Tuesday 29 January 2019

MAHIR dan FASIHnya LIDAH

Di depan audience pelatihan disuatu hotel di Padang Sum-Bar, bbrp tahun lalu, untuk sbg selingan ketika presentasi kukemukakan 3 falsafah daerah setempat. Kututurkan dlm bahasa aslinya.
Yg kumaksud sbg falsafah tersebut ttg "tanda bahagia seseorang, apabila terpenuhi 3 keadaan"   y.i.:
1. Tidur mendengkur
2. Makan bertambah
3. Normal dan lancar B.A.B.

Spontan para peserta pengusaha/calon pengusaha ekspor itu yg sebagian sdh mulai capek, tertawa gemuruh serentak. Bahkan ada yg ketawa menyusul, rupanya tadi ketika yg lain pada ketawa dia sempat terlelap tidur. Selanjutnya ketawa serentak berulang sekali lagi. Kini mentertawakan yg ketawa nyusul itu. Ada yg ngomentar  bercanda "telmi". Disambut tawa lagi bersama sama. Suasanapun jadi rileks yg semula menjelang ashar itu sdh banyak yg ngantuk.

Selesai acara kucari tau kenapa untaian kata falsafah tadi membuat terselit benar di hati audience memicu tawa mereka bergelombang. Rupanya menurut penjelasan dari panitia setempat bahwa yg membuat mereka ketawa adalah penuturan ku menggunakan dielek daerah mereka, tidak pas pronunciation dan kaidah serta intonasinya.

Teringat ku ke kampung halaman tanah kelahiranku. Perantau dari daerah lain, ada yg sudah netap di kampungku 2-3 generasi. Generasi ke 3 misalnya tentu sdh mahir bahasa kampungku. Tapi kami penduduk asli bila ybs berucap kami masih tetap mengenali bahwa dianya bukan penutur asli. Dia mahir tapi belum fasih.

Bgtlah agaknya manusia diciptakan Allah dari berbagai suku bangsa dan bahasa serta warna kulit untuk pembeda, tapi untuk saling hormat saling paham keterbatasan masing-masing. Orang bangsa negeri asing bgmnpun dia fasih berbahasa Indonesia, tetap kita tau dia bukan orang asli. Dmkn jg tentunya kita berbahasa asing bgmnpun kita usahakan tak kan dpt seperti yg punya bahasa.
Allah SWT berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ  وَاَلْوَانِكُمْ ۗ  اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu, dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."
(QS. Ar-Rum 30: Ayat 22)

Bgt pula dlm melantunkan ayat Al-Qur'an kita tetap dpt membedakan walau yg membacanya seorang kari'  Indonesia lulusan sekolah di negeri berbahasa Arab; dg kalau yg membaca imam masjid Haram atau masjid Nabawi,  penutur bahasa Arab dari bangsa Arab.
Keadaan ini memang demikian adanya secara kodrati manusia di ciptakan.
Makanya kalau khatib tamu atau penceramah tamu di masjid anda sekaligus mengimami shalat; misalnya,  hrslah dimaklumi bila mungkin lantunan bacaannya beragam tergantung dari daerah mana dia berasal. Belum lagi pendengaran anda dipengaruhi juga oleh bahasa ibu anda.

Contoh orang inggris mendengar bunyi kucing.  "Miuu" bukan.   "ngeong", bunyi tembakan pistol     "beng"   bukan "door".
Yg penting imam anda membaca huruf-huruf seseuai mahraj atas kemampuan lidahnya  dan tekanan panjang pendeknya benar seperti yg tertera dlm Al Qur'an.

Jamaah suatu masjid,  pernah mengoreksi seorang imam ttg bacaan Alfatihahnya di ayat ke 7. Pengoreksi mendengar imam itu membaca عَلَيْهِمْ  kata pengoreksi imam membaca "alaiham" (dg huruf "a") padahal jelas si imam membaca " 'alaihim". Cuma mungkin "him" nya si imam condong ke "hiem". Ini faktor lidah tadi. Contoh namaku sering orang salah tulis "Syarief" ada huruf "e" disisipkan penulis namaku. Walau saya terlahir dg nama "Syarif".

Aamiin. Barakallahu fikum.
وَ الْسَّــــــــــلاَمُ
M. Syarif arbi.


No comments:

Post a Comment