Monday 20 September 2021

Kerukunan

Kerukunan idaman setiap warga, dalam satu kelompok paling kecil seperti sebuah keluarga terdiri Istri-Suami-Anak2. Ke atas; ayah-ibu sendiri dan mertua. Kebawah cucu2, cicit2. Kesamping; saudara2 sepupu, periparan dan besan. Meluas lagi adalah kelompok seiman, sebagai saudara seiman kerukunan harus tercipta sebagaimana Rasulullah S.A.W. ajarkan: عَنْ أَبِي مُسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ. (أخرجه البخاري) Artinya: "abu musa meriwayatkan, nabi S.A.W. bersabda: “kaum mukmin adalah bersaudara satu sama lain ibarat (bagian-bagian dari) suatu bangunan satu bagian memperkuat bagian lainnya.” dan beliau menyelibkan jari-jari disatu tangan dengan tangan yang lainnya agar kedua tangannya tergabung." (HR. Bukhori). Sebagai suatu bangsa yang majemuk kita bermasyarakat bukan hanya dengan yang seiman saja. Karena itu kerukunan di lingkup lebih luas dalam bermasyarakat yaitu: Dengan masyarakat di "Rukun Tetangga" (RT). Bilamana antar warga rukun, merupakan kebahagian warga RT tersebut. Jika RT- RT rukun, maka RW akan rukun, jadinya warga RW menjadi bahagia. Dan seterusnya kelompok RW-RW rukun, membangun kelurahan yang bahagia. Berlanjut kota dan bangsa yang bahagia bila seluruh warganya rukun. Persoalannya bagaimana secara teknis mencapai kerukunan itu. Prinsip dasar dalam Islam memahami tentang kemajemukan. Islam adalah agama yang sangat toleran, menghargai pendapat dan paham sesama umat manusia. Toleran terhadap pendapat dan paham itu dibedakan terhadap 2 (dua) kelompok: 1. Toleran terhadap kelompok intern ummat Islam sendiri. Diketahui kini terdapat beberapa perbedaan paham, misalnya terdapat paham mazhab-mazhab. Namun masing-masing saling hormat, tidak saling meng klim pahamnya yang paling benar. Persaudaraan sesama muslim dijaga dengan baik (didasari atas ukhuwah Islamiyah). Masing2 berpedoman kepada: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [٤٩:١١] (Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim). 2. Toleran terhadap umat-umat agama lain. Ketika bermasyarakat, dalam pergaulan dengan agama-agama lain, Islam mengedepankan titik persamaan dengan agama lain, bukan mengedepankan perbedaan, karena memang masing-masing agama dan keyakinan itu sampai kapanpun tetap berbeda. Tak benar pernyataan bahwa “semua agama itu sama”. Sebagai dasar toleran tersebut ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran 64: قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ [٣:٦٤] Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Masing2 penganut agama harus dihormati atas keyakinannya bahwa “agamanya lah yang paling benar”. Justru kalau penganut suatu agama tidak meyakini agamanyalah yang paling benar, keimanannya terhadap agamanya mulai goyang. Penganut Islam menyadari betul bahwa di dunia ini terdapat beberapa agama, keyakinan, kepercayaan. Sebab Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: وَاَ نْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِا لْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَا حْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَا جًا ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّا حِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَا سْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ  اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ  "Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan," (QS. 5 = Al-Ma'idah ayat 48) Ayat ini menunjukkan bahwa kemajemukan agama di antara umat manusia merupakan bagian dari kehendak Allah. Dalam sejarah Islam, sikap menghargai atau kerukunan hidup telah lama dipraktikkan Nabi Muhammad S.A.W. Dengan konsep kebersamaannya antara suku di Madinah. Lewat “Konstitusi Madinah” aturan main antarsuku yang bertikai dicarikan titik temunya tanpa merugikan eksistensi masing-masing kelompok yang berbeda-beda. Tradisi yang baik ini diikuti pula oleh Khalifah Umar bin Khattab yang mengeluarkan: “Piagam Aelia” yang mengatur tata hubungan masyarakat Yerusalem. Dalam Islam tidak dibenarkan memaksakan kebenaran kepada umat agama lain (QS. al-Baqarah: 256). Allah menegaskan: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [٢:٢٥٦] “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ajaran Islam melarang umatnya mempengaruhi siapapun untuk masuk Islam, apalagi dalam bentuk tekanan-tekanan sosial dan politik. Umar bin Khattab sering mempengaruhi budaknya, Astiq non Islam untuk menerima Islam. Akan tetapi ketika budaknya menolak, Umar hanya dapat berucap: “لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ" (tidak ada paksaan dalam agama Islam). Islam juga melarang bahasa yang kasar terhadap umat agama lain, sebagaimana tertuang dalam surat 6 = al-An’am ayat 108, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا بِۢغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ۖ  ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَعْمَلُوْنَ "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am 6: Ayat 108) Semoga Allah memberikan kemampuan ummat Islam sebagai pelopor kerukunan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Karena justru Islam ditegakkan untuk mendatangkan kemaslahatan kehidupan ummat manusia. آمِيّنْ... آمِيّنْ... يَا رَبِّ الْعٰلَمِيْن اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْن بارك الله فيكم M. Syarif Arbi. Jakarta, 13 Safar 1443 H. 20 September 2021. (845.09.21).

No comments:

Post a Comment