Anak, adalah idaman setiap orang
yang menikah, sampai ada “kata berlanjut” yang biasa diucapkan orang “mandi
sampai basah, belayar sampai ke pulau, menikah sampai punya anak”. Ada pasangan
yang menikah sudah belasan tahun, belum juga dikarunia anak. Usahapun dilakukan,
pokoknya asal mendengar ada dokter yang canggih tentang dapat mebuat kesuburan
pasangan suami isteri, kemanupun jauh didatangi, berapapun mahal dikumpulkan
duit. Apalagi dokter, sampai “orang pintar” yang kadang ndak masuk nalarpun
dicoba dengan alasan ihtiar.
Ketika masih muda dulu, kami
pernah tinggal di suatu daerah, punya dua orang tetangga yang belasan tahun
menikah belum dapat keturunan. Kurang lebih tahun ke dua belas menikah,
akhirnya masih-masing kedua pasangan ini, bagaikan janjian sama sama mendapat
tanda akan hadir kedunia penurus keturunan mereka. Sekali lagi bagaikan janjian
tetangga sekomplek kami itu yang berada di blok di depan blok rumah kami dan
juga yang dibelakang blok rumah kami itu sama-sama mendapatkan anak lelaki.
Begitu sayangnya kedua orang tua
mereka kepada anak idaman itu, semua mainan, semua keiinginan si anak dipenuhi
sebisa mungkin. Sampai mereka mulai
masuk TK, belum ada lagi tanda adiknya akan nongol, al hasil sampai kami pindah
tugas diperoleh kabar bahwa kedua pasangan ini hanya punya anak satu satunya
dan kini mereka sudah tumbuh menjadi orang dewasa dan punya anak pula.
Sama-sama anak dielukan dan
dimanja semasa kecil, ternyata pertumbuhan kedua anak manusia ini berbeda
sedemikian rupa, bagaikan siang dan malam. Kami ketahui kisah nyata ini,
setelah 31 tahun kami kunjung silaturahim ke kompleks yang pernah kami tinggal
disana selama 5 tahunan.
Kini anak yg satunya menjadi anak
yang sangat berbakti kepada ibunya, ayahanda telah pulang kerahmatullah ketika
dia masih kelas dua es em a. Ibunyalah yang meneruskan membimbingnya dan
membiayai hidup sampai selesai kuliah. Begitu hebat perjuangan sang ibu
menyekolahkan anak semata wayang itu, dengan berusaha menjual makanan di kantin
kantor almarhum suaminya. Alhamdulillah perjuangan ibu ini tidak sia-sia,
bahkan sianak walaupun sudah beristeri dan beranak empat, namun kasih sayangnya
kepada ibunya demikian tinggi, ibunyapun sudah dibawa menunaikan ibadah haji.
Kebetulan kehidupannyapun lumayan, lebih baik kalaulah dibanding dengan
kesusksesan ortunya dulu di bidang
pekerjaan.
Beda dengan anak yang satunya
lagi, kini dianya hidup tinggal sebatang kara, masih tinggal di kompleks kami
dulu. Kehidupannya agak kurang beruntung tak jelas apa usahanya. Rupanya ibundanya
belum lama meninggal dunia, si ibu
mengakhiri hidupnya secara tragis bunuh diri. Ibu ini memilih jalan ini konon
alasannya tak tahan menahan tekanan hidup, lantaran si anak selalu merongrong. Semenjak
ditinggal almarhum suami, si ibu terpaksa ngutang sana-ngutang sini demi
memenuhi keinginan si anak yang sudah terlanjur dipenuhi sejak kecil apa
maunya. Rupanya tak tahan dililit hutang sudah melilit pinggang, pilihannya
jatuh ke mengakhiri hidup dangan menggantung diri dengan tambang.
Memang terdapat perbedaan kedua
anak ini semasa ditinggal ayah mereka, yang satu hidup dengan penuh prihatin,
menurut apa yang diarahkan si ibu, sementara anak yang satunya sepeninggal
Bapaknya tetap saja, tak tau bagaimana caranya si ibu harus dapat mengadakan
apa yang diminta.
Setelah kami pindah ke kota lain,
ketemu lagi dengan anak yang masih sedang bertumbuh, sudah duduk di kelas satu es
em pe, punya ayah bekerja sebagai
pegawai rendahan di sebuah perusahaan. Anak ini punya saudara 3 orang. Suatu
hari si anak berdialog dengan Bapaknya: “Bapak; saya minta uang, nanti setelah
pulang sekolah, mau langsung ke kolam renang, abis berenang mampir makan ke Mac
D, ama teman-teman, juga mau mampir ke mall beli tas”. Si Bapak menjawab: “Ngoco to lee, koe iku anak e sopo”. Agaknya
si anak tersadar bahwa si Bapak tak mungkin ngasi uang sesuai kebutuhan, kolam
renang, sekaligus makan di Mac D dan juga beli tas. Ketika teman-temannya
mampir menjemputnya si anak memilih untuk tidak ikut. Kasihan memang dengan ini
anak, tapi dirinya mulai belajar bahwa hidup ini tidak sama, tiap anak sama
duduk di bangku es em pe, tapi dirinya
anak siapa harus disadari, kerena setiap Bapak (Ortu) tidak sama kemampuannya.
Begitu juga anak tetangga kami 31
tahun yang lalu dikisahkan di atas itu, yang satunya berhasil ibunya menanamkan
palsafah “Ngoco to lee kue iku anak e sopo”. Sedang yang satunya tidak peduli,
sampai akhirnya ujung kehidupan ibunya tragis dan dirinyapun sekarang belum nampak
tanda-tanda kehidupan membaik.
Begitulah kehidupan manusia dalam
mendapat amanah mempunyai anak. Anak itu seperti pernah saya tulis juga di blog,
berpotensi sebagai inventasi, berpotensi sebagai membuat kita lalai mengingat
Allah, berpotensi sebagai musuh, berpotensi sebagai cobaan dan berpotensi pembela kehidupan akhirat. Dari
kelima potensi ini, terlihat dua berpotensi baik dan dua berpotensi kurang baik
serta satu berpontensi 50%-50% yaitu potensi cobaan. Kalau cobaan itu dapat
kita atasi maka akan menjadi kebaikan dan sebaliknya jika cobaan itu tidak
dapat diatasi akan mencelakakan.
Agar menjadikan anak berpotensi
kebaikan, dapat dilakukan dua ihtiar. Saya katakan ihtiar, karena walau sudah
di ihtiarkanpun belum tentu berhasil, semua tergantung penyertaan Yang Maha
Kuasa, Allah S.W.T.
Ihtiarnya adalah:
Yang pertama; ikuti anjuran Nabi Muhammad agar anak
diajarkan sholat sejak berusia 7 tahun, kalau sudah sampai 10 tahun bila perlu
diingtakan dengan agak keras. Sebab anak yang sholat dan mengenal Allah, selalu
dekat dengan Allah, diharapkan akan mengerti keadaaan orang tua, tau bersyukur,
tidak tegaan merongrong orang tuanya.
Yang kedua; senantiasa menyerahkan kepada Allah dengan do’a.
“Rabbana hablana min ajwajina wajuriatina kurata a’yunin waj’alna lil mutaqina
imama”. Kita eberdo’a kepada Allah agar anak keturunan kita menjadi orang yang
taqwa, berperilaku yang enak dipandang mata dan menjadi pemimpin orang-orang
yang beriman dan bertaqwa.
Dengan demikian mudah-mudahan
anak keturunan kita tidak menjadi anak yang seperti di isyaratkan oleh Allah
dalam surat At-Taghabun ayat 14 “ya
ayuhallazi na amanu inna min ajwajikum wa awladikum ‘aduwan lakum fahzaruhum”
(sesungguhnya di antara istreri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu).
Semoga anak-anak keturunan kita menjadi anak-anak
yang saleh dan salehah. Amien ya rabbal ‘alamin.
Barakallahu fikum.
No comments:
Post a Comment