Mengambil
sesuatu benda berada di tempat tinggi, dapat dilakukan dengan dipanjat, juga
mungkin dilakukan dengan memakai tangga, tapi dapat juga dengan menggunakan
galah. Mengambil suatu benda dengan menggunakan galah istilah popular menurut
bahasa ibuku “di juluk”. Menjuluk juga berkonotasi, jika pihak yang seharusnya
memberikan sesuatu, tetapi setelah ditunggu sekian waktu, tidak kunjung diberikan,
maka pihak yang seharusnya menerima, memintanya.
Contoh
lain, jika suatu keluarga akan mempestakan anaknya menikah, ada teman yang
sampai hari “H” belum juga terima undangan, kemudian ia memberitahukan kepada
keluarga yang akan menikahkan itu “undangan untukku mana?”, pertanyaan ini,
juga disebut sebagai “menjuluk”. Contoh lain lagi. Ada kerabat yang maaf
kebetulan kurang mampu, dianya suatu saat berkunjung dan menginap di rumah
anda. Setelah beberapa malam nginap tiba gilirannya dianya akan pulang. Yang
bersangkutan pamit, sudah kita setujui pamitnya tapi juga belum berangkat,
kemudian pamit lagi, kitapun sudah menyetujui pamitnya dan tetap saja pamit
lagi. Seharusnya anda mengerti bahwa yang bersangkutan sedang “menjuluk”, agar anda memberinya sangu untuk pulang,
mungkin dia tak punya ongkos.
Bermacam
jenis buah, tidak akan jatuh, walau sudah mateng kalau tidak dipanjat atau di
juluk. Buah kelompok ini meskipun sudah mateng tak akan jatuh utuh kalau tidak
dipetik dari tangkainya dengan dijuluk atau dipanjat. Buah jenis ini kalau
sudah mateng jika tidak dipetik dengan cara apapun antara lain dengan dijuluk,
dia akan jatuh juga ke tanah dalam keadaan tidak utuh atau tercerai berai.
Seorang
supir taxi, baru kurang lebih tiga bulan menjalani profesi barunya itu,
menceritakan: bahwa dirinya sebelumnya bekerja sebagai supir pribadi di suatu
keluarga selama lebih dari 17 tahun. Kini majikan lamanya itu sudah menjadi
orang kaya, diceritakan mobil saja punya 5, rumah luas di daerah elit. Lebih
jauh bang supir mengenang masa lalunya bersama majikan yang kini sudah kaya
itu, semula si majikan kediaman saja hanya mengontrak, “dia sukses sayalah menjadi
supirnya dari kantor ke kantor merintis usaha ekspor-impor.
Menyoal,
kenapa dianya tidak ikutan kerja sebagai asisten majikannya, misalnya di
kantoran mengurus bisnis ekspor-impor, dianya mengemukakan bahwa pernah ikutan,
tapi Ibu (maksudnya istri sang majikan) minta dia kembali jadi supir keluarga,
karena sudah terbiasa melayani anggota keluarga, mengantarkan anak-anak sajak
dari TK sampai mahasiswa. Kini anak-anak
majikannya semuanya sudah jadi sarjana dan bahkan ditambah lulusan sekolah dari
luar negeri. Namun dirinya sampai kini hanya jadi supir belaka hanya alih
suasana dari mengendarakan mobil majikan perorangan sekarang menjadi supir
taxi, mengendarai mobil perusahaan taxi.
Kalau
begitu majikan “abang” tidak ada pengertian dengan “abang” rupanya, tanyaku. Si
Abang menjawab: “ada si, saya ngak menidakkan, keluarga saya dibelikan rumah
sederhana, cukupanlah, tapi kan untuk ekonomi
hari-hari kan ndak cukup, maka saya milih berhenti dan jadi supir taxi”.
Kenapa
abang tidak ngomong terus terang ke majikan, agar untuk ekonomi di tambah atau
diberi pekerjaan di kantoran ngurus bisnis beliau. Sebab kalau ikutan ngurus
bisnis, nanti kedepan kan akan punya pengalaman, siapa tau nanti bisa ikutan
buka bisnis sendiri. Begitu ku coba menanyakan lebih jauh perihal si abang taxi
yang membawaku menuju kerumah kerabatku di bilangan Pondok Kelapa.
Si
Abang taxi menjawab, bahwa dia yakin bosnya itu orang pandai, tak mungkin tidak
mengerti, masa’kan perlu diberitahu,
“harusnya dia memahami keadaan saya yang sudah mengabdi kepadanya selama 17
tahun”, tutur si Abang taxi.
Itulah
yang ku dengar “dari telingaku sebelah” dalam arti dari pihak si Abang taxi,
persoalan yang sebenarnya tentu kalaulah kita mau mengurusnya lebih lanjut
harus di dengar dengan “telinga sebelah lagi”, yaitu dari pihak Bos si supir
taxi. Mungkin ada persoalan lebih jauh, kenapa anak buah yang sudah 17 tahun
bersama sejak mulai susah tidak dibawa ikutan terimbas sukses.
Oleh
karena itu kusarankan ke si Abang taxi, “seharusnya abang mengemukakan kepada
bos anda tentang keinganan anda ikut membantu lebih jauh di bisnis Bos, tidak
sekedar menjadi supir”. Kadang sesuatu masalah itu perlu dikemukakan terus
terang, tidak hanya menunggu orang mengerti. Ibarat buah, ada buah harus di
Juluk lebih dahalu baru jatuh, tidak menunggu buah itu jatuh sendiri. Ada buah
yang meteng di pohon dan ada buah untuk mateng harus dijuluk sebelum mateng dan
untuk mematengkannya harus di peram.
Kesimpulan:
Dari
yang kita dengar dari penuturan supir taxi tersebut ada beberapa kesimpulan
yang dapat diperoleh:
Bahwa
pada dasarnya manusia tak kunjung puas, dan hal ini wajar, apalagi dia
mengalami sendiri bagaimana perjalanan hidup si Bos dari tak punya rumah,
sampai sanggup membelikan supirnya rumah dan hidup lumayan sukses. Sementara si
supir tetap saja jadi supir tak ada kemajuan status, walau mungkin sudah
diperlukan bagaikan keluarga sendiri.
Bahwa
kepuasan itu bukan hanya terletak pada dijaminnya kehidupan, seperti contoh
tadi, setidaknya perhatian si Bos sudah lumayan dengan membelikan rumah, tetapi
membiarkan abang supir tetap menjadi supir tidak ditingkatkan statusnya.
Rupanya kebutuhan terangkatnya status belum terpenuhi membuat si supir lebih
baik pindah, walau tetap jadi supir tapi supir taxi.
Bahwa
kemunikasi yang tersumbat, dapat berakibat yang cukup jauh, membuat si supir lebih memilih merenggangkan
persahabatan yang sudah dibina 17 tahun. Mungkin jika dikumunikasikan dengan
jelas dan tegas, keinginan si supir akan diperhatikan oleh si bos.
No comments:
Post a Comment