Ketika
sakit, banyak orang sadar tentang ketidak berdayaannya terhadap kuasa Allah.
Sebenarnya kesadaran tentang ketidak berdayaan itu, seyogyanya harus juga
direnungkan ketika sehat. Salah satu contoh yang sangat sederhana dan kecil,
ialah betapa kuasa Allah terhadap segelas air yang kita minum, tanpa
perlindungan Allah dapat saja di dalam air itu mengandung sesuatu yang membuat
peminumnya mendapat musibah. Sebab kita tidak dapat menjamin persis bahwa air
yang diminum itu aman. Mungkin segelas air itu aman buat seseorang karena
kekebalan tubuhnya di saat tinggi dan tidak aman buat orang lain yang kekebalan
tubuhnya pas sedang turun. Begitu juga ketika menyantap makanan, apapun
jenisnya, mungkin tidak masalah buat banyak orang tapi ternyata berakibat buruk
buat orang tertentu yang metabolisme tubuhnya sedang eror.
Suatu
ketika, diri ini bersama istri ke Pulau Penyengat Tanjungpinang, dalam
kesempatan ketika diundang menjadi nara sumber suatu pelatihan di kota yang
berslogan dalam lambang daerahnya “Jujur Bertutur Bijak Bertindak” itu. Panitia
dari Dinas Perindustrian setempat yang mengundangku pada acara pelatihan UKM
itu, membawa rekreasi ke Pulau Penyengat untuk melihat peninggalan “Masjid
Sultan/ Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat. Sudah jadi ungkapan umum yang
disampaikan di setiap kota; misalnya “belum sampai ke Pontianak kalau belum
sampai ke Masjid Sultan dan tugu Khatulistiwa”. Begitu juga di Tanjungpinang,
katanya belum sampai ke Tanjungpinang kalau belum ke Pulau Penyengat.
Setelah
berkeliling di pulau dengan panjang 2 KM dan lebar kurang dari 1 KM itu, untuk
mengunjungi makam Engku Putri Raja Hamidah dan makam Penulis Gurindam Duabelas,
Raja Ali Haji. Sebelum kembali ke hotel tempat kami menginap di kota
Tanjungpinang, dipinggir dermaga penyeberangan P.Penyengat, kami menikmati ikan
Menggali yang di masak “Asam Pedas” khas P. Penyengat dengan sayuran menu
restoran setempat.
Esok
hari dijadwalkan sekitar pukul sepuluhan akan bertolak ke Jakarta kembali.
Sesudah shalat Subuh, saya terserang diare berat sampai terus menerus lebih
delapan kali ke kamar mandi. Sudah jadi kebiasaanku bila tugas menjadi nara
sumber ke luar kota, diusia yang sudah senja ini, istri selalu mendampingiku
dan tak lupa membawa perlengkapan obat-obatan seperlunya termasuk obat diare. Pagi
tiba, keadaan agak enakan, kamipun menuju restoran hotel untuk sarapan. Ketua
panitia pelaksana pelatihan juga rupanya sudah siap menunggu di restoran hotel.
Saya sudah merasa segar, langsung mengambil menu makanan yang sekira lembut
untuk orang diare.
Baru
saja masuk beberapa sendok bubur sumsum, rahasia diare terpaksa harus diketahui
oleh panitia, lantaran saya langsung pingsan di kursi restoran. Kata istriku
seisi restoran panik dan yang lebih panik tentunya panitia. Itu sebabnya sampai
2 orang dokter seorang perawat datang ke hotel mengurusku dan dua ambulance
bersamaan datang. Dokter menyarankan agar saya bertahan di Tanjungpinang untuk
perawatan 3 hari di rumah sakit. Tapi dengan berbagai pertimbangan, diantaranya,
keluarga di Jakarta dan dikampungku akan betapa khawatirnya bila diriku dirawat
di Tanjungpinang. Maka kuputuskan untuk tetap pulang ke Jakarta dan minta di
bekali obat dari dokter yang merawatku, tak lupa pula berbekal Pampers.
Alhamdullillah
kami tiba di Jakarta dengan keadaan masih diare. Anakku yang menjemput ke
bandara, sesuai pengalamannya sudah menjadi dokter PTT dan menjadi dokter
klinik beberapa tahun, yang tentunya sudah pernah menemui pasien diare, memberi
batas untukku sampai pukul 10 malam, jika masih terus diare menurutnya harus dirawat
di rumah sakit. Sekitar pukul 10 malam, diareku mulai reda.
Penyebabnyapun
mulai dikaji. Kalaulah lantaran makan “Asam pedas ikan” di P. Penyengat, alasan
itu tidak cukup kuat, karena bukan hanya
diriku yang memakannya, istriku dan beberapa panitia yang mengantar kami juga
makan menu ikan. Bahkan Istriku makan dari mangkuk yang sama.
Sebagai
renungan untuk orang yang sehat, bahwa kalaulah bukan karena pelindungan Tuhan,
ternyata setiap makanan yang dimasukkan ke dalam mulut kita kemudian
dicernakan, dapat saja mendatangkan musibah buat kita, kalau pas keadaan
pertahanan tubuh kita sedang lemah. Siapakah yang dapat dan mampu mengatur
lemah kuatnya pertahanan tubuh kita itu. Sungguh manusia tidak berdaya untuk
mengatur pertahanan tubuhnya sendiri. Sungguh manusia pada dasarnya tidak akan
sanggup mengetahui bahwa makanan yang disantapnya bebas dari unsur ikutan yang
dapat mendatangkan penyakit baginya.
Sebagai
suatu bentuk menyandarkan diri kepada yang Maha Kuasa, agamaku memberikan
arahan bahwa setiap hari akan menyantap makanan berdo’a yang arti intinya
memohon agar Allah memberikan keberkatan atas rezeki yang akan kita santap.
Kalaulah makanan sudah diikhtiarkan makanan yang halalan tayiban dan telah pula
berserah diri kepada-Nya dengan berdo’a, masih juga mendapat musibah. Hal itu
sudah kita pulangkan kembali kepada Allah untuk kita yakini akan keberkatan dan
hikmah yang tersembunyi dibalik peristiwa itu.
No comments:
Post a Comment