Kisah nyata seorang paramedis, setamat sekolah
ditempatkan di Nusatenggara, sebagai PNS ditahun 1973an. Tak lama berdinas,
orang tua yang tinggal di sebuah kota kabupaten di Jawa, menderita sakit yang
berkepanjangan. Berkenaan dengan keinginan agar dekat dengan orang tua dan
merawatnya, si pegawai baru berusia di bawah duapuluh tahunan ketika itu,
mengajukan permohonan ke instansinya agar dapat dipindahkan ke pulau Jawa, di kota
apa saja, syukur kalau di kabupaten dekat dengan kediaman orang tuanya.
Pikirnya kalau dapatlah pindah ke Jawa, dimana saja jika orang tua memerlukan
segera, dapat diusahakan datang, karena dapat ditempuh dengan kendaraan darat.
Beda kalau berada di NTT, kalau ada apa-apa terhadap ortu, tak mudah untuk
mencari alat transportasi.
Karena sudah berkali-kali mohon pindah ke Jawa tak
dikabulkan, sementara ortu sakitnya semakin parah, sembuh tidak, meninggal
dunia pun belum sampai saatnya, sementara tranportasi belum selancar sekarang.
Maka teman saya sealumni dengan isteri saya ini mengambil keputusan, lebih baik
mengajukan permohonan berhenti. Dia tidak kuasa berpikir lebih jauh, seperti
generasi sekarang untuk masuk menjadi PNS demikian sulitnya, lowongan 100
peminat puluhan ribu memperebutkan. Pilihan antara bhakti kepada ayahnda atau
tetap kerja menjadi PNS, teman ini memilih ayahnda harus dirawat, perkara
kerja, selesai merawat ayah, bagaimana nanti.
Usia memang ada batasnya, walau sakit belum tentu
berkesudahan dengan meninggal, tetapi meninggal dunia adalah milik setiap orang
yang hidup, umumnya melalui sakit, walau banyak orang tanpa sakit juga
meninggal. Ayahnda teman saya inipun setelah kurang lebih setengah tahun dalam
perawatannya, ayahandanya pun meninggal dunia.
Bagaimana nanti yang menjadi pertanyaan ketika
memutuskan berhenti dari PNS, bagi teman
sekelas istri saya ini harus segera dijawab dengan mencari dasar penghidupan
setelah ortu tiada. Langkah yang diambil oleh teman ini adalah pindah dari Jawa
Timur mengadu untung ke Jakarta. Dikisahkan oleh teman ini, usaha mandiri
dicobanya dengan membuka lapak ayam bakar di malam hari di bilangan Pasar
Genjing Pramuka. Suka duka mengiringi menjadi wiraswasta penjual ayam bakar,
untung tidak seberapa, jikalah semalam ada dua orang saja preman tidak bayar
pesan ayam bakar, maka malam itu Mas Mujur (bukan nama sebenarnya) sama sekali
tidak punya keuntungan untuk dibawa pulang.
Untuk memenuhi tuntutan nafkah di Jakarta, pada
siang hari teman ini menjadi kuli kasar bangunan, kadang menjadi kuli dari juragan pembuat
sumur bor. Keakhlian sumur bor ini rupanya merintis keberuntungan, karena dari
kuli kasar akhirnya dia sanggup memborong pembuatan sumur bor beberapa komplek
perumahan-perumahan besar yang ketika itu sedang banyak tumbuh di Jakarta dan
sekitarnya.
Kisah ini disarikan dari cerita nyata, yang
bersangkutan mengijinkan untuk pengalaman ini ditulis, semoga ada manfaatnya
untuk memotivasi generasi muda. Melanjutkan ceritanya dengan borongan-borongan
sumur bor ini dianya dapat keuntungan lumayan sehingga punya modal, kemudian
lapak ayam bakar Pasar Genjing, dikelola secara tidak langsung, dengan
menempatkan orang kepercayaan. Walau kemudian lapak ayam bakar ini akhirnya
harus benar-benar ditinggalkan untuk diteruskan orang lain.
Dengan berbekal kemampuan sebagai seorang paramedis,
didukung oleh terhimpunnya modal dari berkembangnya usaha borongan proyek sumur
bor dari beberapa perumahan besar, mas Mujur membangun semacam industri
pembuatan alat-alat dan perlengkapan untuk laboratorium kesehatan. Rupanya
disini pintu sukses usaha kenalan saya ini, sehingga membuatnya menjadi orang
sukses dengan memperkerjakan pegawai hampir 200 orang.
Usianya tahun depan (2015) akan berkepala enam, tapi
sudah punya asset yang cukup hebat dibandingkan beberapa teman sealumninya,
yang patut dikagumi dianya sanggup mengidupi hampir 200 kepala keluarga melalui
perusahaannya dan beberapa orang anaknyapun kini sudah menjadi orang sukses
diantaranya ada yang meneruskan usaha ayahnya. Sementara teman saya ini
menjalani masa tua dengan santai, bersenda gurau dengan cucu-cucu.
Ini barangkali ada kaitannya sebagai buah atas
bhakti yang bersangkutan kepada orang tuanya. Dia tawakkal melepaskan
pekerjaan, demi merawat orang tua, rupanya itu jalan baginya untuk mendapatkan
sukses dikemudian hari dimasa usia senja.
No comments:
Post a Comment