Ibarat
kondangan ke suatu pesta, tanggal 9 April 2014 penduduk seluruh negeri diundang
untuk hadir di suatu pesta disebut “pesta
demokrasi”. Undangan ini sudah lama sekali disampaikan kepada seluruh warga
negara dewasa, dengan harapan tentunya tidak akan lupa. Guna mengingatkan itu
pesta, sudah berbulan-bulan bahkan ada
yang sudah tahunan si empunya hajat terus menerus mengingatkan dengan berbagai
cara dan model.
Ibarat
setiap ke kondangan, disediakan menu makanan dan minuman akan terhidang.
Istimewanya kondangan “pesta demokrasi
ini” menu sudah di informasikan lebih dahulu jauh sebelum pesta dimulai.
Istimewanya lagi kalau menunya masih ada yang lupa, dapat ngunduh di internet.
Istimewanya lagi menu-menunya itu di setiap Gubuk ada tiga jenis menu yaitu:
1. Menu
yang sudah lama diketahui calon penghadir pesta, istimewanya menu yang sudah
diketahui itu banyak yang tidak enak. Bukannya belum pernah nyoba, tetapi
terbukti tempo hari waktu memakannya, memusingkan kepala atau membuat mual atau
diare.
2. Menu
baru yang belum sama sekali dikenal, dengan demikian rasanyapun belum
diketahui. Jangan-jangan sama ndak enaknya, sama bermasalahnya dengan menu yang
lama.
3. Menu
ketiga kayak-kayaknya seperti menu yang lama tapi sepertinya dikemas ulang,
bahkan nama hidangan diganti tapi setelah diteliti formula/resepnya sama saja.
Nah,,,,
Ibarat ke pesta kita boleh milih datang atau tidak datang. Boleh milih hadir
atau tidak hadir, tapi tak boleh diwakilkan, nitip amplop semisal kondangan
pesta nikah atau khitanan.
Ibarat,
kita memilih hadir, juga masih punya pilihan apakah mencicipi hidangan, atau
sekedar “BE PUSA’” (kuperkenalkan bahasa daerahku BE PUSA’ ialah menjamah
makanan tapi tidak mencicipi atau tidak masukkannya ke mulut). Tujuan BE
PUSA’ agar tidak KEMPUNAN (ini juga
bahasa daerahku) penjelasannya panjang. Singkatnya begini: “Misalnya kita
kunjung ke rumah teman, karena buru-buru ada keperluan, ketika mau pamit pulang,
temannya menahan dan ngomong: “tunggu
sebentar lagi disedukan kopi”.
Karena anda tidak dapat nunggu, tindakan yang dilakukan “BE PUSA’ ”,
dengan menjamah kopi dan gula yang akan disedu. Be PUSA’ ; konon menghindarkan
si yang Be Pusa’ kenapa-kenapa di dalam
perjalanan.
Ibarat
nya apa anda akan menyicipi makanan yang menunya sudah disebut seperti di atas,
padahal anda belum tau atau mungkin tidak tau apakah ada pilihan yang baik, atau justru anda hanya Be Pusa’. Tentu terserah anda.
Diri
ini kebetulan terakhir ini sering dihadapkan kepada umat. Sekurangnya dua kali
dalam kesempatan khutbah Jum’at di masjid yang cukup besar di Jakarta Pusat dengan jamaah lebih dari 2.000. Di dalam
khutbahku tanggal 21 Maret dan 4 April kuselipkan pesan kepada jamaah; JANGAN
MENJADI GOLPUT. Walau tentunya sebagai seorang khatib pantang memihak.
Karena dengan Golput membiarkan
orang lain memilihkan “menu” tersebut di atas untuk kita santap bukan sebentar,
selama 5 tahun kedepan dan mungkin selamanya. Sebab kalau salah pilih, nanti
mereka yang salah itu akan mengatur segalanya sehingga bisa saja dia
mempertahankan kekuasaannya untuk mengkondisikan kesengsaraan kita selamanya. Memang tiga menu di atas susah
memilihnya, tapi setidaknya mungkin masih adalah yang sedang-sedang.
Memang
yang namanya kondangan, masa’kan undangan yang menentukan pilihan menu,
tentulah yang punya hajat yang persiapkan menu, sesuai kemampuan dan tinggi
rendah seleranya. Makanya undangan mau tidak mau, suka atau tidak suka jika mau
makan ya pilihlah yang sudah tersedia. Walau misalnya menu yang ada tidak
sesuai selera. Kalau begitu, ibarat
kondangan juga tidak tepat benar di ibaratkan
untuk “pesta demokrasi” ini.
Kadang
terpikir olehku sesuatu gagasan yang mungkin tak masuk di akal terutama buat
politisi sekarang. Bagaimana kalau legislatif itu datangnya bukan dari Partai,
tapi dari setiap Rukun Tetangga
ditokohkan masyarakat. Jadi mereka betul-betul dikenal ketokohan dan
kemampuannya. Misalnya dipilih tokoh yang mapan ekonominya, jadi diharapkan dia
jadi legislatif bukan untuk cari kehidupan dan kemewahan, tapi pengabdian. Atau
kalau yang ditokohkan ekonominya pas-pasan tapi orangnya sederhana, sehingga
diharapkan tidak mencari kemewahan. Tokoh tersebut mempunyai kemampuan keilmuan
yang memadai dan diketahui sebagai pejuang keadilan dan kebenaran. Tokoh
tersebut mempunyai keimanan dan ketaqwaan serta kesehatan yang masih prima.
Mungkin perlu juga syarat tambahan tokoh tersebut tidak ngantukan. Warga yang menunjuk si tokoh punya wewenang untuk
mengontrol si tokoh kalau sudah jadi legislatif dan boleh menggantinya dengan
tokoh lain, kalau dianya tidak beres sebelum jabatan berakhir. Selanjutnya
penghasilan anggota legislatif tidak usah terlalu tinggi, yaah biasa-biasa
saja, jadi orang ndak rebutan seperti sekarang, caleg ndak usah kampanye
ngabiskan biaya yang tidak sedikit. Fasilitas jangan istimewa-istimewa amat,
supaya orangpun tidak tergiur sangat. Dalam pada itu jangan pula setelah
menjadi anggota legislatif lalu makin susah hidupnya, sebab kalau malah jadi
susah, juga akan menjatuhkan prestise kita sebagai bangsa, khususnya warga yang
mendudukkan tokoh tersebut dikursi legislatif.
Selamat
berpesta demokrasi. Gunakan hak anda dengan baik, jadilah pemilih yang cerdas
sehingga terpilih orang-orang yang pas.
No comments:
Post a Comment