Pagi buta bang Ndin seusai sholat subuh dari masjid
dekat rumah, kemudian mampir kerumah
sebentar sekedar ngopi dan sarapan sedapatnya dan ganti pakaian dinas, langsung
bang Ndin berangkat menuju perapatan dengan sepeda motor kesayangannya. Ada 3
langganan anak sekolah yang dilayani bang Ndin (antar-jemput) dengan bayaran Rp
100 ribu sebulan, karena sekolah mereka dekat saja ndak sampai 5 Km. tapi untuk
anak klas 2 ed de, cukup jauh. Sebenarnya kalau keburu waktunya banyak saja
orang tua murid (tetangga) ingin menitipkan anak mereka untuk diantar, tetapi kan untuk melayani 3 anak itu saja
sudah pas waktunya mulai dari jam pantas berangkat sampai waktu pagar sekolah
ditutup (menerima murid masuk). Itulah sebabnya maka bang Ndin hanya melayani
pelanggan tetap 3 antaran dan selebihnya mangkal di perempatan, menunggu
langganan lepas. Maklum yang namanya “langganan lepas” kadang benar-benar
lepas, orang yang sudah biasa menggunakan jasa bang Ndin, kadang kalau pas
mereka perlu, bang Ndin sedang ngantar orang lain, yaah langsung diantar oleh
ojek pesaing yang sama-sama mengais rejeki melalui “roda dua berknalpot” itu.
Mereka bersatu di pangkalang tapi
bersaing mengantar penumpang.
Uang harian akhir-akhir ini terkumpul, setelah
dipakai buat rokok dan bensin, hanya sekitar Rp 35 ribu buat “Ita” isteri yang sudah dinikahinya beberapa tahun
dan belum ada tanda-tanda punya anak. Tahun-tahun lalu agak lumayan kadang
sampai Rp 60 sampai Rp 70 ribu sehari. Itulah sebabnya barangkali belakang keharmonisan
keluarga muda ini sedikit ada gangguan.
Sering terjadi dialog yang condong debat antara
suami istri itu:
I: Bayangkan bang, beras perak aja
sekarang udah 7 ribu, gula 13 ribu, belum lagi kopi, belum belanjaan sayur,
gas, listrik dan cadangan bayaran kontrak (maksudnya kos). kalau gini terus
jangankan bakal kontrak, buat sehari-hari aja kembang kempis bang.
S: Sekarang tukang ojek udah makin
banyak, penumpang makin kurang, dulu pelanggan ojek, sekarang udah punya motor
sediri. ya dapatnya Cuma segitu, nanti buat kontrak kan udah ada 300 ribu dari orang tua si bocah yang diantar, tinggal
cari 400 ribu lagi, sabar ajalah.
I: Sabar si sabar bang, tapi kalau
begini terus untuk ari-ari aja ngak cukup bagaimana nyisihkan untuk 400 ribu
lagi bang, coba abang itung sendiri.
Serba salah bagi bang Ndin, menyanggah omelan
isterinya, kerena kenyataannya uang segitu hampir tak bersisa buat biaya hidup
hari-hari bagi mereka berdua yang pindah ke Jakarta mengadu nasib sejak
beberapa tahun lalu. Mau pulang kampung, harus ditimbang beribu kali, malunya
itu. Apalagi setiap lebaran pulang dengan sepeda motor yang sekaligus alat
mengais rezeki itu. Orang kampung sudah menilai “sukses hidup di Jakarta”.
Orang kampung ndak banyak tau bahwa mereka menempati rumah setara kos-kosan
bulanan 700 ribu sebulan.
Tahun-tahun awal agak lumayan, belum banyak orang
berprofesi menjadi pengojek, penumpang masih banyak. Sekarang penumpang
berkurang karena untuk memiliki sepeda motor cukup dengan uang muka 500 ribu
sudah dapat punya motor sistem TENMOT (Telat Nyicil Motor di Comot).
Penghasilan tukang ojek jadinya berkurang drastis.
Hari terus bergulir, tapi pendapatan tiap hari tetap
saja antara 30-40 ribu, rata-rata 35 ribu. Tentu saja tak menyurutkan Ita
memberikan motivasi buat suaminya agar tetap semangat dan intinya pendapatan
hanya rata-rata 35 ribu dibawah anggaran biaya. Pernah sekali diusulkan agar
sang suami pindah lokasi mangkal, jangan di perempatan dekat rumah. Si suami
tidak menerima saran itu karena di perempatan/pangkalan lain, mereka juga punya
group belum tentu mau menerima kehadiran bang Ndin.
Lama kelamaan pas menjelang lebaran, karena
terus-terusan mendapat omelan si istri, ditambah lagi omelan tentang persiapan
duit bakal lebaran, bakal buat oleh-oleh mudik dan banyak lagi bumbu omelan,
akhirnya bang Ndin mulai kesal. Sore itu
tiga hari menjalang malam takbiran bang Ndin nyetor duit ke istrinya tujuh
setengah juta. Nampak Juga kaget diwajah istri menerima uang tersebut, karena
ndak sari-sarinya ndak biasanya, tumben kata orang Jakarta itu duit banyak
sekali.
Keesokan harinya, pulang dari masjid, seperti biasa
bang Ndin mereguk kopi seduhan istrinya sambil menyedot Ji Sam Soe. Yang tidak
biasa setelah itu bang Ndin tetap pake sarung, tidak segera pakai jaket dan
helem seperti biasanya. Istripun jadi nanya, ngak narik Bang???(makasudnya
narik ojek). Kini bang Ndin diam tak menjawab. Karena beberapa kali ditanya,
akhirnya di jawab narik pakai apa (jawab singkat bang Ndin singakt). Ita
langsung pergi ke halaman parkir, dia lihat beberapa motor di halaman kos-kosan
itu tapi sepeda motor milik mereka tidak ada. Balik Ita keruang kosan mereka, “motor kita kemana Bang”.
“Ya itu kemarin yang udah kau terima tujuh setengah juta, kan cukup buat bekal
mudik”.
Begitulah
potret kekesalan bang Ndin karena setiap hari didera omelan si istri Ita,
karena deraan keterbatasan penghasilan. Bang Ndin rencana mudik lebaran tahun ini
naik kereta, soal pulang ke Jakarta lagi atau tidak nantilah dipikirkan lagi
setelah lebaran. Kalaupun pulang ke Jakarta lagi ambil Motor baru TENMOT dan
cari kosan yang murahan dikit, toh ada 300ribu sebulan sekedar kamar, biar si
Ita tinggal dulu aja di kampung, begitu rencana A bang Ndin, rencana B netap di
kampung kembali jadi huruh tani dan kerja srabutan.
Nama
adalah hayalan saya semata, fiktif, begitu juga jalan ceritanya 100% karangan.
jika terjadi kesamaan kebetulan belaka tidak bermaksud melecehkan atau
menyinggung.
No comments:
Post a Comment