Wednesday 29 August 2012

MENJADI TAMU IMAM MASJID NABAWI MADINAH DI RAUDHAH


Secara bahasa “raudhah” berarti kebun atau taman. Sedangkan yang dimaksud  Raudhah di sini adalah suatu tempat yang berada di antara mimbar dan makam nabi Muhammad S.A.W. Tempat ini selalu digunakan oleh Nabi Muhammad S.A.W. untuk melakukan shalat sampai akhir hayat beliau. Tempat shalat di Masjid Nabawi Madinah ini, ketika shalat berjamaah diperuntukkan bagi barisan jamaah laki-laki. Luas lokasi ini kurang lebih 144 meter persegi. Jamaah wanita juga diberi kesempatan ke lokasi tersebut sesudah Subuh sampai dhuha dan adakalanya sekarang terakhir ini sesudah Isya sampai sekitar sebelum Subuh.  
Karena tempat ini sangat istimewa, maka di sunnahkan untuk selalu beribadah dan shalat di Raudhah Nabi SAW ini. Jamaah berziarah ke Madinah, seyogyanya selalu melaksanakan shalat lima waktu di masjid Nabi SAW dan berniat i’tiqaf setiap dia memasuki masjid Nabi S.A.W.
Juga dianjurkan untuk mendatangi Raudhah guna memperbanyak shalat dan do’a di sana karena ada hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Tempat yang diantara kuburku dan mimbarku ini adalah Raudhah (kebun) diantara beberapa kebun surga”. Seseorang juga dianjurkan untuk berdo’a di depan mimbar Nabi SAW. Sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Mimbarku ini berada di atas telagaku.” (al-Hajj wa al-‘Umrah Fiqhuh wa Asraruh, 237)
Dengan redaksi yang berbeda, al-Imam ar-Rabbani Yahya bin Syarf al-Nawawi dalam kitabnya Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj menjelaskan, dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda, “Mimbarku ini berada di atas telagaku”. Imam al-Khathabi berkata, “Maksud hadist di atas adalah bahwa ‘orang yang selalu istiqamah melaksanakan ibadah di depan mimbarku, maka kelak di hari kiamat, ia akan minum air dari telagaku‘ ”. (al-Idhah fi Manasik al-Hajj wal ‘Umrah, 456)
Jamaah penziarah ke Madinah dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di Raudhah Nabi SAW. Karena tempat itu memiliki keutamaan yang sangat besar. Namun jangan sampai karena memperebutkan keutamaan ini, kita sampai mengganggu atau menghilangkan hak-hak atau bahkan menyakiti orang lain.
Di dalam kesempatan umrah Ramadhan 1433 H, pada hari Selasa 24 Juli 2012 saya dengan 4 orang jamaah dari group kami mendapat kesempatan istimewa untuk mendatangi Raudhah. Pimpinan rombongan kami yaitu H. Ali Rusdy rupanya punya hubungan baik dengan salah seorang imam masjid Nabawi  “Syech Obaed Nashir Sindi”.
Berangkat dari hubungan baik itulah agaknya prosedur kami masuk ke Raudhah sesudah Ashar hari selasa 24 Juli 2012 itu diatur. Pertama kami bertemu dengan dua orang pembesar keamanan masjid Nabawi dibahunya melekat pangkat bintang dua. Seorang diantaranya memberitahukan agar kami menemuinya sesudah shalat Ashar di pintu keluar Babussalam. Rencananya dari pintu itu rombongan kami akan dibawa melawan arus jamaah yang menjiarahi makam Nabi dan dua sabahatnya (Umar dan Abu Bakar). Tetapi karena petang itu arus jamaah begitu padatnya, berjejal dan berdesakan. Jauh lebih padat dibandingkan jemaah haji sejak tahun pertama saya mengunjungi Madinah 1991 dan jauh lebih padat dari jamaah umrah diluar Ramadhan. Maka akhirnya Jenderal Yusuf mengubah strategi; meminta kami ikut arus masuk dari pintu masuk Babussalam, yaitu pintu masuk menjiarahi makan Rasulullah. Cukup padat dan berdesakan jamaah muslim sejagat menapak dalam antrian. Kira-kira empat meteran dari Mihrab Rasulullah, beberapa orang berpangkat sersan merentang tali berupa pita berwarna kuning dan membuat alur menuju mihrab  Rasulullah untuk menjaring kami berlima. Yang mengagumkan saya, itu prajurit belum dikenalkan kepada kami tapi dia dapat mengenali kami berlima dan memasukkan dalam alur yang dibatasi tali/pita kuning yang direntang itu untuk memisahkan kami dengan berjelalnya jamaah sejagad itu. Alhasil kamipun diterima oleh Imam Masjid Nawabi di depan Mihrab Nabi dan didudukkan di tempat yang diperebutkan orang itu, dengan posisi bersandar ke Mihrab Nabi, sebab waktu itu sesudah shalat Ashar menunggu berbuka yang waktunya kurang lebih masih 3 jam lagi, sedangkan setelah Ashar tidak ada shalat. Posisi duduk kami adalah: Paling kanan Prof. Dr. Musjby, disebelahnya bersentuh pundak dengan imam masjid Nabawi “Syech Obaed Nashir Sindi”, lekukan Mihrab Nabi. Membatasi  H. Ali Rusdy dengan Imam Masjid. H. Ali Rusdy berdampingan bersentuh pundak dengan saya, M. Syarif Arbi. Sedangkan rombongan kami yang lain H.A. Gani duduk menghadap ke posisi kami, dibelakangnya duduk H.Ibrahim. Kurang lebih satu jam sebelum berbuka sudah digelar plastik panjang untuk menata makanan berbuka puasa. Bukan main lezatnya aneka makanan yang disiapkan di Raudhah itu, segala macam susu kemasan, segala macam kurma dan madu, roti dan minuman khas mereka. Begitu iqamah dikumandangkan pertanda akan dimulai shalat Magrib, plastik tempat digelar makanan langsung digulung, berikut seluruh makanan yang tersisa dan langsung menjadi sampah. Saya sempat mengantongi segelas madu kemasan yang masih utuh untuk oleh-oleh buat isteri.
Masa selama kurang lebih 3 jam tersebut kami manfaatkan untuk berdo’a, karena tempat tersebut adalah tempat yang paling diusahakan setiap jamaah untuk didatangi guna berdo’a. Banyak juga saya lihat dari bahasa tubuh mereka, jamaah dari negeri lain, misalnya Mesir dan timur tengah lainnya yang memprotes lamanya kami duduk di lokasi itu, tapi semuanya kelihatannya di jawab oleh imam masjid, dalam bahasa arab tentunya yang saya tafsirkan dari gerak tangan dan tubuh. Wajah Indonesia saya rupanya tetap nampak, buktinya ada beberapa orang jamaah Indonesia yang menyapa saya dari kejauhan sekitar lokasi, menyebutkan asal daerahnya, dengan maksud barangkali ingin juga dibawa ke lokasi itu, tapi apalah daya,  saya sendiri juga diatur oleh tuan rumah dan duduk dengan mengecilkan lipatan kaki ditempat yang begitu sempit.  Sesekali terjadi dialog antara kami dengan imam masjid yang berperawakan besar tinggi itu. Dalam dialog  kepada yang bersangkutan pimpinan rombongan kami memperkenalkan masing-masing anggota rombongan dan peranannya di tanah air. Saya diperkenalkan H. Ali Rusdy membina sebuah pesantren di pedesaan Kalimantan Barat yang baru didirikan dua tahun lebih. Sehubungan dengan itu imam masjid Nabawi menjanjikan akan mamberikan bantuan yang nanti akan direalisasikan dalam waktu dekat. Untuk perkenalan itu saya sempat memberikan kartu nama “STIE DR. MOECHTAR TALIB”, kebetulan ada di dompet saya,  beliau balas dengan menuliskan namanya dalam aksara arab dan memberikan nomor teleponnya dan membubuhkan tanda tangan di kertas yang kebetulan terbawa dikantong saya. Bukti otentik itu saya simpan sekarang. Sepulang ke tanah air saya sudah sempat berkomunikasi melalui nomor HP yang beliau berikan, saya memberitahukan sudah sampai di Indonesia dan terimkasih atas kesempatan yang beliau berikan mengunjungi Raudhah ketika di masjid Nabawi. Imam masjid Nabawi tersebut dapat menjawab berbahasa Indonesia sekedarnya.
Keberangkatan umrah kami kali ini prosedurnya lain dari umrah-umrah kami sebelumnya. Biasanya kami umrah melalui jasa travel atau biro perjalanan, kepada biro perjalanan menyetor sejumlah uang tertentu, langsung tinggal tunggu tanggal keberangkatan. Dalam paket perjalanan umrah sudah terjadwal hari demi hari, di mana akan menginap, tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi. Umrah kami kali ini tidak menggunakan travel, katakan perjalanan group untuk melakukan umrah. Sejak visa, tiket, penginapan diusahakan pimpinan kelompok. Itulah sebabnya semula tidak direncanakan akan bermalam hari pertama di Jeddah, kenyataannya kami bemalam di rumah seorang berkebangsaan Arab Saudi di komplek para pejabat kerajaan. Atas tawaran  penghuni rumah, kami diminta menginap semalam di Jeddah, keesokan harinya kami diantar tuan rumah ke terminal bis untuk mencari kendaraan ke Madinah. Bukan main mengagumkan pelayanan tuan rumah kepada kami sebagai tamunya, di sebuah rumah mewah di komplek elite tersebut. Makanan dan hidangan tidak jeda-jedanya disuguhkan sejak kami masuk rumah sekitar pukul delapan malam sampai waktu sahur. Rombongan kami lima orang, tiga lelaki dan 2 perempuan yaitu isteri saya dan seorang lagi tante pimpinan group. Ke Madinah kami diantar seorang polisi berpakaian preman dengan mobil sehingga diperjalanan dari Jeddah ke Madinah tanpa harus diperiksa passport pada setiap chek point yang dilalui. Sampai di Madinah kami bergabung dengan rombongan lain yang lebih dahulu di Madinah sebanyak 10 orang, diantaranya Bpk. H.A. Gani dan Bpk. H. Ibrahim group bersama menjadi tamu imam masjid Nabawi di Raudhah.
Di Madinah rombongan kami hanya menginap 3 hari dan menghabiskan masa umrah kami selama sebulan lebih itu di Masjidil Haram Makkah sampai hari rabu tanggal 22 Agustus 2012. Pengaturan tempat penginapan di Makkah baru dinegosiasikan setelah sampai di Saudi. Tempat menginap di Makkah di Shiab Amir, posisinya sebelah timur Masjidil Haram,  750 langkah ke pintu Marwah, lantai II Masjidil Haram. Pintu ini jarak paling dekat dengan pemondokan, bila siang; sinar matahari tidak ada pelindung dengan suhu sektar 48 derajat C. Melalui pintu ini kami mengikuti arus sya’i menuju tangga turun ke lantai bawah pintu nomor 39. Tempat sya’i lantai bawah tersedia AC, lumayan udaranya agak nyaman, walau menjelang akhir Ramadhan kedinginan AC sudah tidak mengcover, karena semakin banyaknya jamaah yang i’tiqaf, mereka mengkavling setiap jengkal lantai.  Pertimbangan saya dan isteri setiap sholat di lokasi ini, karena hanya berjalan beberapa langkah kemudian belok ke kanan sedikit mendaki langsung dapat kelihatan pintu Ka’bah.
Perjalanan umrah tanpa travel seperti ini, tidak disarankan bagi jamaah yang menginginkan ketentraman dan kenyamanan. Seperti saya kemukakan di atas bahwa bila umrah melalui biro perjalanan resmi, semuanya sudah terjadwal walau realisasinya mungkin ada juga yang sedikit melenceng, namun sudah hampir dapat dipastikan mendekati rencana. Demikian juga pembiayaan sudah terkalkulasi hampir akurat. Sedangkan perjalanan seperti ini, serba masih perkiraan. Sampai sampai konfirmasi tiket untuk pulang saja diminta ngurus sendiri. Ngurus barang mulai dari penginapan sampai chek in, kita dilibatkan. Lain halnya bila menggunakan travel, barang-barang tinggal diletakkan di depan pintu kamar, ketemu lagi barang kita di bandara tanah air, pengurusan di bandara juga ditangani oleh pengurus dari tavel, jamaah tinggal duduk manis untuk siap-siap masuk ke ruang tunggu bandara.
Bagaimanapun setiap perjalanan umrah tetap saja ada pengalaman yang berbeda-beda, dan setiap umrah ada saja cobaannya, saya sudah beberapa kali umrah, pernah di awal puasa, pernah diakhir puasa berlebaran di Makkah. Kali ini sebulan penuh dan juga berlebaran di Makkah, pernah beberapa kali diluar ramadhan, saya merasa sekalipun belum pernah lulus dalam ujian dan cobaan itu. Ingin rasanya umrah tidak ada kekecewaan, tidak ada sesuatu yang membangkitkan amarah. Tetapi rupanya tetap saja belum berhasil. Semoga Allah S.W.T. mengampuni saya dan menerima umrah ini, menyaring hal-hal yang tidak baik dan mencukupkan bila ada kekurangannya.