“Nanti Ibu
sebutkan huruf atau angka yang saya tampilkan dengan cahanya terang dari yang
lain, tolong sebutkan”. Begitu kata dokter Kir mata di sebuah rumah sakit kepada Buna,
wanita empat puluh tahunan seorang pembantu rumah tangga. Buna mengeluh sering pusing belakangan ini
dan penglihatan mulai kabur, makanya oleh majikan disuruh antarkan oleh supir
untuk periksakan mata.
Ketika Buna masuk ke ruang periksa, Kimin duduk
diruang tunggu. Kimin sebagai supir keluarga, sudah kenal cukup lama dengan
Buna, karena mereka memang berasal dari kampung yang sama. Justru masuknya Buna
sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Pak Marsaid direferensi oleh Kimin.
Telah lima belasan menit Kimin duduk diruang tunggu,
namun belum ada tanda-tanda pemeriksaan selesai. Karena lumayan kesal menunggu
di luar, iseng-iseng Kimin membuka pintu kamar periksa perlahan sekedar untuk
mengintip. Rupanya si Buna lagi duduk di kursi periksa membelakangi pintu,
dikedua matanya sedang terpasang alat periksa mata, berupa bingkai kaca mata
khusus yang lensanya dapat diganti-ganti. Sementara itu beberapa meter
dihadapan Buna ada alat periksa mata berupa angka dan huruf-huruf seperti
berikut:
Sempat terdengar pertanyaan dokter, ini huruf apa,
yang ditandai huruf “o” yang paling kecil, dijawab Buna “tidak kelihatan”. lalu
tanda diteruskan ke “o” yang lebih besar, dijawab juga “tidak kelihatan”. Ok
Kalau begitu saya ganti lensanya, kata si dokter dan ditunjuk oleh dokter angka atau huruf,
begitulah berulang kali, baik huruf besar, angka yang besar mau huruf kecil,
angka kecil, jawabnya tetap “tidak kelihatan” atau “tidak nampak”.
Kerena begitu lama pemeriksaan belum juga usai, maka
Kimin tak sabar mengetuk pintu dan menanyakan ke dokter bolehkah dia masuk. Kimin
pun dipersilahkan masuk dan ikut menyaksikan pemeriksaan. Setelah mengikuti
beberapa jurus pemeriksaan, kemudian Kimin memberi kode kepada dokter untuk
bebicara sebentar. Kode itu dimengerti oleh dokter, si Kimin diajak untuk
kemeja dokter yang letaknya dipisahkan oleh tabir dengan ruang periksa.
Setelah Kimin meberitahukan kepada dokter, dengan
suara perlahan hampir berbisik. Mengertilah dokter dan pemeriksaan dengan angka
dan huruf dihentikan, sebab akan sia-sia. Selanjutnya Buna diminta duduk di kursi
di depan meja kerja dokter, sementara Kimin keluar ruangan. Beberapa menit
kemudian Buna keluar dengan membawa resep kaca mata.
Persoalannya tidak akan berlambat-lambat di dokter,
kalaulah sejak semula Kimin memberitahukan kepada dokter bahwa pasien yang satu
ini tidak mengenal huruf dan angka alias “Buta Huruf”. Kimin juga tak bersalah
mutlak, karena dianya belum pernah menjalani “Kir Mata”, sehingga tidak
mengetahui kalau pemeriksaan mata itu dengan menggunakan huruf dan angka. Buna
juga baru kali itu memeriksakan mata, disamping tidak mengetahui pemeriksaan mata
rupanya pakai angka dan huruf, juga dianya tidak mau berterus terang bahwa buta
huruf, karena masakan hari gini masih ada yang buta huruf, malu kan. Dianya
juga tidak mau kalau disebut buta huruf sama sekali, sebab setidaknya mengenal
angka yang dimuat dalam duit, kalau tidak gimana bakal disuruh belanja ke
pasar. SWoal huruf, setidaknya pada Ka Te Pe
ada tanda tangan bertuliskan “Buna”; namanya, jadi kalau sekedar huruf “B”, “U”,
“N” dan “A” ya taulah. Sayangnya huruf itu tidak ditanya oleh dokter, juga
angka dalam duit tidak ditanyakan, jadi mendingan di jawab “Tidak kelihatan”,
atau “kurang jelas”. Itu agaknya jawaban yang cukup mudah, walau bikin dokter
bingung. Rupanya berterus terang, kadang diperlukan tapi kadang kalau berterus
terang malah menyulitkan. Pokoknya tergantung sikon-lah.
Itulah agaknya potret sebagian kecil warga negara ini,
walau sangat kecil tapi masih ada di
tengah masyarakat kita, kadang kita beratanya ini tugas siapa untuk memelekkan
mereka. Eeee jangan dikira gampang, soalnya pernah nyoba ada pembantu yang
bermodel yang sama, dengan susah payah keluarga kami mengajarinya dengan bekal
segala alat peraga. Dasar memang, ibarat bambu sudah menjadi betung sudah susah
dilentur. Juga dianya tak pandai pandai, kalau nangkap cuma sedikit, kemudian
lupa lagi.
Dalam pemilu siapapun dia, melek huruf kah atau
tidak, satu suara per jiwa dewasa. Pernah terjadi ketika pemilu, waktu itu ada
sepuluh partai yang ikutan. Di suatu kampung yang seluruh penduduknya tak
mungkin menyomblos no 10, ternyata setelah suara dihitung ada beberapa lembar
kertas suara memelih no urut 10. Rupanya penyumbang suara ini tidak sengaja,
inginnya nyoblos no urut 1, kertas di buka terbalik tercobloslah nomor yang
paling pojok kiri, yaa lobang di angka 10.
No comments:
Post a Comment