Bahasa
demikian pesat berkembang, mengikuti perubahan zaman. Seorang mahasiswa mengeluh
bahwa bahasa Inggris begitu merepotkan, ucapan dan tulisan hampir sama,
pengertiannya jauh berbeda. Dia mengambil contoh “lending” dengan “landing:
hanya beda di huruf “e” dan “a” artinya satunya “mendarat” dan satunya lagi “menyewakan/meminjamkan”.
Mahasiswa lainnya menimpali bahwa bahasa Indonesia pun juga sama, begitulah
bahasa, beda sedikit bunyi, maka beda jauh arti. Contoh bahasa
Indonesia seperti kata “Kucing”, “Kancing” dan “kencing”, beda tipis tapi
artinya: “hewan mengeong” , “buah baju untuk menghubungkan bagian kanan dan
kiri baju” dan “buang air kecil”. Mahasiswa lain menambahkan seperti “kuping”
dan “kuting”. Kuping dengannya manusia dan hewan mendengar, sedangkan “Kuting”,
pisau atau parang terlepas dari gagangnya /tanpa tempat pegangannya.
Penghujung
tahun 2013, bangsa kita dihebohkan oleh kata “sadap” akan beda jauh artinya
bila “a” sesudah “s” diganti “e” artinya suatu cita rasa yang disenangi atau
keadaan yang menyenangkan. “Sadap” sendiri punya arti lain. Bila itu digunakan
untuk petani karet maka artinya adalah melukai pohon “para (karet)” untuk
mengeluarkan getah/latek dari batang pohon
karet. Contohnya seperti gambar di bawah
ini, ketika aku pengin coba bagaimana si “penyadap” karet di kebunku di
pedalaman Kalimantan-Barat memproduksi karet.
Di
kampungku penuturan “Sadap” untuk pohon karet sebetulnya tak lazim digunakan
sebelum tahun tujuhpuluhan, berkat sudah bertambah kentalnya perpaduan penduduk
berbagai daerah di Indonesia, penduduk asli kampungkupun sudah mulai terbiasa
menggunakan kata “Sadap” untuk mengalirkan “latek” dari pohon karet. Semula di kampungku, terbiasa dengan istilah
“Menoreh” untuk melukai batang pohon karet, guna mengeluarkan air getahnya,
dengan pisau khusus.
Begitu
tingginya nilai tenaga manusia di wilayah kampungku, “penyadap atau penoreh”
mendapat bagian 2/3 (dua pertiga) dari hasil sadapan, sedangkan pemilik kebun
hanya kebagian 1/3 (sepertiga). Itupun sulit mencari tenaga yang bersedia
menyadap. Ada beberapa hal yang membuat tidak banyak orang yang bersedia
menyadapkan kebun orang lain antara lain yaitu:
Pertama,
rata-rata penduduk setempat punya kebun karet, walau tidak begitu luas, tapi
cukup buat sambilan mereka sebelum menyelesaikan pekerjaan lain. Sebab jam
kerja penyadap karet mulai dari subuh sampai sekitar dimulainya waktu dhuha.
Selanjutnya penduduk yang rajin, seusai mengintas getah (mengumpulkan hasil
sadapan dari tempurung-ke tempurung) dimasukkan ember untuk pengolahan lebih
lanjut, mereka akan meneruskan dengan aktivitas produktif lainnya seperti
bercocok tanam tanaman muda, membuat anyam-anyaman mengurus ternak dan
lain-lain.
Cerita
ini, ketika belum maraknya kebun sawit. Sejah tahun 1990 an mulailah banyak
kebun karet yang dikonversi jadi kebun
sawit, walau kebanyakan diantara penduduk tidak begitu rela, namun terpaksa,
karena memang kebanyakan kebun mereka tidak punya surat-surat kepemilikan tanah
yang resmi. Sementara perusahaan-perusahaan atas nama “PT”, mengantongi izin
resmi dari pemerintah, yang mengklaim bahwa lahan yang semula kebun keret
rakyat itu adalah merupakan/diperuntukkan sebagai areal perkebunan sawit
mereka. Rakyat semakin takut ketika itu (sebelum reformasi), karena bagi yang
tidak bersedia menyerahkan kebunnya didekati dengan menggunakan petugas; oleh
orang kampung dilihat sebagai aparat, kemudian akan dianggap menentang
kebijakan pemerintah.
Penyebab kedua,
sulitnya mencari orang yang bersedia
menorehkan kebun milik orang lain adalah dikarenakan MUSIM. Di kampungku di
lahan tempat banyak dan subur pohon karet itu, musim hujan menurut statistik 16
hari dalam sebulan. Jadi peluang menoreh
karet hanya 2 minggu dalam sebulan. Belum lagi pohon karet punya tabiat, ketika
berganti daun, batangnya tak begitu banyak mengeluarkan air getah. Ketika
pergantian daun ini, tidak effektif kalau ditoreh. Jadi hitung-hitung dalam
setahun waktu produktif hanya empat bulan.
Penyebab ketiga,
kurangnya minat orang menjadi buruh penoreh, adalah harga. Fluktuasi harga
karet sangat tajam. Dapat saja terjadi di awal bulan harganya belasan ribu per
kilogram, akhir bulan melorot menjadi tinggal dua sampai tigaribu perkilogram.
Hal ini pernah kami alami sendiri, ketika mencoba mengerahkan tenaga diambil
dari kabupaten diluar kampungku untuk menurunkan hasil kebunku. Disebabkan fluktuasi
harga demikian pengelola yang kupercayai, akhirnya undur diri. Sebenarnya kalau
agak tahan permodalan, tunggu saja sampai harga kembali naik, menurunkan hasil
karet cukup menjanjikan. Apa boleh buat tak kuat bertahan membiayai tenaga
penoreh, ketika harga merosot turun, sementara konsumsi jalan terus, belum lagi
bila musim hujan. Walaupun pembayaran ke penoreh atas dasar bagi hasil, tapi
sementara hasil belum dibagi harus
keluar biaya konsumsi mendahului pembagian hasil. Sementara itu harga-harga
barang konsumsi di pedesaan bukan main tingginya dibanding harga-harga di kota.
Diakui
juga bahwa dengan sudah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, ekonomi sebagian
besar keluarga pedesaan tempat lahan berada mulai berjenjang naik. Sempat
terlihat beberapa buah mobil mahal parkir di halaman rumah beberapa keluarga,
walau jalan yang tersedia kurang memadai untuk enak berkendara. Tidak pula mata
dapat ditutup bahwa sebagian besar penduduk yang karetnya terkonversi menjadi
lahan sawit hanya dapat sebagai buruh.
Dampak
lainnya seperti telah banyak tersiar dimedia bahwa banjir mudah sekali terjadi,
karena hutan karet yang bersahabat dengan lingkungan dan hutan alam mendekati
punah, pohon durian dan pohon Kelemantan (sebangsa mangga) Pohon Lembacang
(sebangsa mangga agak asam dan wangi besarnya nyaris sebesar buah kelapa),
pohon Tengkawang, pohon Benuah (penghasil damar) dan berbagai jenis rambutan
hutan dan lainnya telah dibabat.
Pernah
kucoba berburu Rusa, sudah tidak menemukan lagi, padahal masa kecilku ikut
Ayahanda berburu, kadang dapat beberapa ekor sekali menghutan. Sekali waktu
kucoba membawa senapan angin, ternyata hanya dapat dibuat adu ketangkasan
dengan pemuda desa, menembak buah mangga di halaman rumah, karena seekor
burungpun tak ada lagi yang lewat, apa lagi hinggap dan berkicau.
Kebunku
itu menurut “Surat Keterangan Tanah” (SKT) dikeluarkan camat setempat ketika kumembangunnya
tahun 1988 seluas 1-km persegi, ditambah lagi kebun karet tetangga tanah ku itu
dijual kepadaku seluas 20ha. Awal tahun 2013 lahan tersebut dilirik lagi oleh
“PT” pendatang baru bidang perkebunan sawit untuk daerahku. Aku tetap
bersemangat mempertahankan kebun karet, walau ku tau hasilnya tak gampang
mengeluarkannya. Motivasi kubertahan itu adalah agar anak cucu ku di kampung
kelak masih dapat melihat langsung bagaimana modelnya/bentuknya pohon karet. Ku
hawatir bila semua lahan dikonversi jadi pohon sawit maka tak sebatang karetpun
masih berdiri di tanah leluhurku. Kini lahan perkebunan di tepi jalan provinsi
itu, kabarnya sudah makin menciut juga, lantaran dari pinggir-pinggirnya
digeser orang, pagar kebun terdiri dari kayu belian mengelilingi kebun
rata-rata berjarak 4 meter per tiang, kini sudah banyak yang hilang, maklum
lokasi tadinya hutan dan jauh dari keluarga yang diamanahi menjaganya. Lagian
ketika membangun kebun penentuan lakosi belum dilakukan dengan teknologi modern
sekarang (GPS) dan juga seperti hampir seluruh penduduk desa bukti kepemilikan hanya
surat dari camat berupa “SKT” dan bukti pohon karet. Seluruh masyarakat desa
setempat tau bahwa lahan itu sebelumnya adalah hutan alang-alang setinggi
manusia, kini telah menjadi hutan hijau dan pohon-pohon karet. Legalitas
kepemilikan lahan belum sampai kepada HGU seperti para pengusaha besar,
No comments:
Post a Comment