Beberapa bulan terakhir ini, kulihat ketika jalan
pagi, dilingkunganku di bilangan Jakarta Pusat, sedang ada kegiatan tak biasa,
yaitu di banyak sudut gang ada pengrajin sedang mengasah batu menjadi
perhiasan.
Kuteringat jadinya dengan seorang seniorku sangat
senang dengan batu perhiasan, hampir tiap hari ganti batu cincin yang
dipakainya ke kantor, nampaknya disesuaikan dengan warna pakaiannya, misalnya cincin
dipakai mengacu pada warna baju atau celana atau dasi.
Kalau menghadap bapak yang satu ini, jika kita
melirik kearah batu cincin di jarinya, maka
jarinya malah dimain-mainkan di atas meja. Kalau kita maulah sedikit nakal,
tanyakan perihal batu tersebut, ceritanya bakal panjang dan kita bakal lama
berada di ruangan beliau. Mulai dari riwayat si permata dan segala macam
auranya itu batu, serta kadang sampai diceritakan bahwa batu itu sudah ada yang
naksir dan menawar seharga begitu tinggi, namun belum dilepas sama beliau.
Kini aku punya permata, sesekali juga kucoba
memasangnya di jari sebagai mata cincin. Itu batu permata selalu basah,
mengembun. Kalau di lap dengan tisu, akan didapatkan bahwa tisu akan menjadi
lembab. Sepertinya permata itu dingin sehingga menarik udara menjadi embun.
Begitu barangkali penjelasan logikanya, karena kita semua yakin si batu itu
bukan barang ajaib, bukan sesuatu yang mempunyai kekuatan magis.
Agama Tauhid melarang keras untuk percaya dengan
sesuatu benda termasuk batu mempunyai khasiat tertentu, punya kekuatan tertentu,
yang luar biasa sehingga menganggap batu itu sebagai “Jimat”. Sedangkan sesuatu
disebut jimat apabila memenuhi kriteria:
1.
Audha, atau perlindungan. Apabila
dipercaya bahwa batu itu dapat mendatangkan kekebalan, dapat menangkal ilmu
hitam, atau sebagai pelindung dari segala macam mara bahaya.
2.
Hijab, atau pembatas/penyekat. Apabila
diyakini bahwa batu itu mempunyai kesanggupan, jika dipakai sipemakai akan
tidak dapat dilihat. Atau kalau disimpan si rumah, rumah kita tidak dapat
dimasuki maling, jika ada serangan yang membahayakan, baik oleh mahluk kasar
maupun mahluk halus, rumah akan tertangkal.
3.
Hirz, atau penjaga dari Syaitan. Si
pemakai dengan memakai benda tertentu, percaya akan terlindung dari gangguan
roh jahat dan syaitan, ataupun serangan binatang buas atau binatang berbisa. Digunakan
oleh para pemburu binatang di hutan atau sebagai Ajimat penjaga rumah.
4.
Nafra, dipercaya bahwa sesuatu benda
dapat mengusir mahluk halus, mahluk
jahat. Biasa dipasang di kalung anak kecil, agar mahluk halus/mahluk jahat tidak sering
mengganggu anak-anak yang dipasangi kalung itu atau sebagai Jimat rumah.
5.
Wadh, dipercaya bahwa pemakai sesuatu
benda akan dapat memenangkan suatu perkara, bila tengah berperkara di
pengadilan, dengan kekuatan benda itu memperjelas sebuah perkara. Benda itu
dipercaya sanggup membuka mata batin guna dipakai melacak suatu perkara yang
cukup rumit.
6.
Tamima, berguna untuk melengkapi. Ajimat
ini diyakini akan menambah wibawa, digunakan untuk melengkapi unsur bathin
seseorang yang tidak lengkap misal seorang pimpinan daerah.
Kalau sudah suatu benda dianggap, dipercaya,
diyakini jika dipakai menimbulkan pengaruh, khasiat, dengan kekuatan antara
lain seperti tersebut di atas, maka orang yang percaya akan hal tersebut
terkatagori mempunyai kepercayaan ganda yang sangat dilarang oleh “agama
tauhid”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seseorang yang memakai
gelang kuningan di tangannya, maka beliau bertanya, “Apa ini?” Orang itu
menjawab, “Penangkal sakit.” Nabipun bersabda, “Lepaskanlah, karena dia hanya
akan menambah kelemahan pada dirimu. Jika kamu mati sedang gelang itu masih ada
pada tubuhmu maka kamu tak akan beruntung selama-lamanya.” (HR. Ahmad)
sebagai seorang “beragama tauhid” kita seharusnya meyakini sepenuh hati bahwa manfaat & mudharat itu ada di tangan Allah sehingga kita tak boleh menggantungkan hati kepada selain Allah, misalnya kepada batu cincin dan ajimat. Kita wajib bertawakkal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman:
“Wa’alallahi falyartawaqqalil mu’minin = Dan hanya kepada Allah saja hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal.” (Qs. Ibrahim: 11).
sebagai seorang “beragama tauhid” kita seharusnya meyakini sepenuh hati bahwa manfaat & mudharat itu ada di tangan Allah sehingga kita tak boleh menggantungkan hati kepada selain Allah, misalnya kepada batu cincin dan ajimat. Kita wajib bertawakkal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman:
“Wa’alallahi falyartawaqqalil mu’minin = Dan hanya kepada Allah saja hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal.” (Qs. Ibrahim: 11).
Bolehkan memakai Cincin
dengan permata
Cincin, atau dalam bahasa Arabnya khatm, bukan hal yang
baru. Memakai cincin merupakan tradisi berpenampilan yang juga dilakukan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat.
Imam At-Tirmidzi menulis sebuah
karya berjudul Asy-Syamail, yang menghimpun dan menulis berbagai riwayat
tentang kepribadian Nabi SAW dalam berbagai hal. Disebutkan, sepeninggal Nabi,
cincin beliau terus dirawat oleh Khalifah Abubakar dan Umar, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang tabarruk, mengharap berkah.
Cincin merupakan asessori
berpakaian. Selain menunjang estetika penampilan, bagi kalangan tertentu
memakai cincin juga menjadi identitas tambahan yang mengandung makna tertentu. Bentuk
cincin dari masa ke masa mengalami perubahan, sesuai kemajuan teknologi dan
penemuan barang tambang jenis bebatuan.
Kebiasaan memakai cincin ini sudah
ada bersama kehadiran manusia, yang menyukai pernak-pernik penunjang keindahan,
terlebih kaum Hawa. Bahkan kebiasaan memberi dan menerima cincin dalam
pernikahan ternyata sudah dimulai sejak lebih dari 4.800 tahun lalu.
Cincin pernikahan biasanya dipasang
di jari manis. Kebiasaan posisi jari ini konon berakar dari kepercayaan bangsa
Tudor abad ke-16 M bahwa jari manis tangan kiri berhubungan dengan pembuluh
darah yang berhubungan langsung dengan jantung. Dari pemahaman ini, lalu muncul
semacam pemaknaan, sang pemakai cincin sedang berada dalam sebuah hubungan yang
menyangkut perasaan hati dan degupan jantung.
Bagi wanita, cincin bisa menunjukkan
status sosial, kemapanan tingkat ekonomi, dan membuat ia terlihat semakin
cantik dan glamor. Tetapi bagi pria, lebih pada rasa percaya diri, atau
kegagahan.
Memakai cincin merupakan sunnah Nabi
Muhammad SAW. Bahkan diceritakan, Nabi Sulaiman AS dan Nabi Dawud AS juga
memakai cincin. Sebagaimana diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya,
Asy-Syamail, cincin Rasulullah SAW kemudian dipakai Abubakar Ash-Shiddiq RA,
lalu dipakai Umar RA, kemudian Utsman bin Affan RA, sampai kemudian terjatuh di
Sumur Aris.
Para sahabat Nabi SAW, seperti
Abdullah bin Umar RA dan Abdullah bin Az-Zubair RA, meniru sunnah ini sebagai
bentuk kecintaan kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam beberapa riwayat hadits
disebutkan, Rasulullah SAW pada awalnya mengenakan cincin yang terbuat dari
emas sebelum adanya syari’at pelarangan mengenakan emas bagi kaum laki-laki.
Di dalam hadits yang diriwayatkan
Anas bin Malik RA disebutkan, cincin Rasulullah SAW terbuat dari perak, dan batu cincinnya adalah batu Habasyi (HR
Muslim). Adapun bentuk cincin Rasulullah SAW., sebagaimana disebutkan Ibnu
Al-Qayyim dalam kitab tarikhnya yang berjudul Zad al-Ma’ad, sekembalinya dari
Hudaibiyah beliau menulis surat kepada para penguasa di Timur dan Barat yang
dibawa oleh para kurirnya. Tatkala beliau hendak menulis surat kepada raja
Romawi, dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya mereka (orang-orang Romawi)
tidak akan membaca suatu surat kecuali apabila dibubuhi tanda (stempel).” Maka
atas usulan itu, Rasulullah SAW menjadikan cincinnya, yang terbuat dari perak
yang di atasnya terdapat ukiran terdiri dari tiga baris, Muhammad pada satu
baris, Rasul pada satu baris, dan Allah pada satu baris, sebagai stempelnya.
Beliau pun menstempel surat-surat yang dikirimkan kepada para raja dengannya
serta mengutus enam orang pada satu hari di bulan Ramadhan tahun 7 H.
Dimana Nabi Mengenakan Cincinnya?
Bagaimanakah Rasulullah SAW memakai
cincin di jarinya? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaq
dikatakan, “Aku menyaksikan Ash-Shalt bin Abdullah bin Naufal bin Abdul
Muththallib mengenakan cincin di jari kelingking kanan. Maka aku berkata, ‘Apa
ini?’ la menjawab, ‘Aku pernah melihat Ibnu Abbas mengenakan cincinnya seperti
ini dan menjadikan batu cincinnya di bagian luarnya. la kembali mengatakan,
`Tidaklah Ibnu Abbas meyakini hal itu kecuali ia menyebutkan bahwa Rasulullah
SAW mengenakan cincinnya seperti itu’.” (HR Abu Dawud).
Selain riwayat tentang peletakan
cincin di jari kanan di atas itu, juga ada riwayat lain yang menyatakan bahwa
Nabi SAW juga mengenakan cincinnya di jari tangan kiri. Imam Muslim, di dalam
Shahihnya Dari hadits Tsabit dari Anas bin Malik.RA, berkata, “Cincin Nabi SAW
dikenakan di sini (la mengisyaratkan kepada jari kelingking kirinya).” Dan
An-Nasa i juga mengeluarkan hadits seperti ini.
Adh-Dhaya’i juga mengeluarkan hadits
Qatadah dari Anas, “Aku melihat putihnya cincin Nabi SAW di jari kirinya.” Dan
orang-orang di dalam sanad hadits ini bisa dijadikan dasar argumentasi di dalam
keshahihanya. At-Tirmidzi juga mengeluarkan hadits Abi Ja’far Muhammad dari
bapaknya, “Hasan dan Husein mengenakan cincin di tangan kirinya.”
Dari beberapa riwayat hadits di atas
tampaklah, ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW mengenakan cincin
pada jari kelingking kanannya, namun ada juga riwayat yang menyebutkan pada
jari kelingking kirinya.
Para ulama berbeda pendapat di dalam
menggabungkan hadits-hadits yang berbeda tersebut. Ada di antara mereka yang
menyamakan kedua hal tersebut, artinya cincin itu bisa dikenakan di jari kanan
atau kiri. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa pada awalnya Rasulullah SAW
mengenakan cincin pada tangan kanan, namun kemudian beliau memindahkannya ke tangan
kiri.
Adapun pendapat Imam Nawawi di dalam
Syarh Shahih Muslim karyanya menyebutkan, ijma’ para fuqaha membolehkan
pengenaan cincin pada tangan kanan, dan membolehkannya pada tangan kiri, serta
keduanya pun tidaklah dimakruhkan.
Imam Malik menganjurkan untuk
dikenakan di tangan kiri dan memakruhkan pengenaannya di tangan kanan.
Sedangkan dalam Madzhab Syafi’i bahwa tangan kanan lebih utama. Karena cincin
merupakan hiasan, maka tangan kanan lebih mulia dan lebih berhak untuk
perhiasan dan kemuliaan.
Yang jelas, Rasulullah SAW melarang
menggunakan cincin di jari tengah dan telunjuk, sebagaimana disebutkan dalam
Shahih Muslim, dalam hadits no. 2078.
sedikit informasi tentang batu bungbulang lihat di
ReplyDeletehttp://tasikpedia.blogspot.com/2014/11/batu-akik-bungbulang-batu-cincin-asli.html
makasih
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 20 Agustus 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!
ReplyDelete