Belakangan
ini dengan adanya commuter line kareta api melayani Bogor, Tangerang, Bekasi
melintasi kediaman kami. Transportasi ketempat tertentu yang dilintasi kereta
api cukup mudah buat kami. Belakangan Jakarta kian macet. Semula beberapa tahun
yang lalu, dari rumahku ke Bendunghan Hilir tempat saya ngajar, dapat ditempuh
40 menit. terakhir ini bila mengendarai mobil sendiri bisa-bisa sampai 2 jam.
Tahun lalu ketempuh dengan mengendarai Bus Way, makin sekarang juga makin lama
sampai ke tujuan, sebab kadang nunggunya lama dan penumpang yang nunggu sudah
makin ramai di jam-jam tertentu. Disamping itu juga rada ngeri sering liat di TV ada Bus Way yang terbakar.
Baru
enam bulan terakhir ini kumengetahui, bahwa commuter line pantas jadi
tumpanganku untuk pergi pulang mengajar di beberapa kawasan di Jakarta dan
Tangerang. Tanpa kemacetan dan waktu tempuh hampir teratur dan terukur, dengan biaya
yang jauh lebih murah bila dibanding dengan memakai mobil sendiri, memakai bus
way apalagi bila dipadan dengan taxi.
Naik
Kereta Api Commuter Line, memang tidak langsung sampai di depan kampus, harus
disambung dengan angkot sekitar 10 sampai 15 menit, di DKI dan Jabotabek
sekarang biaya angkot jarak dekat Rp 4 ribu, lebih mahal sedikit dari KA
Commuter Line. Contoh tarif KA sekarang kalau ke Tangerang dari rumahku hanya
Rp 3 ribu, ke stasiun “Karet”, hanya Rp 2 ribu.
Lumayan
juga, kegiatan rutin sesudah purnabhakti dari kerjaan lama, sepekan dua atau
tiga hari masih ketemu dengan komunitas mahasiswa. Masih dapat keluar rumah
bersosialisasi dengan orang lain. Di KA CL, disediakan tempat duduk prioritas
diperuntukkan bagi yang lansia, bagi ibu mengandung, atau ibu membawa bayi dan
penyandang cacat. Walaupun aku belum membawa tongkat seperti dilambangkan dekat
tempat duduk prioritas itu, agaknya aku sudah pantas untuk mendudukinya di usia
di atas 65 bukahkan sudah lansia.
Ketika
suatu hari aku akan menuju ke stasiun Karet naik dari Sentiong, tetangga
dudukku ibu-ibu sudah lansia juga, mungkin lebih senior dariku. Meliwati stasiun
Senen menuju Kemayoran, Ibu itu mulai membuka cerita, menanyakan diriku akan
kemana. Ku Jawab akan ke Benhil. Karena pertanyaannya berkelanjutan, kujelaskan
bahwa akan turun nanti di Stasiun Karet, disambung angkot ke Benhil.
Rasa
ingin tau itu ibu cukup tinggi, tanya pula apa urusanku ke benhil, semula
kujawab singkat; “Kerja”. Ibu itu setengah ndak percaya melanjutkan tanyanya “Kerja kok berangkatnya tanggung, sudah pukul
empatan sore begini”. Benar juga ini Ibu, kalau kerja kantoran tentu
berangkatnya pagi, kalau jaga malam sepertinya ndak pantas potongannya, juga
berangkatnya ke awalan.
Kujelaskan
sedikit tugasku agak jujur yaitu ngajar, kelihatannya malah tambah si Ibu ndak
percaya. Baru agak mudeng ibu ini setelah kusinggung, ada kampus buka mulai
sore sampai malam. Malah ibu ini rupanya agak melek soal jurusan perguruan
tinggi, pertanyaan makin berentet. Walau kujawab sekali sekali, sesuai
pertanyaan, rasa ingin tau si Ibu
rupanya ingin memastikan dengan siapa dia duduk berdampingan di tempat
duduk prioritas itu.
Tak
terasa kereta tumpangan kami sudah hampir memasuki stasiun Tanah Abang. Giliran
aku beratanya: “Ibu mau turun di mana”.
Tenang sekali ibu ini menjawab “Stasiun
Duri”. Kontan tetangga duduk yang berhadapan dengan kami nyeletuk, “Duri kan sudah lewat”. Dengan cekatan
ibu tadi berguman sambil kelihatan kaget “abis
Bapak si ngajak saya ngobrol”. Beliau rupanya tak bersedia salah dan balik
mempersalahkan saya yang katanya sayalah yang ngajak beliau ngobrol.
Pikirku
dalam hati, ini ibu sudah tuwir tetap ngak mau salah. Padahal sedari tadi dia
yang mulai ngajak ngomong dengan serentetan pertanyaan. “Ok. Bu, nanti di Tanah Abang ibu turun naik lagi yang nuju Jatinegera
turun di stasiun Duri”, demikian beberapa penumpang lain memberi saran. Ibu
itupun menghentikan omongannya sambil menanti dibuka pintu kereta, sesampainya
nanti di stasiun Tanah Abang. Sebab pintu gerbong kereta tiap stasiun yang
dilintasi terbuka sangat sebentar, kalau terlambat keluar, pintu tertutup
kembali baru terbuka stasiun berikut. Kebetulan kali ini kereta agak lama
bertahan sebelum dapat lampu hijau masuk ke stasiun Tanah Abang. Untungnya
sampai di Stasiun Tanah Abang si Ibu masih sempat menucapkan salam perpisahan.
Dalam
perjalanan terusan kereta, kuingat tulisan-tulisan ku terdahulu dan juga sering
kusampaikan dihadapan audienceku penyebab kenapa bangsa kita tidak mau mengakui
kesalahan. Penyebabnya adalah kita sejak kecil oleh pengasuh kita, sudah
dibiasakan tidak pernah salah. Contohnya kalau kita masih kecil baru pandai
berjalan, tiba-tiba dengan tak sengaja menyenggol sudut meja terkena pelipis
atau kepala kita, tentu saja kita yang masih kecil itu menangis sejadi-jadinya
disebabkan sakit. Untuk mendiamkan kita agar berhenti menangis, pengasuh kita
lantas memukul meja berkali-kali dan mempesalahkan meja, dengan kata-kata “meja nakal-meja nakal”. Sejak masih baru
pandai berjalan kita sudah diajari bahwa kita tak pernah salah, walau
kenyataannya tu meja diam ditabrak oleh kita, tetap saja meja yang salah.
Pelajaran itulah yang terbawa oleh kita sampai tua, semisal Ibu yang manula
sekereta dengan saya tadi.
No comments:
Post a Comment