Seusai shalat ied, sambil bersalaman dengan para
jemaaah dan mengucapkan taqaballahu minna wamin kum, menerima jawaban taqabbal
ya kariim. Ketika bersalaman, dengan salah seorang ustadz, kukatakan “saya kebetulan hadir dengan istri, …..
rencana kami sekalian sekarang ke rumah Ustadz”. Kaget juga saya mendapat
jawaban dari beliau; “lain kali saja
Insya Allah”. Artinya beliau tidak berkenan dikunjungi kerumahnya. Rumah
beliau dari lapangan tempat kami shalat ied kurang lebih 500 meter masuk gang, layak
untuk jalan kaki saja. Ditambahkan oleh
beliau, “nanti Insya Allah saya akan
kerumah bapak”. Dengan pernyataan ini saya berkesimpulan, beliau tidak
berkenan di kunjungi, karena secara tegas ustadz ini akan ke rumah saya. Beliau
beberapa kali sudah berkunjung kerumah kami, yang lebih jauh jaraknya dari
halaman masjid tempat kami shalat ied, dibanding dengan rumah si ustadz.
Ide ingin berkunjung kerumah si ustadz, kerena tahun
lalu ada ucapan beliau, ketika beberapa hari sesudah lebaran berjumpa di masjid,
beliau katakan: “kenapa tidak kerumah”.
Kebetulan kami sudah akrab sekali, pernah dalam perjalanan ibadah selama lebih
sebulan dengan beliau kami suami istri. Itu sebabnya sepantasnyalah kami yang
lebih muda berkunjung ke rumah beliau. Beberapa waktu yang lalu di musim bukan
lebaran, kami juga pernah berkunjung ke kediaman beliau ini.
Sudahlah hal itu tidak mengusik pikiran kami,
dianggap hal yang biasa saja dan sampai sekarang belum juga ada sang ustadz
bertandang ke rumah. Persoalan ini jadi pembicaraan kami lagi dengan isteri,
setelah suatu hari separuh bulan syawal, saya ketemu dengan ustadz lainnya.
Setelah salaman dan saya katakan “O ya
ustadz kami ingin kunjung ke kediaman ustadz”. Jawab beliau bukan dengan
nada ahlan wa sahlan, atau well come tapi “Telpon
saja kalau pas saya ada silahkan”. Mendengar jawaban ini saya jadi ingat
kembali dengan keengganan ustadz yang pertama untuk saya kunjungi. Ustadz yang
kedua inipun nampaknya tak berkenan dikunjungi. Ustadz yang kedua ini, sudah
beberapa kali kunjung kerumah kami bersama istrinya. Keinginan saya dengan
istri membalas kunjungan ini, juga disebabkan beberapa waktu yang lalu ada
tawaran beliau nanti berkunjung kerumah kami.
Kearifan local
Diri ini kebetulan terlahir dengan budaya etnis
Melayu, orang Melayu sangat senang jika dikunjungi orang ke rumah. terkenal ada
beberapa pepetah populer di tanah Melayu, dalam kaitan menerima tamu antara
lain: “Kecil telapak tangan nyiru kami
tadahkan”. Maksudnya demikian senang menerima kehadiran tamu kalau
penerimaan dengan telapak tangan dirasa kecil, maka nyiru (alat penampi padi/beras
terbuat dari anyaman rotan atau bambu bentuknya lingkaran diameter kurang lebih
100 cm) kami tadahkan. “Rumah kecil tapi
hati kami besar”. Artinya, bila kedatangan tamu, atau orang ingin
berkunjung kerumah kita, walau rumah kita kecil, tapi hati kami besar dan akan
menerima dengan dada lapang, tamu yang akan datang. “Piring
boleh pecah tapi muka jangan berubah”. Pengertiannya, kalau ada tamu yang
akan datang, atau sudah di rumah, meskipun si empunya rumah punya masalah,
katakanlah; suami isteri sedang berselisih paham, maka dihadapan tamu itu harus
ditutup rapat, untuk menyenangkan tamu.
Isteri saya kebetulan terlahir di Jawa Timur,
kearifan local di sana cukup terbuka dan terus terang. Mungkin kalau ada yang
ingin bertamu ke rumahnya dapat saja ditolak, dengan mengemukakan alasan. Bahkan tamu yang sudah sampai di rumah, jika
si empunya rumah ada keperluan lain yang lebih penting, tanpa tedeng
aling-aling, tanpa ragu-ragu si tamu di beri tahu bahwa ianya ada keperluan
yang sangat penting, sebaiknya si tamu “pulang”, nanti lain kali persilahkan
datang dan ngobrol lagi. Tamu dan tuan rumah sudah sama mengerti dan tak
bermasalah, lain kali si tamu bisa datang lagi, tidak kapok dan seperti tidak
pernah terjadi pengusiran yang lalu itu. Keterbukaan ini dianut oleh banyak
orang di Jawa Timur khususnya Surabaya.
Pertama kali ku masuk Surabaya Juli 1973, teman baru kukenal di kantor,
ketika kutanya, di mana tempat makan siang yang dekat. Teman baruku orang asli
Surabaya itu, langsung membertahukan kepada ku; “Nanti kita sama-sama, tak jauh dari sini ada restoran Laksana Jaya,
nanti kita bayar sendiri-sendiri”. Kata-kata terakhir “kita
bayar sendiri-sendiri” sungguh
mengagetkan saya sebagai pendatang baru. Beberapa tafsir yang ada dalam
pikiranku antara lain; pertama, teman
ini menganggap aku tak punya uang untuk sekedar membayar makan dua orang. Kedua, rupanya restoran itu mahal,
barangkali. Ketiga, teman ini kasar
sekali dengan teman baru kenal sudah menganggap remeh. Namun hal itu setelah aku menjadi warga
Surabaya selama 12 tahun, keadaan keterus terangan seperti ini ternyata terasa
enak. Dari pada nanti setelah makan di restoran timbul masalah uang tidak
cukup, kalau si teman tadi yang traktir begitu juga kalau saya yang traktir
uang saya juga dapat saja ndak cukup.
Ketentuan agama.
Pulang ke persoalan rencana bertamu kerumah
sesorang, dalam kaedah agamaku Islam, sikap ustadz di kisahkan di atas adalah
benar. Jangankan baru rencana akan berkunjung, sedangkan seseorang yang sudah
berada di depan pintu rumah seseorang, bila tuan rumah menyatakan tidak mau
menerima tamu, maka tuan rumah tidak dapat dipersalahkan dalam kaedah agama.
Calon tamu harus berebesar hati pulang, tidak perlu mengerutu karena begitulah
ketentuan yang - diatur di dalam surat An-Nur dari Al-Qur’an, ayat 27 dan 28.
27. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu
(selalu) ingat.
28. Jika
kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka
hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Titik berat perintah ayat-ayat di
atas adalah: Pertama; jika hendak
masuk kerumah orang lain hendaklah memberi salam. Kedua; harus meminta izin,
karena minta izin, maka ada dua kemungkinan, diberi izin atau tidak diizinkan.
Di tegaskan lagi di ayat berikut, jangan masuk sebelum diizinkan. Secara tegas
dalam ayat ke 28, bahwa kalau si empunya rumah, menyuruh kita kembali, haruslah
kita kembali dan tak jadi menjadi tamu dirumah orang tersebut.
Sementara itu tuntunan adab
menerima tamupun juga ada guide yang ditetapkan olah agamaku Islam diantaranya
hendaklah memuliakan tamu sampai ada hadist:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada
Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Jika tamu menginap ada pula aturan ditetapkan
oleh Islam yaitu batas tuan rumah menjamu tamunya adalah tiga hari:
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ
وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ
عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ
يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari,
adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal
pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya
Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa
untuk menjamu tamunya.”
Ketentuan ini bila dipamahi dan
dilaksanakan, baik pihak yang bertamu dan pihak yang menjadi tuan rumah, tentu
akan menjadi jalinan hubungan persahabatan akan tetap terbuhul kuat, sebab tak
sempat si tuan rumah merasa terlalu diberatkan oleh tamu. Karena dengan adanya
tamu dirumah tentu akan membuat suasana rumah menjadi berubah dari biasanya.
Dengan mengimani ajaran agama, maka
persoalan penolakan dua ustadz tadi untuk saya bertamu, tidaklah menjadikan kesal di hati, lain kali bisa saja
diatur kembali untuk kunjung kerumah beliau-beliau itu. Mungkin pada saat kami
berniat berkunjung kerumah si ustadz, beliau-beliau itu sedang ada kepentingan lain
yang lebih penting dari sekedar menerima kami berkunjung ke rumah mereka.
No comments:
Post a Comment