Menyoal judul di atas, kini agaknya jadi perdebatan ramai. Soal
memilih apakah bagus diwakilkan atau dipilih sendiri-sendiri. Kalau diwakilkan
persoalannya teknisnya jadi mudah memang, sebab sekian puluh orang, sekian
ratus orang atau sekian ribu orang cukup diwakilkan ke satu orang. Peduli amat
orang yang diwakili sependapat atau tidak, yang penting si wakil mengatas
namakan yang diwakili sudah beres. Tempat pemilihan tak perlu ramai orang,
cukup para wakil saja berkumpul. Ibarat kata, nyediain minuman cukup beberapa
karton aqua cup saja. Beda kalau semua orang yang diwakili harus milih sendiri,
tentu jadi ramai sekali. Kalaupun misalnya, umpamanya masih perlu, lagi musim,
harus negosiasi atau harus mengatur dan diatur, tidak banyak mata yang harus
ditatap.
Persoalan yang juga harus dipersoalkan yang harus
dipilih untuk diwakilkan itu apa, sebab sepertinya tidak semua soal dapat
diwakilkan ke orang lain. Tapi kitapun harus paham juga masalah-masalah apa
menurut ketentuannya dapat diwakilkan kepada orang lain. Contoh ekstrim NIKAH,
dapat diwakilkan ke orang lain, tapi KAWIN tak ada orang mau mewakilkannya ke
orang lain.
Saya jadi teringat dengan kejadian di tahun 1991,
ketika rombongan kami dari daerah, mendekati hari keberangkatan menunaikan
ibadah haji. Ada seorang lelaki muda datang ke panitia keberangkatan, untuk
menerima segala koper dan perlengkapan haji yang akan berangkat kloter 31 dari
Halim PK. Kurang lebih seminggu lagi mendatang. Kami dari daerah, waktu itu
kumpul di Pondok Gede Jakarta. Panitia daerah, sekalian melakukan penyuntikan MENINGITIS,
mumpung semua calon jamaah kumpul. Satu persatu calon jemaah antri menyodorkan
lengannya. Petugas kesehatan, menanyakan pertanyaan standar “apakah sudah pernah disuntik Meningitis,
Siapa nama, umur berapa” sambil melihat kepada foto diri orang yang akan
disuntik pada kartu.
Salah seorang yang sudah siap menggulung lengan
bajunya, untuk disuntik, ketika ditanya oleh petugas; namanya beda, dengan nama di kartu, begitu
pula foto dan usianya. Petugas menanyakan lebih lanjut, “anda ini siapa” dijawab pemuda tadi “SAYA INI WAKILNYA”. Hampir saja jarum suntik menancap di lengan
pemuda itu, bahkan sudah digosok dengan kapas beralkohol, untung dengan
pertanyaan singkat tadi, segera penyuntik menghentikan kegiatannya. “Soal suntikan ini ndak dapat diwakilkan pak”
kata petugas. Sementara yang bersangkutan masih tetap bersikeras, “koper dan kain ihram dapat diambil saya
sebagai wakil, masakkan suntikan ndak dapat diwakilkan”.
Mari kita timbang bahwa soal yang lagi hangat
sekarang apakah sesuatu yang memang dapat diwakilkan atau hak dasar setiap
orang yang tak mungkin diwakilkan. Itu terpulang kepada kearifan berpikir kita
sebagai individu, sebagai masyarakat dan sebagai bangsa. Argumentasi dapat dibangun
sesuai dengan siapa yang membuat argumentasi itu, disini kebenaran sedang diuji
apakah kebenaran memihak kepada KEMASLAHATAN, atau kebenaran memihak kepada
KEMUSLIHATAN. “Maslahat” dan “muslihat” hanya dibedakan huruf kedua dari depan
dan keempat dari belakang, tapi bedanya
sangat berseberangan dan takkan pernah berjumpa. Kemampuan kita untuk memandang
kedua pengertian tersebut, selanjutnya kemana harus diarahkan. Kita tetap
percaya bahwa semua pihak berniat baik, bertujuan baik, untuk kemaslahatan
setelah menimbang manfaat dan mudharat.
Kepentingan orang banyak, hampir tidak mungkin
memang, untuk diseragamkan, mesti terjadi kelompok-kelompok yang berbeda. Di
dalam konsep demokrasi suara terbanyak adalah kebenaran, walaupun sebenarnya
belum tentu benar. Dalam demokrasi bila berkumpul 100 orang, 50% lebih
berpendapat sesuatu yang mestinya berwarna merah, dikatakan putih, walaupun
sesungguhnya warna benda itu merah ya akan diputus putih, karena putih itu adalah
pendapat suara terbanyak, suara terbanyak dianggap kebenaran.
Apakah keputusan terbanyak dari kita saat ini akan
menuju kemaslahatan atau penuh dengan kemuslihatan. Waktu yang akan
membuktikannya kelak dikemudian hari. Sebagai bangsa kita setiap warga negara
berhak menentukan nasib bangsa ini kedepan, siapa yang akan memimpin kita,
bagaimana cara kita menentukan untuk memilih pemimpin kita.
Masalahnya nampaknya bertumpu pada bagaimana cara
memilih. Selanjutnya untuk menentukan bagaimana cara memilih tersebut kini
tidak diserahkan kepada seluruh rakyat, tetapi kepada sekelompok wakil rakyat.
Mungkin hasilnya akan menjadi lebih mantap kalau untuk menentukan “bagaimana
cara memilih” ini diadakan “PEMILULIH” ini mungkin singkatan yang tepat untuk
“Pemilihan Umum Cara Memilih”. Mungkin ada komentar; “nanti biayanya mahal
lagi”. Kita usulkan ndak usah pakai biaya yang tinggi, buat pakai angket
melalui Rukun Tetangga, kan blankonya
cuma dua pilihan yaitu “Langsung”, “Tidak langsung”. Untuk lebih kontras beda pilihan pertama dan
kedua, dapat juga dikreasikan pilihan angket “Diwakilkan”, “Dilakoni”, kalau perlu biar lebih yakin pakai
nama jelas, tanda tangan dan nonor NIK. Waktunya diprogramkan serentak seluruh
Nusantara.
No comments:
Post a Comment