Keberadaan
Al’Qur’an di bhumi Nusantara ini, tepatnya entah kapan, tapi yang jelas sudah
berbilang abad lamanya. Dapat dipahami bahwa demikian akrabnya Al-Qur’an dengan
penduduk negeri ini, anak-anak sejak usia sangat dini sudah dikenalkan dengan
aksara Al-Qur’an, diajarkan oleh guru ngaji mulai dengan alif - ba – ta, untuk
anak-anak yang Ortunya muslim tentunya. Selanjutnya ngaji (belajar membaca
Al-Qur’an) merupakan ekstra kurikuler yang harus diikuti oleh anak-anak sampai
setelah duduk di bangku “es er” (SD sekarang). Di kampung kelahiranku khusus
anak lelaki (waktu itu 60 tahunan yang lalu), belum di khitan jika belum hatam
membaca Al-Qur’an.
Belajar
membaca Al-Qur’an kala itu tidak semudah sekarang, masih harus dibaca ayat demi
ayat. Mula mula zus 30, surat-surat pendek dan kemudian baru mulai membaca zus
satu dan seterusnya, dikaji ayat demi ayat sampai lancar membacanya, dituntun
guru ngaji. Pengkajian ayat demi ayat ini istilah kampungku “menderas”. Di sisi
anak yang menderas duduk sang guru ngaji,
tersedia sebilah rotan yang dibelah empat, siap diraih sang guru untuk
dipukulkan ke lantai bahkan ke tubuh muridnya bila berkali-kali “bebal” (tak
dapat membaca dengan baik) pada hal sudah berulang diajarkan.
Setelah
selesai mengaji sore itu, atau malam itu, anak-anak pengajian menutup kitab
Al-Qur’an dan membawanya ke rak yang disediakan ditempat ngaji atau di
Langgar/Surau (masjid kecil) atau mungkin juga dirumah tuan guru ngaji. Kitab
dibawa dengan penuh hormat, sebelum diletakkan di tempatnya Al-Qur’an lebih
dahulu dijunjung di atas kepala kemudian di cium. Begitu etika penghormatan
yang diajarkan sejak dini. Tak heran penduduk seantero negeri juga menyimpan
Al-Qur’an dirumahnya ditempat yang terhormat, biasanya diletakkan di tempat
yang tinggi di atas penempatan buku-buku lainnya.
Karena
pembelajaran dan penghormatan seperti di atas sudah membudaya dikalangan masyarakat
khususnya yang beragama Islam, barang kali itulah sebabnya kelak setelah
anak-anak itu menjadi dewasa, penghormatan kepada Al-Qur’an itu tetap merasuk
sampai ke tulang sumsumnya barang kali. Sebagaimana dimaklumi bahwa guratan
tangan masing-masing anak manusia tidaklah sama. kelak anak-anak itu tumbuh
berkembang dengan nasibnya masing-masing. Diantaranya ada yang meraih sukses
menjadi orang kaya ternama, atau pejabat atau pengusaha sukses. Namun tidak
pula dapat diherankan ada pula yang hidupnya susah, makan pagi mengenangkan
petang, ada juga yang terpaksa menjadi maling misalnya. Tetapi jadi apapun
kelak anak-anak itu, mereka sudah dibekali membaca Al-Qur’an, sudah diajari etika
penghormatan kepada Al-Qur’an.
Dua
orang yang rupanya sudah lama merajut hidup menjadi maling (bahasa setempat
pencuri), suatu malam menyatroni sebuah rumah di kampung jiran. Rumah di
kampung kami waktu itu, boleh dikata belum ada yang terbuat dari semen (rumah
batu bahasa setempat), semua rumah dari bahan kayu. Rumah orang berduit terbuat
dari kayu Belian (kayu besi), beratap Sirap. Sedang rumah orang yang kurang
mampu biasanya kerangkanya dari kayu Belian tapi dindingnya “Kajang” atapnya
“daun nipah”. Sasaran maling tentu rumah orang berduit, setidaknya barang yang
dimaling jika dijual dapat untuk membeli beras. Sebuah rumah yang sudah disurvey
di kampung jiran (bukan kampung si maling sendiri), akan disatroni malam nanti.
Rumah
satu dengan rumah lainnya tidak dempet seperti di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya, tetapi berjauhan. Setiap kamar dan ruangan melekat jendela-jendela.
Maling sudah hapal dan punya keakhlian membuka kunci jendela, pakai slot atau
pakai apapun, apalagi rumah yang akan disatroni sudah disurvey memakai kunci
apa jendelanya.
Kegelapan
malampun tiba, maklum dikampungku 60 an tahun yang lalu belum masuk PLN,
mengendap ngendaplah dua orang ini disamping sebuah rumah panggung. Rumah
panggung cukup tinggi, sebagai ilustrasi bahwa kolong rumahnya dengan leluasa
masuk hewan Sapi, bahkan ada yang membuat kandang sapi di bawah rumah. Untuk
dapat meraih jendela, salah satu maling lebih dulu duduk berjongkok, kemudian
maling yang satunya menginjakkan kakinya ke kedua belah bahu maling yang
jongkok, barulah perlahan-lahan maling yang jongkok berdiri, sambil tangan maling
yang satunya memegang bangunan rumah. Setelah sampai dijendela, mulailah
dilaksanakan membuka jendela. sementara maling yang ditanah menunggu kode dari
bunyi kain sarung yang ditarik, untuk memberi isyarat berhasil, untuk memberi
isyarat akan turun, untuk memberi isyarat dalam bahaya dan lain sebagainya,
merekalah yang mengatur sandi tersebut.
Belum
berapa lama maling yang bertugas masuk rumah melewati jendela, terdengar kode
agar menyiapkan pundak untuk mendarat kembali. Dengan penuh heran maling yang
nunggu di tanah bertanya dalam hati, ndak ada kode bahaya, tapi tiba tiba minta
turun. Sudahlah diikuti saja, langsung berdiri di tempat naik tadi, dan kaki
partnerpun mendarat dibahu dan perlahan-lahan diturunkan. Heran tak ada satu
bendapun yang dibawa teman dari rumah satronan. Dengan berbisik pelan maling
operasional mengajak “cepat-cepat kita hengkang, nanti saya ceritakan”.
Sampai
ditempat aman, berceritalah maling ini kepada temannya. Bahwa “jendela yang
dimasuki itu rupanya ada meja, di atas meja tersebut terdapat sebuah Al-Qur’an yang terletak di atas meja,
agaknya baru selesai dibaca. Hampir saja aku menginjak Al-Qur’an itu ketika mau
melangkahi meja. Pikiranku jadi ragu untuk meneruskan masuk ke ruangan dalam
rumah. Dadaku bergemuruh, jantungku terasa berdegub kuat dan tubuhku gemetar, jangan-jangan
aku telah terlajur melakangkahi Al-Qur-an.
Karena itulah nampaknya usaha kita malam ini kalau diteruskan akan
membawa melapateka buat kita”, kata maling itu kepada temannya. Meskipun dia
kini berprofessi sebagai maling, namun penghormatan terhadap Al-Qur’an yang
sudah tertanam sejak kecil dan
kekhawatiran kewalat akan al-Qur’an membuat si maling mengurungkan niatnya
untuk mencuri setidaknya pada malam itu, diingatkan oleh kitab Suci Al-Qur’an.
Baik
kita renungkan, penghormatan terhadap Al-Qur’an begitu besar oleh penduduk
negeri ini, terutama bagi yang memeluk agama Islam, apa lagi yang menjalankan
seluruh ibadah dalam agama Islam. Bagi yang Islamnya belum dapat ibadah dengan
intensifpun, akan menaruh hormat kepada Al-Qur’an, akan merasa terpanggil untuk
setidaknya ber do’a agar kemuliaan Al-Qur’an tetap terjaga. Allah memang ada menjamin akan memelihara
Al-Qur’an itu sampai hari kiamat. Tapi tidak ada jaminan bahwa Al-Qur’an akan
terjaga terus di bhumi Nusantara ini, kalau ummatnya tidak berperan aktif
menjaganya, dengan mengamalkan kandungan Al-Qur’an itu. Di dunia ini sudah
dapat kita saksikan suatu negeri yang tadinya sangat Qur’ani, menjadi negeri
yang tidak Qu’ani lagi bahkan penduduk yang meng-imani Al-Qur’an menjadi
termarginalkan.
Untuk
mengawal Al-Qur’an mungkin salah satunya adalah membuktikan, bahwa
pengamal-pengamal Al-Qur’an mempunyai akhlak mulia yang patut diteladani,
sehingga Insya Allah orang yang belum kenal Al-Qur’an akan tertarik mengenalnya
dengan cara yang benar, bukan sebaliknya mengambilnya sepenggal-sepenggal tanpa
menyakininya malah mungkin menistakannya. Wajar jika ada pihak yang diduga menistakan
Al-Qur’an, penduduk negeri yang sejak kecil menghomati Al-Qur’an akan
terpanggil untuk membela Al-Qur’an, setidaknya mengkonfirmasi, apakah benar
Al-Qur’an sudah dinistakan?. Kalau benar Al-Qur’an telah dinista, peng-iman
Al’Qur’an akan membela Al-Qur’an, walau tidak mampu dengan tenaga, walau tidak
mampu dengan ucapan, minimal dengan do’a, semoga Allah S.W.T. membukakan pintu
hati penegak hukum menegakkan kebenar ditempat yang benar. Amien yaa rabbal
‘alamin.
No comments:
Post a Comment