Lain
padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Demikian pepatah lama yang
belum usang mengandung makna; bahwa lain daerah lain pula penuturannya, adat
istiadatnya bahkan nilai-nilai yang dianggap sopan/pantas dan tidak pantaspun
kadang berbeda bahkan tak jarang berlawanan di setiap daerah.
Gambar
di bawah ini, menurut istilah penutur bahasa melayu (Kalimantan-Barat) adalah Lesung,
suatu alat memproses Gabah menjadi Beras. Beras Menjadi Tepung. Biji Kopi
menjadi serbuk Kopi. Pokoknya memproses penghalusan umumnya biji-bijaan
sehingga layak diproses kosumsi lebih lanjut.
Peralatan
itu, terbuat dari bahan kayu yang keras, di Kalimantan dari kayu Belian ada
yang menyebut Kayu Besi di Kal-Sel di sebut Kayu Ulin, berupa balog kayu
persegi empat panjang dibuat sedemikian rupa ditengahnya dibuat lobang/palung
tempat memasukkan susuatu yang akan diproses menjadi siap untuk diproses guna
dikonsumsi atau diproses lanjut.
Kenapa
ku sampai menukil pepatah di atas, sebab di Jawa gambar di atas namanya bukan
lengsung tetapi “LUMPANG”, sedangkan lesung bagi penutur bahasa Jawa adalah
seperti yang tampak di gambar di bawah ini:
Fungsi
lesung di Jawa untuk merontokkan butiran-butiran gabah dari tangkainya. Tidak
di kenal di Kalimantan, sebab padi di Kalimantan tidak dapat diperlakukan sama
dengan padi di Jawa. Padi di Kalimantan mudah rontok dari tangkainya, begitu di
panen tidak dapat di bawa ke pinggir sawah seperti petani di jawa dengan
dipikul hanya dengan mengikat/menghubungkan tangkai-tangkai padi sehingga
menjadi sekupung padi. Padi di Kalimantan harus dimasukkan karung begitu diambil dengan pengetam pakai alat
pengetam (ani-ani), sebab kalau tidak dimasukkan karung akan langsung gugur ke
tanah. Untuk memisahkan padi dari tangkainya (ruman) di Kalimantan dengan cara
menggirik (diinjak-injak). Sedangkan penyimpanan padi/gabah di Kalimantan dalam
keadaan curai di dalam lumbung disebut “Kepuk” terbuat dari “Kajang” semacam
anyaman daun Nipah, setelah terlebih dahulu di jemur. Penyimpanan padi di Jawa
untuk jangka waktu cukup lama, setelah dijemur “kupungan padi” di gantung di
dalam gudang, hal ini di Kalimantan
tidak mungkin dilakukan karena sifat padi Kalimantan seperti diutarakan di
atas.
Di
usiaku masih anak-anak, di masa libur sekolah, sering diajak ayahandaku untuk
turney ke pedalaman. Ayahandaku almarhum adalah keluarga “Api Nan Tak Kunjung
Padam”, suatu lambang Kementerian yang akhirnya padam juga setelah Republik
berganti tiga Presiden. Beliau ayahandaku dan rombongan rutin ke pedalaman
menerangkan kebijakan pemerintah, biasanya diiringi dengan memutar film
penerangan dengan layar tancap. Isi film memberikan informasi kemajuan daerah
lain dan moment itupun diselingi penjelasan yang diperlukan untuk kemajuan
penduduk yang dikunjungi dengan bahasa dan teknik penjelasan yang mudah dicerna
Masyarakat setempat. Hasilnya Alhamdulillah sekarang kalau kita ke pedalaman,
sudah maju dalam berbagai hal. Orang pedalaman yang dulu lelakinya hanya pakai “Cawat”,
sekarang sudah banyak berpendidikan tinggi dan bahkan jadi pemimpin negeri ini
yang kemana-mana dengan pakaian keren serta naik Pesawat. Ketika itu di
pedalaman, menumbuk padi dilakukan anak-anak gadis di pagi buta, sebelum
matahari belum sempurna terbitnya, mungkin memanfaatkan keteduhan. Gadis gadis
pedalaman ketika setengah abad lalu itu, menumbuk padi bersama-sama sekitar
enam sampai sembilan orang. Lesung yang mereka gunakan dibuat panjang di balok
dalam tiga lobang. Masing-masing lobang ditumbuk bersama-sama oleh tiga orang.
Iramanya cukup indah, karena mereka masing-masing 3 orang di suatu lobang
lesung secara bergantian menjatuhkan alu (alat penumbuk) ke lobang lesung. Begitu
pula kelompok yang tiga orang dua lobang sebelahnya berirama sahut-sahutan
jatuhnya alu ke lobang lesung. Yang menarik lagi, di keadaan waktu itu, masih
sangat-sangat sederhana, sembilan gadis itu hanya mengenakan pakaian yang
menutupi pinggang ke bawah sampai di atas lutut, sementara bagian atas
dibiarkan terbuka leluasa, sehingga irama hentakan alu ke lesung diikuti
iramanya ayunan buah dada mereka yang masih polos alami itu, di bawah keteduhan
pohon rindang di halaman rumah panggung mereka. Sayang waktu itu kamera digital
dan vedio belum ada apalagi HP yang secanggih sekarang. Kalau umpamanya sudah
ada alat secanggih sekarang, menarik juga untuk di vediokan. Tapi jangan salah,
bahwa untuk situasi waktu itu, untuk kesopanan ketika itu. untuk nilai baik
buruk di zaman itu, sekitar lima puluh tahunan yang silam itu, hal yang
demikian adalah dianggap sopan dan tak melanggar kesusilaan sedikitpun. Sekali
lagi “Lain Padang lain Belalalang, lain Lubuk lain Ikannya, lain waktu lain
pula nilai-nilai normanya”
No comments:
Post a Comment