Saturday, 23 August 2025

Yang dinilai di HATI Bukan di MULUT

No: 1.347.07.08-2025 Disusun: M. Syarif Arbi Bila mengikuti pengajian khusus mengenai cara membaca Al-Qur’an (Tahsin Al-Qur'an atau Tahsinul Qur'an), bagi kita yang sedari kecil bukan ikutan belajar di sekolah agama (kini disebut pesantren), terus terang rasanya kurang “PE DE” bila diminta maju menjadi imam shalat berjamaah di masjid untuk shalat maghrib, isya dan subuh. Bagi kita yang tidak belajar khusus membaca Al-Qur’an dari kecil, kalau pun sekarang baru mulai mempelajarinya, sudah sulit membuat lidah lentur menyesuaikannya, pepatah dikampung kami “kalau sudah Aur susah dilentur”. Lidah ini sudah terpola, dimana ketika masih kecil diajar ngaji, sesuai aksen daerah kita masing2, strata kualitas gurupun beragam. Seringkali terjadi adalah “kadang2”, …. sekali lagi “kadang2”,……… ada yang mengklaim bacaan yang diajarkan guru merekalah yang paling pas, paling tepat, paling sesuai kaidah membaca Al-Qur’an. Menarik sebuah kisah yang ditulis Ustadz Umaruddin Masdar dipublish di medsos, secara singkat kita kutip. Bahwa konon seorang ustadz muda membatalkan niatnya berguru kepada Syaikh Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi yang berumah di tengah-tengah padang pasir. Pembatalan dikarenakan ketika mendengar Syaikh Abu Said Abul Khair sedang mengaji, bacaan Al-Fatihah nya, menurut ustadz muda ini kurang fasih. Ustadz muda itu pergi tanpa permisi, begitu ia keluar halaman rumah Syaikh Abu Said Abul Khair, ia dihadang oleh seekor singa padang pasir. Karena ketakutan, ustadz muda itu balik kanan, di belakangnya juga ada seekor singa. Akhirnya, ustadz muda itu menjerit keras karena ketakutan. Begitu mendengar teriakan dari luar, Syaikh Abu Said Abul Khair segera keluar meninggalkan majelisnya. Ia menatap kedua ekor singa dan berkata kepada singa-singa itu: “Wahai singa, bukankah sudah aku bilang padamu jangan pernah kalian mengganggu para tamuku.” Sungguh ajaib, kedua singa lalu duduk bersimpuh di hadapan Syaikh Abul Khair. Sang sufi Abul Khair lalu mengelus-elus telinga kedua singa itu dan menyuruhnya pergi. Setelah kedua hewan buas itu pergi, ustadz muda itu merasa keheranan. “Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar itu?” tanya ustadz muda. “Anak muda, selama ini aku sibuk memperhatikan urusan hatiku. Bertahun-tahun aku berusaha menata hati hingga aku tidak sempat berprasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukanku menaklukkan hatiku ini, Allah SWT telah menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Semua binatang buas di sini termasuk singa padang pasir yang buas itu, semua tunduk kepadaku,” jelas Abul Khair. Ustadz muda itu hanya terdiam dengan penuh rasa malu. Namun, di sisi lain ia begitu mengagumi karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abul Khair. “Engkau tahu kekuranganmu, wahai anak muda?” kata Abul Khair. “Tidak wahai guru,” jawab si Ustadz muda itu. “Selama ini engkau sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu, karena itu engkau takut kepada seluruh alam semesta,” jelas Abul Khair. Ustadz muda itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia menetapkan hatinya untuk menjadi murid Syaikh Abul Khair. Dapat dipetik dari kisah ini khusus mengenai “cara membaca ayat2 Al-Qur’an” bahwa kadang ada orang menyalahkan bacaan orang lain, tak jarang menyalahkan itu hanya membanding dengan apa yang diajarkan oleh gurunya masing2. Allah menilai manusia bukan hanya dari perbuatan lahiriah, demikian juga bukan hanya dari ucapan di mulut, tetapi Allah menilai dari niat dan apa yang ada dalam hati. Memang menyoal soal membaca ayat2 Al-Qur’an seharusnyalah setiap diri memperlajari teknik membaca yang benar. Namun, tergantung kepada kemampuan masing2, tergantung kesempatan yang tersedia, tergantung kualitas guru yang mengajar. Allah Tidak Membebani di Luar Kemampuan. Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 286 disebutkan: لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا.........................." ࣖ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” Setelah berusaha semampu mungkin untuk sefasih mungkin membaca Al-Qur’an misalnya Al Fatihah, maka serahkan kepada Allah. Titik beratnya adalah pengertiannya didalam hati. Menurut para ustadz yang fasih, bahwa salah ucapan akan salah arti. Bagi kita2 yang tidak fasih, tanamkan niat di dalam hati ketika membaca Al-Fatihah dengan arti yang benar. Merujuk kepada sabda Nabi Muhammad ﷺ dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,," “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. ……………...” (HR. Bukhari dan Muslim) Baik juga disimak dalam kaitan isi hati ketika membaca Al-Fatihah waktu shalat, firman Allah di Surat Fatir Ayat 38 إِنَّهُۥ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ. ………………” “…………. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati”. Ayat 38 surat Fatir diatas menunjukkan bahwa: Allah menilai ibadah kita (contoh dalam shalat membaca Al-Fatihah) yang paling utama keikhlasan dan apa yang ada di dalam hati, bukan sekedar yang diucapkan. katakanlah bacaan yang diucapkan misalnya tidak sesuai benar dengan kaidah yang ditentukan, namun kita sudah mengusahakan sebaik mungkin. Lalu terjemahkan sesuai maksud dari ayat. Karena Allah mengerti semua bahasa, semua isi hati. Sebaliknya, bacaan demikian baik, lagunya merdu sahdu didengar, tapi terbetik dihati untuk pamer, actions agar dinilai fasih atau riya, ada kemungkinan tidak akan diterima oleh Allah. Karena itu, menjaga hati agar tetap bersih, ikhlas hanya karena Allah, dan jujur adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. “Allah menerima apa yang dimaksud meskipun salah mengucapkan” adalah pernyataan yang mengandung makna mendalam dalam konteks hubungan hamba dengan Allah, terutama dalam doa dan ibadah. Allah Maha Mengetahui isi hati manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ "Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Surat Qaf: 16) Jikalah boleh disimpulkan dari keterangan di atas maka: Niat lebih penting ketimbang lafaz. Jika seseorang niatnya benar namun lisannya tergelincir atau tidak sempurna, maka insya Allah, Allah tetap menerima amalnya. Contoh: Jika seseorang yang baru belajar membaca Al-Fatihah keliru melafalkannya, tetapi niat dan usahanya kuat, maka Allah tidak menyia-nyiakan amal tersebut. Jika kesalahan pengucapan terjadi karena keterbatasan, bukan karena kesengajaan, maka itu bukan kesalahan yang menyebabkan dosa. Meskipun demikian: Kita tetap dianjurkan untuk belajar memperbaiki pengucapan atau bacaan dalam shalat. Pernyataan yang menyebutkan kalau salah membaca Al-Qur’an berdosa, agaknya membuat orang2 awam jadi takut membaca Al-Qur’an. Sekecil apa pun kebaikan akan dicatat oleh Allah, dan tidak ada amal kebaikan yang sia-sia, meskipun tampak kecil atau tidak terlihat oleh manusia, termasuk ketika shalat masih salah dalam pengucapan, tetapi dihati diartikan sesuai dengan makna yang dibaca. Referensi akan pengertian ini adalah: فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ "Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Az-Zalzalah: 7) Marilah kita tingkatkan ketaatan dalam beribadah; shalat dan membaca Al-Qur’an, misalnyapun diri kita kurang fasih karena masa anak2 kita dulu bukan anak yang khusus belajar membaca Al-Qur’an, namun berusaha terus belajar memberbaiki bacaan kita masing-masing, Allah akan menerima amal kebaikan kita yang dilakukan dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَبِّ الْعٰلَمِيْن , وَسَلَـٰمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِين , اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْن Jakarta, 23 Agustus 2025, 29 Safar 1447H.

No comments:

Post a Comment