Timbangan
duduk yang sanggup menimbang ratusan kilo lebih, belakangan baru dikenal, utamanya di pedalaman
tempat perkebunan karet dan kelapa.
Juragan kebun karet suatu ketika menyaksikan pegawainya menimbang
karet yang akan diangkut ke truk untuk
dibawa ke kota. Guna mengangkat barang yang akan ditimbang, dacing di hubungkan
dengan “Alu”, selanjutnya setelah barang yang akan ditimbang dikaitkan ke dacing,
dua orang meninggikan dacing yang dipikul dengan “Alu” di pundak, tadinya
posisi agak duduk menjadi berdiri.
Model
“Alu”, kedua ujungnya ditumpulkan untuk dapat dipergunakan untuk menumbuk padi.
Agar si penumbuk padi mudah memegang “Alu”, di tengah balok kayu bulat yang
dibuat “Alu” itu diberi pinggang, lebih kecil dari bagian lain, gunanya untuk
memudahkan menggenggam “Alu” tersebut pas sekepalan.
Hari
itu, ketika kedua pemikul berdiri meninggikan dacing, “Alu” pemikul tiba-tiba
berbunyi kreek. Kontan kedua pemikul reflek menurunkan ketinggian, untuk
memeriksa datangnya bunyi. Rupanya bunyi datang dari “Alu”, pas di tengah
tempat pegangan, retak hampir patah. Heran juga para buruh yang sudah sekian
lama menggunakan “Alu” dalam kegiatan
menimbang, tapi belum pernah sampai membuat patah “Alu”. Apalagi berat barang
yang ditimbang, juga biasa sebatas kapasitas timbang dacing yaitu seratusan
limapuluh kilogram. Selama inipun mengenakan lingkaran dacing ya di pinggang
“Alu” menimbang sekitar seratus kilogram.
Pemilik
usaha mendekati “Alu” itu, memang dilihatnya sudah hampir patah, kiwir-kiwir,
belum patah benar. Jika dilengkungkan sedikit dengan tangan tanpa bantuan alat,
pasti “Alu” itu akan terbagi dua. Kontan dia berpikir,…. sudah, “Alu” ini biar
disimpan saja. Untuk menimbang pakai balok biasa saja yang persegi. Pikirannya
memberi arah agar “Alu kiwir-kiwir” tadi disimpan di balik pintu utama rumah.
Pemilik
perusahaan kebetulan punya anak gadis ABG sekitar baru empat belas tahunan.
Biasalah gadis baru tumbuh itu sering digoda oleh anak muda, katakanlah sebagai
bunga kampung. Selain itu pengusaha seperti Pak Ngah Udin yang punya kebun
kelapa dan kebun karet yang luas, sering pula di “kompas”, sama “Preman”. Lama
kelamaan uang “Keamanan” untuk Preman juga cukup membebani kas usaha Pang Ngah
Udin. Belum lagi pusing juga anak gadis masih ABG digoda oknum suatu kelompok
kesatuan yang baru berdinas di kampung si pengusaha tersebut. Oknum ini
sebetulnya mungkin berniat baik, Cuma Pak Ngah Udin dan istrinya belum hendak
punya menantu, karena pengen-nya si anak gadis dapat sekolah lebih tinggi dulu,
kalau dapat jadi guru atau bidan kalau mungkin jadi dokter, karena belum
seorangpun penduduk kampungnya yang sempat mengenyam pendidikan tinggi.
Suatu
hari oknum kesatuan itu datang kerumah Pak Ngah Udin untuk melamar si gadis
ABG. Tentu saja Pak Ngah Udin dan keluarga menolak. Dengan bahasa yang halus juru
bicara keluarga Pak Ngah Udin menolak, bahwa anak gadis mereka badannya saja yang
subur, tapi umurnya masih sedikit, empat belas tahun saja belum nyampai kurang
beberapa bulan lagi. Disamping itu dia punya cita-cita untuk melanjutkan
sekolah ke kota, sekurangnya entah jadi guru, atau jadi bidan atau kalau
mungkin jadi dokter.
Entah
bagaimana, karena sudah kadung melamar dan mendapat penolakan, walau penolakan
dengan alasan yang logis dan halus pula, bagi yang ditolak kadang tetap saja
tidak logis. Jalan pintas sepertinya akan ditempuh. Kelompok kesatuan itu,
dengan berombongan disuatu petang
mendekati Magrib datang menyerang ke kediaman Pak Ngah Udin, lengkap
dengan senjata yang mereka punya.
Setelah
mendengar dari anak buahnya bahwa serombongan kesatuan teman-teman oknum yang
pernah lamarannya ditolak datang menyerang. Pak Ngah Udin apa boleh buat harus
menghadapinya. Prinsip beliau “Tandang ke gelanggang walau seorang”, “musuh
tidak dicari, kalau ketemu berpantang lari”. Rombongan penyerang sudah sampai
di halaman rumah yang berpekarangan luas itu, maklum pengusaha kebun ternama di
kampung itu. Pak Ngah Udin dengan tenang membuka pintu utama rumahnya, keluar
dengan “Alu” yang tadinya tersimpan di balik pintu. Sambil melangkah beberapa
tindak kedepan dan dengan suara yang lantang menuju sekelompok anak muda dari
kesatuan yang cukup terlatih soal bela diri itu. Pak Ngah Udin katakan “Kalau
berani maju biar sekaliguspun saya siap ladeni”. Sambil tangan beliau yang
memang kekar itu mematahkan “Alu” ditanganya,….. “kreek”, menjadi dua bagian
dan dipegangnya dengan gagah di tangah kiri dan tangan kanannya.
Menyaksikan
keperkasaan Pak Ngah Udin yang lumayan sudah berumur itu, ternyata rombongan
penyerang ngeper juga. Dalam pikiran mereka tentulah orang ini punya kesaktian
yang tinggi, kalau tidak mana mungkin dapat mematahkan sebatang Alu terbuat
dari balok kayu Belian (Kayu besi) yang kerasnya nggak tanggung-tanggung. Kayu belian tak dapat ditembus paku, kecuali dibor
dulu. Dengan serta merta mereka bertekuk lutut, mundur kembali ke barak mereka,
dan satu diantara utusan mereka malam harinya datang untuk meminta maaf. Pak Ngah
Udin nggak tau siapa perutusan itu, apakah komandan dari kesatuan anak-anak
muda itu atau siapa, yang penting
jadinya amanlah keluarga mereka dari penggoda anak gadis ABG mereka. Rupanya
kejadian itu berimbas juga, kepada para
Preman kampung, sebab ceritanya tersebar luas, tidak lagi mengganggu
ketentraman usaha Pak Ngah Udin.
Pak
Ngah Udin yang diselamatkan oleh “Alu kiwir-kiwir” itu pun mewanti-wanti kepada
anak buahnya yang mengetahui “Alu Kiwir-Kiwir” ketika menimbang karet dan kopra
hasil kebun, jangan sampai membuka rahasia “Alu” tersbut.
Ini
Cerita Fiksi kalau ada kesamaan nama dan kejadian, hanya kebetulan saja dan
tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun.