyogyanya pihak pemeluk agama lainpun harusnya toleransi serta memahami garis-garis tegas yang ada dalam ajaran Islam dan dibukukan dalam kitab suci Alqur’an. Adalah tidak bijak jika mengatakan ustadz yang menyampaikan pesan Al-Qur’an, misalnya “jangan memilih pemimpin bukan orang Islam”, mereka ustadz penyebar kebencian, karena itu termuat dalam Al-Qur’an, bukan karangan ustadz. Ustadz-ustadz yang berceramah atau berkhutbah tentang hal “jangan memilih pemimpin yang bukan Islam”, dia hanya menyampaikan. Boleh kan kalau penganut agama Islam mentaati aturan agamanya, kalau betul-betul kita sama-sama bertoleransi. Namun pada kenyataannya misalnya kabanyakan orang Islam juga menjatuhkan pilihannya kepada Non Muslim sebagai pemimpin, para ustadz itu insya Allah sudah tidak lagi akan dimintai pertanggungan jawab tentang keustadzan-nya di yaumil akhir nanti, dia sudah menyampaikan.
Dalam agama Islam. menyadari benar bahwa ada pertangungan jawab sosial dan pertanggungan jawab pribadi. Pertanggungan jawab sosial ini akan sudah tidak terbebani lagi jika sudah diikhtiarkan maksimal. Misalnya seperti anak-anak keturunan kita, sudah kita usahakan mendidiknya dengan pendidikan Islam sejak dini. (kembali teringat dan salut dengan tetangga tambiran kami diceritakan di atas, mereka dalam rangka membimbing anak-anak mereka jangan sampai “menyimpang” menurut versi mereka). Setelah dewasa tetap dipantau dan diarahkan, tetapi tidak juga menjalankan perintah agama, tidak juga menjauhi larangan agama dan ektrimnya pindah keyakinan. Insya Allah ORTU sudah terbebas dari kewajibannya. Tanggung jawab terpulang kepada masing-masing individu. Bukan sedikit contoh, dalam Alqur’an; seperti anak nabi Nuh, Istri Nabi Luth, ayahanda Nabi Ibrahim, mereka tidak sejalan dengan Nabi-Nabi tersebut. Dalam Islam kita kenal Paman Nabi Muhammad S.A.W. yang sampai akhir hayat tidak mendapat hidayah.
Jadi toleransi, haruslah dimaknai:
·         Biarkan setiap agama menerapkan apa yang diajarkan agamanya.
·         Biarkan para pemuka agama menjelaskan ajaran kitab sucinya kepada pemeluknya.
·         Fasilitasi setiap penganut agama menjalankan perintah agamanya.
·         Tidak saling mencela apalagi mencemooh.
·         Jangan saling mengganggu masing-masing agama menjalankan syariat agamanya.
·         Tidak usah mencela ayat-ayat kitab suci agama lain, walau mungkin tidaklah dipantangkan untuk membanding untuk pencerahan, bukan untuk merendahkan.
Insya Allah, bila ini semua ditaati, tak akan timbul pergesekan dalam Masyarakat dengan stempel “Tidak toleran”,


Sunday 7 August 2016

DARI HAL AZAN



Belakangan ini di Indonesia, ada pihak/oknum yang mempersoalkan azan, mereka mengusulkan jangan pakai pengeras suara. Tentu kalau ini diperturutkan keinginan sebagian ummat yang nota bine ada juga diantaranya orang tersebut sebetulnya adalah pemeluk agama Islam, maka tidak sesuai dengan maksud yang terkadung dari azan itu sendiri. Azan untuk dapat didengar orang banyak dengan jarak yang cukup jauh, sehingga Bilal ketika azan mengambil tempat yang tinggi di masjid.
Para pembaca yang sebaya saya mungkin masih ingat, bahwa model masjid kita zaman dahoeloe, ke menara masjid disediakan tangga. Muazin menaiki tangga itu sehingga berada di menara kemudian mengumandangkan azan. Waktu itu dikampung-kampung belum tersedia pengeras suara dan aliran listrik. Muazin mengumandangkan azan dengan menggunakan corong yang dibuat dari bahan seng. Bagian yang dekat dengan mulut dibuat kecil sebesar masuknya mulut, bagian lainnya lebar.  Itu corong dimasukkan ke mulut, mungkin agar suara azannya focus, muazinpun menyuarakan azannya segingga terdengar kesekeling masjid dengan radius yang cukup jauh, lebih dari radius 40 rumah tetangga masjid.
Mendengar azan dikumandangkan, seluruh orang yang beragama Islam, melepaskan segala kegiatannya dan segera berbersih diri dan menuju masjid. Bahkan orang tua kita doeloe, kalaulah dianya petani, begitu mendengar azan umpamanya dia sedang mengayunkan cangkulnya, itu cangkul dilemparkan ke kiri atau ke kakan atau ke belakang, tidak jadi di ayunkan ke tanah bagian depan. Mereka berpendapat bila azan sudah terdengar, jika cangkul diayunkan ke depan, tanah yang gembur akibat cangkul itu ditanami tanaman dan tumbuh, maka hasil tumbuhan itu haram dimakan, karena hasil dari cangkulan yang haram. Bekerja pada saat azan, hasil kerjanya adalah haram. Begitu hebatnya pendirian mereka terhadap panggilan shalat ini, karena pada hakikatnya panggilan shalat adalah panggilan Allah.
Tiga kali kita nanti di panggil Allah dalam hidup kita di dunia dan akhirat. Dua kali panggilan di dunia yaitu: Pertama; panggilan shalat dengan azan. Kedua; panggilan maut yang seorangpun tak dapat mengelak seperti panggilan azan. Nanti di akhirat kitapun akan dipanggil dengan sangkakala yang mengumpulkan manusia di padang pengadilan Allah.

Adzan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad SAW mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah. Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh orang Nasrani. ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu dinyalakan hendaklah datang menghadiri salat berjamaah. Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi, tetapi beliau menukar lafal itu dengan assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad SAW juga menyetujuinya.
Asal muasal adzan berdasar hadits
Lafal adzan tersebut diperoleh dari hadits tentang asal muasal adzan dan iqamah:
Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk salat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara yang amat lantang:
  • Allahu Akbar Allahu Akbar
  • Asyhadu alla ilaha illallah
  • Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
  • Hayya 'alash sholah (2 kali)
  • Hayya 'alal falah (2 kali)
  • Allahu Akbar Allahu Akbar
  • La ilaha illallah
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.
Asal muasal iqamah
Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan adzan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau katakan jika salat akan didirikan:
  • Allahu Akbar, Allahu Akbar
  • Asyhadu alla ilaha illallah
  • Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
  • Hayya 'alash sholah
  • Hayya 'alal falah
  • Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Salat akan didirikan"
  • Allahu Akbar, Allahu Akbar
  • La ilaha illallah
Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan. Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."
HR Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650).