Kata “Jelantah”, sudah populer di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia “Jelantah” diartikan “minyak kelapa
yang sudah dipakai untuk menggoreng” Ternyata cita rasa minyak jelantah itu
cukup nikmat, tergantung bekas dipakai untuk menggoreng apa; minyak tersebut. Kalau minyak jelantah bekas
menggoreng cumi-cumi, maka cita rasa cumi-cumi melekat pada minyak jelantah
tersebut, begitu juga bekas menggoreng ayam, daging sapi atau ikan asin. Cukup
enak buat sarapan pagi, dulu masih sekolah di kampung untuk akan berangkat ke sekolah,
buru-buru minyak jelantah dicampur dengan nasi dingin, atau kalau masih ada
waktu nasi digoreng dengan minyak jelantah. Nikmaaat.
Belakangan, banyak informasi yang mengingatkan akan
bahaya minyak jelantah, bila dikonsumsi akan menimbulkan penyakit seperti; peningkatan
kolesterol darah, keracunan, serta terbentuknya sel kanker. Minyak jelantah mengandung asam
lemak jenuh yang tinggi yang berbahaya bagi tubuh. Kandungan kolesterol baik
(HDL) semakin berkurang sementara kolesterol buruk (LDL) semakin meningkat. Hal
ini dapat memicu berbagai penyakit seperti hipertensi, penyumbatan peredaran
darah, penyakit jantung, dan stroke.
Bahkan lebih dari itu, minyak jelantah dapat menyababkan kanker colon pada usus
besar. Ngeriii.
Minyak
jelantah pun dapat merusak nutrisi baik yang dikandung makanan. Contohnya ikan
salmon yang mengandung Omega-3, nutrisi yang bermanfaat untuk menurunkan kolesterol
dalam darah, akan hilang khasiatnya jika digoreng dengan minyak jelantah karena
komposisi ikatan rangkapnya menjadi rusak. Pemanasan pada minyak
selama 30 menit dengan suhu di atas 125 derajat celcius dapat menyebabkan
munculnya senyawa-senyawa baru yang beracun bagi tubuh dari pemutusan
rantai-rantai asam lemak.
Keadaan seharian kita sampai saat ini kita temui dimana-mana makanan
“gorengan” dan sudah menjadi kebiasaan kita untuk melahapnya. Bahkan, seorang
teman ada yang harus makan nasi dengan gorengan. Gorengan, mulai dari bakwan,
pisang goreng, tahu isi, dll selalu memanjakan kita dengan rasanya yang lezat
dan renyah.
Coba kita
perhatikan dengan sedikit saksama tukang gorengan di sepanjang jalan. Warna
minyaknya yang mendidih selalu berwarna hitam pekat. Semakin pekat warnanya
konon akan semakin gurih rasa gorengannya. Ya, itulah minyak jelantah yang
sudah digunakan berulang kali. Demi alasan penghematan, minyak jelantah
digunakan terus-menerus. Alhasil, kesehatan tubuh yang memakan gorenganlah yang
menjadi korbannya. Jika Anda menyukai gorengan, waspadalah terhadap gorengan
berwarna gelap dan bertekstur lebih keras dari biasanya karena mungkin minyak
yang digunakan adalah minyak jelantah.
Begitu
agaknya kajian manusia, semakin maju teknologi dan semakin bertambah ilmu
pengetahuan, sepertinya hidup ini semakin mengerikan. Orang akan lebih takut
terhadap suatu bahaya, kalau sudah diketahui sebelumnya akan datangnya bahaya.
Sebaliknya bila suatu bahaya itu tidak diketahui sebelumnya, kemudian baru
diketahui persis saat terjadinya bahaya orang tidak akan takut, tinggal
menerima dan merasakan saja bahaya yang datang.
Manusia
dirancang oleh Allah, mempunyai pencernaan yang lain dari makhluk-makhluk
lainnya, itu salah satu kekuasaan dan kebesaran Allah bila kita maulah sedikit
merenung. Mari kita lihat contoh kecil; pencernaan “ayam”, dia makan apa saja
mulai dari rumput, nasi basi, makanan bekas dan bahkan kotoran, termasuk minyak
jelantah. Tidak pernah terdengar ayam terkena kanker atau tiba-tiba stroke.
Mungkin
bandingan tadi tidak sebanding, binatang tidak bergigi dibanding manusia yang
bergigi. Kita coba membanding dengan binatang yang langsung berdekatan dengan
model pencernaan manusia. Seperti orang hutan, orang hutan minum langsung dari
alam, tanpa harus dimasak, orang hutan makan tanpa terlebih dahulu dimasak.
Orang hutan juga sanggup makan makanan yang dimakan manusia, dengan tidak
terlalu harus ketat dengan syarat-syarat kesehatan. Ternyata tetap saja beda
tingkat kemampuan manusia imun terhadap kemungkinan sakit karena makanan, dibanding
hewan yang pencernaannya mirip manusia ini.
Sekarang
kita bandingkan antara manusia dengan manusia. Di Jakarta ada manusia yang
mendapat julukan “manusia gerobak”. Mereka manusia biasa, punya keluarga, istri
dan anak. Dengan gerobak mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain, kadang
ada yang punya anak balita, diangkut kesana kemari dengan gerobak, mereka dimana
kemalaman disitulah dia tidur berkasurkan aspal beratapkan langit. Allah
memberikan kekebalan kepada mereka lain dengan kekebalan yang dimiliki orang
gedongan. Orang gedongan rentan dengan gigitan nyamuk, berpotensi kena demam
berdarah, sementara “manusia gerobak”, sepertinya bersahabat dengan nyamuk.
Demikian juga angin malam dan kondisi gizi makanan dan kesehatan minuman
mereka, jauh dari persyaratan kesehatan. Tetapi sampai saat ini keberadaan
“manusia gerobak”, begitu banyak terlihat di Jakarta.
Kita
kembalikan kepada kebesaran Allah. Jika tanpa perlindungan Allah segelas air
yang kita minum walau sudah dimasak dan diupayakan sedemikian rupa
syarat-syarat kesehatan tetap saja akan dapat membahayakan kesehatan.
Tidak
ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah;
(Al- Qur’an; At Taghaabun ayat 11)
Dari ayat ini sesungguhnya bilalah tidak karena
perlindungan dari Allah, maka apa saja yang kita makan kita minum, udara yang
kita hirup terutama di Jakarta pekat dengan polusi, mesti di dalamnya terdapat
hal yang membahayakan tubuh manusia. Allah telah memeliharakan kita dengan
melengkapi tubuh kita semua dengan kekebalan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing orang. Manusia gerobak, diberikan tingkat kekebalan yang lebih
dari manusia gedongan. Kami dulu semasa zaman susah, sangat kenyang makan
sarapan pagi dengan kuah minyak jelantah, Alhamdulillah kini sudah bertahan
lebih enampuluh tahun. Ini merupakan salah satu bentuk keadilan Allah,
subhanallah.
Tulisan ini cuma cari pembenaran dr suatu kesalahan.. Mirip koruptor yg lg bela diri.
ReplyDelete