“Mudah-mudahan ndak macet, pukul 9 nan sudah sampai
di rumah”, begitu do’a seorang ibu-ibu setengah baya setelah sejak malam tadi
jadi penumpang bis malam sepulang mudik untuk berlebaran. Do’a itu digumamkan
oleh beliau sekitar pukul 7 han pagi ketika mulai masuk tol Cikampek. Si Ibu
duduk di deretan kursi persis di belakang sopir.
“Maaf ibu, sebetulnya kalau berdo’a, sebaiknya
jangan sudah dekat Jakarta”, si sopir menyambar do’a si Ibu. Tentu si Ibu ingin
tau mengapa do’a jangan dekat Jakarta. Pak supir menjelaskan singkat “di kota,
banyak dosa bu do’a ndak mandi”. Jadi rupanya menurut pendapat si supir, kalau
di suatu tempat yang manusianya banyak berbuat dosa, maka segala do’a akan
percuma, tidak akan terkabul.
Benarkah potensi berbuat dosa itu lebih banyak di kota atau lebih banyak di di desa, atau
sama saja, atau justru banyak di desa. Selanjutnya apakah orang berdosa sama
sekali do’anya tidak terkabul. Untuk itu mari kita telusuri sejenak fakta
berikut ini:
Fakta potensi dosa di kota besar
Adzan Ashar berkumandang, saya melangkah menuju
masjid yang hanya puluhan meter dari rumah. Tiba-tiba sebuah mobil minibus
berhenti di seberang jalan yang se arah denganku, aku sedang berjalan di
trotoar di kanan jalan. Si pengemudi setengah berteriak, “mohon maaf tanya
pak”, sapanya dengan sopan. “Jl. A kemana pak”.
“O ya terus saja, ntar sampai pintu kereta, belok kiri, kemudian ada
jalan di sebelah kiri, anda masuk”. Jawabku dengan pasti. Setelah shalat Ashar,
aku baru ingat bahwa petunjuk yang kuberikan adalah salah. Sebenarnya Jl. A,
lurus saja ketika sampai di perempatan pintu kereta (pintu kereta kurang lebih
200 meteran dari tempat dia bertanya itu). Sedangkan petunjuk yang kuberikan
adalah Jl. B. Jadi petunjukku adalah petunjuk yang menyesatkan. Tentu ini dosa,
kapan mau minta maaf, orangnya ndak dikenal. Pikirku di kota besar ini mau
menuju masjid aja ada peluang membuat dosa. Semoga orang tadi tidak mencaci
makiku tidak menyumpahiku serta tidak mendo’akan yang jelek buatku.
Kebiasaanku setelah purnakarya ini, olah raga jalan
pagi. Kurasakan sehat dan dapat mengendalikan gula darah type dua yang mulai
singgah didiriku umur 50an. Jalan pagi yang cocok buatku di bawah pukul 10
pagi, mulai pukul 08.30 atau selambatnya pukul 09.00, selama satu jam, enak
disinari sinar matahari pagi. Pagi itu kujalan pagi sambil ingin mengunjungi
sahabat di bilangan Jl. C. Sahabat ini ngantor berangkatnya sesudah dzuhur.
Jadi pas pikirku, namun tetap saja kutelepon ke HP beliau. Dua kali kutelpon tidak
diangkat, sahutan dalam HP, agar meninggalkan pesan. Sudah kadung jalan,
perjalanan kuteruskan mengarah alamat. Tiba-tiba ada sebuah mobil meluncur
perlahan keluar dari muara jalan alamat sahabatku itu membelok ke kiri ke jalan
yang sedang kulalui. Mobil tersebut sama jenisnya dengan mobil sahabatku itu
dan orang yang memegang kemudi, tak salah lagi dia sahabat saya itu. Langsung
saya angkat tangan dan beri isyarat untuk minta ybs menghentikan mobilnya.
Mobil sudah terlanjur melewatiku tetapi selanjutnya karena aku berbalik dan
terus mengangkat tangan dan bertepuk, mobil itupun minggir. Akupun segera
berlari menghampirinya, kaca sebelah kiri dibukanya lebar-lebar. Ternyata
setelah kulihat orang tersebut bukan sahabatku, dia orang lain, cuma mirip.
Tentu aku mohon maaf kepada Bapak yang mau menghentikan mobilnya itu. Tidak
sembarang orang berani menghentikan mobilnya dikota besar seperti Jakarta, atas
permintaan orang tak di kenal di jalan yang lancar dan agak sepi. Ini tentu aku
berdosa telah menghambat perjalanan ybs. Pikirku belum lama membuat dosa salah
memberi alamat timbul dosa baru lagi menghambat orang dalam perjalanan. Ketika
ku minta maaf, terlihat dari raut wajah yang bersangkutan belum ikhlas member
maaf, semoga dia tidak mencaci maki dan mendo’akan ku yang jelek.
Setelah sampai di rumah sahabatku itu, ternyata
dianya sedang tidak di rumah, HPnya ditinggalkan di atas meja. Pas aku tiba di depan
pintu pagar rumahnya menunggu agak sebentar, diapun datang juga dengan pakaian
olahraga.
Fakta potensi dosa di desa
Almarhumah Ibundaku pernah memberikan sebuah
ungkapan kepadaku, mungkin maksudnya dalam kaitan hubungan muda-mudi. “Ditempat
sepi iman berpindah”, begitu kata beliau. Dihubungkan dengan sepi dan
keramaian, maka “tempat sepi” identik dengan pedesaan, sedangkan “tempat ramai:
identik dengan kota besar. Benarkan bahwa potensi berbuat dosa itu juga besar
pada tempat yang sepi. Fakta menunjukkan dari tayangan TV, bahwa tidak sedikit
terjadinya kejahatan di desa-desa, bukan hanya di kota besar saja. Di Riau, ada
sekolompok orang yang dengan sadis membunuh anak-anak remaja dengan mutilasi
dan bahkan dagingnya dijual di warung-warung. Ada lagi di tempat lain di
bilangan Jawa Timur seorang ibu membunuh anak kandungnya memasukkan dalam septiktank.
Pencabulan, perampokan dan aneka kejahatan banyak juga terjadi ditempat yang
sepi. Ini mungkin makna dari ungkapan
bijak Ibuku “Ditempat sepi iman berpindah”. Karena yang mamanya iman,
didalamnya ada malu, ditempat yang ramai setidaknya malu diliat orang akan
mendongkrak menguatnya iman.
Fakta do’a pendosa terkabul
Ada jenis penjahat yang dianya jadi penjahat, tetapi
anak keturunannya, dia tidak inginkan jadi penjahat seperti dirinya. Penjahat
seperti ini dalam melakukan aksinyapun selalu dengan melakukan ritual tertentu
sebelum beroperasi. Ritual tersebut termasuk berdo’a agar oparesinya berjalan
sukses tidak terjadi hambatan. Termasuk do’a seorang copet misalnya,
“mudah-mudahan hari ini ada yang lagi apes”. Ya jika doa itu terkabul, pas ada
orang yang lagi apes dan berhasillah si pencopet memindahkan dompet orang yang
apes itu. Makanya ketika di Masjidil Haram, ada jamaah yang kecopetan. Patut
kita informasikan kepada siapa saja yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah.
Bahwa di Masjidil Haram ini do’a di ijabah, termasuk do’a pencopet.
Antisipasinya kita juga berdo’a “semoga tidak kecopetan” dan dibarengi
hati-hati.
Sepertinya
para koruptorpun berdoa juga ketika melakukan korupsi, tentu do’a mereka agar tidak
diketahui kalau dia korupsi. Kalau sampai diketahui, mungkin do’a nya semoga
pengadilan tidak dapat membuktikan. Kalau sampai dapat dibuktikan mungkin
do’anya semoga dapat cincai dengan penegak hukum. Kalau tidak dapat cincai
dengan penegak hukum, mungkin do’anya semoga dapat hukuman yang
seringan-ringannya. Kalau dihukum berat juga, do’anya mungkin semoga hasil
korupsinya tidak diambil negara, jadi nanti keluar masih dapat dinikmati. Kalau
disita juga semoga masih ada yang tidak ketahuan, dan seterusnya. Bisa saja
sejak awal do’a koruptor sudah terkabul. Buktinya banyak koruptor di negeri ini
yang belum tersentuh, karena tidak ketangkap tangan, ini do’anya terkabul.
Beruntunglah koruptor yang tak ketangkap dan malang koruptor yang apes.
No comments:
Post a Comment