Kesal juga Pak Haji Kimin dengan anak lelakinya yang
satu-satunya itu, ndak berubah-berubah tabiatnya udah umur 20an. Kurang apa
lagi ajakan pak Aji agar ikut Ibadah, dengan lembut sering, dengan agak keraspun sudah. Kasihan dia Almarhummah
Hj. Selimah isterinya sampai wafat belum sempat liat anaknya taat. Pada hal
do’a anak yang shaleh sangat diharap oleh orang tua di alam kubur. Si Juned
kerjaannya hanya ngurusin burung dara ndak ngerti ashar dan tau magrib. Kalau
subuh baru bangun tatkala matahari undah mencorong, jika isya ketimbang ke
masjid mendingan di depan ti vi dianya nongkrong.
Seperti dikatakan di atas kurang apa lagi orang tuanya
bukan sekedar ngomong ngajak ke masjid, justru abah haji Kimin sering mengimami
shalat jamaah. Kurang apa lagi peringatan, lokasi rumah dikelilingi masjid,
bilang waktu azan sahut-sahutan, setiap lepas magrib sampai isya ada ceramah
ustadz dapat didengar dari rumah melalui loudspeaker. Hampir tiap hari ada satu
sampai tiga orang yang dipikul menuju kuburan yang tak jauh dengan lokasi
rumah.
Saking kesalnya, beberapa hari terakhir pak haji jarang
keluar kamar, Kalau keluar hanya shalat ke masjid, dan pada waktu makan, masih
kelihatan di meja makan dia duduk dengan melipat satu kaki di kursi meja makan sambil
bersantap. Keadaan ini menarik perhatian Juned untuk melongok kekamar ayahnya
yang sudah duda itu. Ternyata si ayah sedang sakit, suhu badannya tinggi. Terjadilah
dialog antara bapak dan anak. Singkatnya dalam dialog itu, sengaja Pak haji
mendramatisir sakitnya dan menjelaskan, sepertinya mendekati tanda-tanda
almarhumah istrinya mau meninggal. Bagaimana juga bandelnya si Uned (panggilan
manis Juned), khawatir akan keadaan ayahnya. Dalam kekhawatiran itu ia penngen
rasanya mengubah peri lakunya yang tidak perdulian terhadap orang tuanya.
Melihat gelagat itu pak haji ingin menguji seberapa berubah sudah anaknya, seberapa bhati anaknya terhadap dirinya.
Keesokan harinya sekitar waktu dhuha, pak haji
menyuruh pembantu rumah tangga mencari si Uned, yang biasanya sedang bermain
burung dara. Burung dara dimasukkan sangkar beberapa ekor, kemudian dibawa naik
sepeda motor dengan jarak cukup jauh dan kemudian dilepaskan. Beruntung tak
lama kemudian Uned menghadap ayahnya. Ayahnya dengan nafas dihela panjang
sekali sekali, minta kepada Uned sesuatu makanan. Makanan yang diminta “Pepes”.
Uned bertanya “pepesan apa Abah”, ia sanggup segala macam Pepes, dan Uned
menawarkan “Pepesan Burung Dara”, “Pepesan Lele”, “Pepesan Ikan Mas”, “Pepesan
Ayam”. “Itu mah Abah udah biasa makan sejak muda” jawab pak haji. “lalu pepesan
apa abah” sela Uned. Begitu mengagetkan Juned, ayahandanya minta pepesan yang
tidak biasanya yaitu “Pepesan Eeknya Burung Dara”.
Walaupun ini permintaan cukup sulit, tapi demi
memenuhi permintaan orang sakit, demi menunjukkan bhakti, Uned menyanggupi.
Segera dicarinya bata merah, genteng, daun pisang dan aneka bumbu pepes. Bata
merah bakal dudukan tunggu membakar pepes di halaman belakang. Genteng bakal
tempat meletakkan bungkusan pepesan agar tidak terkena api langsung, supaya
pepes mateng daun tidak hangus.
Al-hasil selagi angat-angatnya pepes Uned membawa
hasil olahannya ke kamar ayahanda.” Abah, ini pepesannya sudah jadi”. “Ya, toroklah di meja kan lagi panas” jawab pak haji. “Baik, abah, tapi ini ndak
panas, sudah angat” tegas Jened. “Kalau begitu bukalah”, dengan sigap Juned langsung membuka pepesan
eek burung dara itu dan memasukkan sendok kecil ke pepesan.
Pak
Haji bilang: “Ned; coba cicipi dulu
sebelum kau suapkan ke abah”.
Jawab
Juned: “Kenapa begitu abah, kan yang pengen abah, Uned si ngak pengen”.
Jawab
Pak Haji : “Cicipi dulu siapa tau bumbunya ndak pas Ned”, sambil menghela nafas
sesekali, seperti orang sesak nafas.
Juned
demi memenuhi permintaan ayahandanya mungkin yang terakhir, untuk menunjukkan
bhaktinya kepada orang tua, dicicipinya juga pepesan itu seujung sendok.
Pak
haji melirik kelakuan anaknya dengan sudut matanya, terlihat kerut wajah si
anak mungkin karena menahan rasa ndak enak, kemudian tidak ditelan di lepeh di
wastapel di dalam kamar pak haji.
Pak
Haji : “Bagaimana rasanya Ned”
Juned
: “Getir, baunya ndak enak abah”
Pak
Haji : “Kalau gitu abah ndak jadi pengen”
Juned
: “Kenpa gitu abah, Uned udah usaha buatkan pengenan abah”
Pak
Haji : “Kamu yang sehat aja bilang ndak enak, apa lagi abah yang sakit, lidahnya
aja terasa pait, undah buang sana”.
Dari
kejadiaan ini, pak haji menyimpulkan ada ketaatan tumbuh didiri anaknya. momen
ini tidak disia-siakannya untuk berwasiat.
Pak
Haji : “Kalau abah sudah meninggal nanti, Uned mau megang amanah abah?”
Juned
: “Jangan khawatir abah, Uned akan pegang amanah abah, permintaan abah yang
sulit ini aja Uned penuhi apa lagi yang lain. Emangnya apa amanah abah?”
Pak
Haji : “Mulai sekarang Uned harus rajin Shalat, rajin jamaah ke masjid, jangan
cuma main-main. Urus yang baik rumah kontrakan dan kebun-kebun abah dan jangan lupa sisihkan buat inpaq dan
sadaqah. Tiap taun keluarkan zakatnya. Abah udah tua dan mati sewaktu-waktu
tiba. Jangan lupa tiap waktu kau sholat do’akan abah”
Sambil
menangis Juned merangkul dan memeluk abahnya. Sebagai tanda akan memegang
amanah orang tuanya. Bagaimana realisasinya, mudah-mudahan berlangsung dengan
baik dan istiqamah.
No comments:
Post a Comment