Hobby,
memang berbiaya mahal, pembaca sepakat. Seorang hobby memilihara burung, bila
ada burung yang dijual orang, harga bukan masalah, bagi penghobby burung,
berusaha untuk menggantung sangkar berisi burung tersebut di dekat rumah. Begitu
juga orang hobby berburu, hobby olahraga tertentu termasuk hobby mincing.
Sebetulnya
dapat ditarik perbedaan yang jelas, antara berbagai jenis hobby tersebut. Hobby
burung umumnya merasa puas mendengar kicauan burung yang langsung dapat
didengar dari burung pemilik suara, mungkin juga senang melihat penampilan si
burung. Sebab kalau hanya senang kicauan, mengapa tidak mendengarkan rekaman
saja. Hobby berburu, merasa puas bila hasil buruan dapat ditembak/tertangkap,
seni menembak atau menangkap buruan adalah yang akan menjadi kisah yang cukup
lama menjadi perbincangan. Hobby olahraga, si olahragawan tertentu akan merasa
puas bila meraih prestasi dan memenangkan suatu kompetisi.
Kalau
hobby mancing, mungkin kegembiraan ketika pancing dimakan ikan dan ikan yang memakan
pancing melekat di mata kail, kemudian menarik senar pancing kepermukaan air
sampai berhasil kedarat atau kegeladak kapal/perahu dengan ikan yang melekat
dimata kail. Ketika ikan masih di dalam air, belum dapat dipastikan ikan apa
yang akan didapat, sebesar apa ikan itu. Begitu ikan muncul kepermukaan air,
begitu diketahui ikannya besar, maka jeritan kegembiraanpun meletup. Kawan kiri
kanan juga ikut melirik hasil pancingan kita itu. Disitulah mungkin sebagian
kebahagiaannya. Kalau hitung-hitungan risiko dan biaya, terutama kalau mancing
ke laut lepas, sungguh tak imbang antara bahaya dan biaya. Ketika kami mincing
26 Maret 2016 pergi ke laut yang begitu jauhnya sudah tidak nampak lagi tepian.
Berlayar tiga jam-an dari muara sungai Pawan Ketapang Kalimantan Barat sejauh
lokasi rumpon ter jauh 20 mil laut. Enam rumpon yang kami datangi, membuat kami
baru sampai ke darat kembali pukul sepuluhan malam, meninggalkan rumah usai
shalat subuh sekitar pukul 5 pagi.
Adapun biaya, untuk awak kapal, bahan bakar tidak termasuk sewa kapal mungkin
menghabiskan sekitar 3 jutaan. Perolehan ikan, bila di lelang masih kurang dari
biaya yang dikeluarkan, maklum kami hanya menangkap ikan dengan pancing, khusus
untuk rekreasi. Saya membawa Istri dan Kakak Istri yang sama sekali belum
pernah berlayar dengan kapal nelayan. Risiko tinggi, karena jauh dari pantai
tidak nampak tepian, bila ternyata kapal bermasalah, cukup berbahaya. Apalagi
kapal nelayan yang kami tumpangi tidak tersedia alat keselamatan seperti
pelampung. Karena nelayan setempat punya aturan tidak boleh menyiapkan pelampung,
sebab dengan menyediakan pelampung berarti menantang bahaya.
Perolehan
masing-masing orang dalam memancing, sangat terpengaruh dari ketrampilan
memancing dan ditentukan juga oleh keberuntungan. Kadang kita duduk berdekatan,
rekan disebelah terus terusan mengangkat ikan kepermukan air, sementara kita
,masih terus melamun tanpa mendapat apa-apa (bahasa setempat “melangut”). Oleh
karena itu, era orang tetua dahulu ketika membuat joran pancing, diajarkan oleh
tetua dulu, joran pancing diukur dulu
dengan kepalan orang yang akan menggunakan joran itu. Cara mengukurnya saya
bukakan rahasianya. Sebelum bilah joran di potong; panjangnya joran ditentukan
kepalan yang akan menggunakan joran dengan menghitung: Cap, Jangking,
Mengkiding Melalang, Melangut. Kepalan pertama Cap ……… kepalan terakhir
Malangut. Ulangi lagi mengepal joran dengan hitungan pertama sampai seterusnya,
sehingga panjang joran yang diinginkan tercapai. Hentikan pada kata Cap, atau
Jangking, Mengkiding, Melalang, jangan sampai MELANGUT. Paling bagus kalau
diakhiri dengan Cap. Diharapkan apabila pancing dilempar ke air, ikan langsung
melahap dengan CAP. Tapi ini cerita jaman dahulu dan memang pernah ada, walau
untuk kita yang beriman kepada kuasa Allah tidak boleh meyakini ini. Namun
budaya nelayan ini perlu juga diungkap untuk hasanah budaya khususnya orang
laut. Buktinya saya pernah memancing tak menggunakan joran, dengan senar
pancing gulungan, banyak juga dapat mendaratkan ikan ke kapal. Tapi sekali lagi
budaya dan kebiasaan ini jangan dipatahkan. Cukup menarik misalnya mentera
memancing yang pernah saya tulis:
MENTERA
MEMANCING:
But-but kurajut
tali perambut
Umpan kelempar
ke air laut
Para ikan segera
menyambut
Menelan umpanku
sampai keperut
Umpan kau makan
aku menjujut
Pancing kutarik
engkau mengikut
Jangan coba
untuk merenggut
Kalau merenggut
koyak kau punya mulut
Orang laut,
komunitas nelayan ternyata senang juga berpantun. Pantun mereka pantun empat baris, kadang aaaa
dan kadang ab,ab. Ketika kami berlayar kemarin, istri saya setelah melalui
proses mabok laut dalam perjalanan menuju rumpon, kemudian dapat bangun
sebentar ketika lego jangkar dan pancing mulai dijatuhkan. Sementara kakak
istri saya dapat bertahan tidak mabok laut ketika berlajar menuju rumpon, namun
ketika kena goyangan alunan ombak waktu lego jangkar dan pancing siap di tebar,
beliau tak dapat menahan mabok. Kakak kami memilih tiduran di kamar kapal. Akhirnya
juragan kapal nelayan yang membawa kami melantunkan pantun:
Kapal sampai di
rumpon, melempar sauh
Talinya panjang,
sampai ke lumpur
Rombongan tamu
dari Jakarta cukup jauh
Nyatanya
hanya mobok cume numpang tidur.
Kakak
tidak dapat membalas pantun juragan itu, kecuali mengatakan: “Nanti saya akan training
di Jakarta, agar tidak mabok laut, nanti saya akan datang lagi dilain waktu”.
No comments:
Post a Comment