Manusia
diciptakan memiliki 4 kepribadian yaitu: pertama; Kepribadian hewani, sehingga ada
yang mengatakan “manusia adalah hewan yang berakal dan dapat ngomong”. Kedua;
kepribadian syaitan, selalu mengajak dan cendrung berbuat kejahatan. Ketiga;
kepribadian Malaikat, hanya berbuat baik dan mengabdi kepada Allah. Keempat;
kepribadian Insani, condong berbuat
taqwa, disaat yang sama berpotensi berbuat fujuraha (nista).
Kepribadian
Insani, tidak melulu seperti hewan yang hanya mempunyai nafsu makan, tidur dan
reproduksi, walau nafsu itu dipunyai oleh Insani. Manusia yang potensi “taqwaha”nya
menonjol akan makan yang halalan tayibah, tidur untuk memenuhi sunatullah bagi
kesehatan dan hubungan reproduksi sesuai koridor yang dibenarkan oleh norma
agama masing-masing.
Kepribadian
Insani tidak hanya seperti syaitan yang inginnya hanya berbuat kejahatan saja,
karena sejahat-jahatnya manusia tetap saja ada sisi baiknya, di lain pihak
sebaik-baik manusia bila dicari pasti ada jeleknya. Oleh karena itu maka setiap
rakaat kita sholat ada do’a duduk diantara dua sujud yang dapat dimaknai
“Lindungi diriku (ya Allah) dari tersingkapnya aibku”. Sebab jika aib kita di dunia
ini dibukakan Allah, maka tidak seorangpun diantara kita tidak punya aib. Makanya
dalam agama Islam membuka aib seseorang digolongkan ghibah, sedang ghibah
adalah sesuatu yang sangat dilarang dengan ancaman “memakan bangkai saudara
kita yang sudah mati”, kecuali ghibah yang dihalalkan antara lian membuka aib
seseorang demi kepentingan pengadilan. Kalaulah aib kita di dunia ini dibukakan
Allah maka mungkin anda tidak sanggup keluar rumah lantaran teramat malu. Aib
itu mungkin akan terbuka juga di akhirat kelak manakala kita belum memohon
ampun dan bertobat. Contoh konkrit bahwa manusia tidak semata-mata bertabiat
seperti syaitan, tidak ada seorang
penjahatpun yang ingin anak turunannya meneruskan tabiat penjahatnya itu.
Kepribadian
Insani tidak pula bagaikan malaikat, yang tiap saat taat, sebab malaikat tidak
diberikan nafsu seperti hewan dan manusia, sehingga tidak ada peluang untuk
berbuat jahat. Hewan tidak diberikan
pula sifat syaitan, sehingga nafsunya hanya diumbar sebatas kewajaran dirinya
sebagai hewan. Hewan hanya makan makanan tradisional mereka, hanya berhubungan
untuk reproduksi sesuai dengan naluri sejak nenek moyang mereka. Misalnya
pemakan rumput hanya rumput dan sejenis rumput yang ia makan, tidak akan doyan
makan daging, sementara itu hewan pemakan daging tidak akan sudi diberi makan
rumput. Memang ada sejenis hewan yang dapat makan sembarangan tapi tetap saja
beda dengan manusia. Manusia apa saja
sanggup dia makan, karena punya kemampuan mengkonversi setiap benda. Dikenallah
istilah bahwa besi beton dimakan manusia, aspal dimakan manusia, semen dimakan
manusia. Lagian sebuas-buasnya Harimau, kalau memangsa Rusa di hutan belantara,
hanya memangsa seekor rusa untuk keperluan makan sekeluarga mereka di hari itu,
besok barulah mereka berburu lagi, jadi hanya secukupnya saja. Beda dengan
manusia bila bertemu kawanan Rusa di dalam hutan, kalau memungkinkan ditembak
semua, jika tidak habis dimakan sehari itu, diawetkan dibuat dendeng. Bicara
soal hubungan reproduksi hewan dari zaman ke zaman begitu, begitu saja yaitu
antara jantan dan betina mereka. Giliran hubungan reproduksinya, manusia lain lagi,
ada perilaku sejenis, dan bahkan konon ada perilaku lintas mahluk.
Jadi
ketika seseorang sedang khusuk melaksanakan ibadah, dengan ikhlas berbuat baik
sesama (ibadah sosial), sifat “taqwaha” nya muncul. Ketika yang bersangkutan
korupsi maka potensi “fujuraha” yang bersangkutan dominan. Siapapun dia
berpotensi korupsi, jika ada peluang, kecuali orang-orang yang sifat “taqwaha”
nya sangat dominan. Untuk mencegah peluang itu perlu system yang sanggup
memprotek, sebab Rumus kejahatan adalah: “Kejahatan
= Kesempatan + Kemauan”.
Membendung
kemauan jahat adalah sifat manusia “taqwaha” dan mendorong kemauan jahat ialah
sifat manusia “fujuraha”. Sedangkan untuk meminimalkan “Kesempatan” ialah
system. Kalau koruptor kemudian dari hasil korupsinya itu untuk membiayai
ibadahnya, maka dapat diumpamakan “berwudhu dengan najis”.
Persoalannya
adalah:
Bagaimana
membuat sifat “taqwaha” manusia menjadi lebih dominan daripada sifat
“fujuraha”. Bagaimana memininalkan sifat “Khewaniah” yang terlekat di diri
setiap individu. Bagaimana senantiasa memelihara sifat “malaikat”, agar tetap
melekat di diri. Bagiamana menjauhkan sifat “syaitaniah” yang menggoda dari
segala penjuru. Untuk itu 6 (enam) langkah di bawah ini agaknya patut para
pembaca renungkan:
Pertama;
Tepati janji. Allah telah mengambil janji kepada manusia sejak di alam ROH,
tentang ke-Esaan Allah. Oke--lah bahwa tidak satupun kita masih ingat akan
janji itu, sejak roh dimasukkan kedalam raga, ingatan itu menjadi sirna. Akan
tetapi kita semua yang beragama Islam setiap hari di rakaat sholat berjanji
setia kepada Allah, dengan mengucapkan kesaksian dalam “Sahadatain” bahwa hanya
ber-Tuhan kepada Allah dan bersaksi pula bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Konsekwensinya adalah melaksanakan segala perintah Allah dan sekuat tenaga
mencontoh perbuatan Rasulullah. Menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Untuk
itu antara lain Allah mengingatkan bahwa “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka
itulah orang-orang yang rugi” (Qs 2:27). Jadi orang
yang merugi itu ada tiga golongan. Pertama yang melanggar penjanjian dengan
Allah. Kedua orang yang memutuskan silaturahim dan ketiga orang yang membuat
kerusakan di muka bumi.
Kedua;
senantiasa merasa diawasi oleh Allah setiap gerak gerik kita. Seperti antara
lain terungkap pada surat Alhujurat 18 “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Dengan begitu setiap insan
merasa bahwa apapun yang dilakukannya baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi
merasa diawasi Allah. Baik suap itu sudah dinikmati maupun baru dalam negosiasi
melalui sms dan telekomunikasi, semua jelas akan terpantau dan tertangkap
tangan oleh Allah. Kepada KPK dapat saja beralasan macam-macam tetapi CCTV
Allah tak kan dapat dihindari. Selanjutnya kita lihat informasi dari Allah
dalam Al-Qur’an bahwa kita akan dibagikan kitab yang dapat ngomong tentang apa
yang pernah kita lakukan. Qs 45:29 (Allah
berfirman: "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan
benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."
Ketiga;
evaluasi. Orang bijak setiap hari mengevaluasi diri, apa saja amal baik yang
telah dilakukan apa saja amal buruk yang terlanjur dikerjakan untuk segera
koreksi dan mohon ampun kepada Allah. Kalau keterlanjuran salah sesama manusia
segera mohon maaf. Orang yang selalu mengevaluasi diri, hidupnya akan penuh
kehati-hatian, tidak sembrono dalam berbuat, selalu berhitung keputusan yang
diambil. Berpikir sebelum berucap, karena takut menyakiti orang lain.
Senantiasa ingat janji kepada Allah dan juga kepada manusia (kalau jadi pejabat
kan disumpah). Senantiasa merasa diawasi oleh Allah seperti langkah kedua di
atas. Aktivitas evaluasi ini sendiri, juga yang bersangkutan merasa mendapat
pengawasan dari Allah, karena itu dalam evaluasi dianya tidak membenar-benarkan
diri, atau mencari alasan pembenaran atas apa yang sudah dia lakukan. Banyak
orang yang tau bahwa dianya salah, tetapi berusaha mencari pembenaran atas
kesalahan itu. Contoh kecil seseorang diposisi jabatan menengah misalnya; suatu
hari tidak sengaja menerima sesuatu yang seharusnya tidak boleh diterima dengan
jabatannya itu. Malamnya dalam evaluasi diri, dianya membenarkan dirinya,
membujuk nuraninya “ah kamu dapat sogokan
hanya sekian, bos kamu lebih parah lagi, lebih besar lagi, kamu tak seberapa”.
Diapun tenang dan hari hari selanjutnya menjadi terbiasa menerima sogokan
kecil-kecilan itu, keterusan dan kalau orang berurusan dengannya tak memberi
sesuatu lantas dipersulit. Beginilah penyakit umum ditatanan birokrasi kita.
Percuma spanduk yang dipasang lebar di kantor-kantor yang isinya antara lain “Jangan
melalui Calo, berurusan dengan pejabat resmi untuk menghindari pungli”.
Keempat;
penalty. Langkah keempat ini penting dilakukan untuk memacu diri agar tetap
komit terhadap janji dilangkah pertama dan merasa diawasi langkah kedua dan
evaluasi dilangkah ketiga. Output janji yang kurang tertepati, pengawasan
terlalai dan hasil evaluasi diri bahwa ada ibadah yang kurang, misalnya biasanya sholat tahajjud, karena
tidurnya kemalaman lantaran nonton sepak bola sehingga terbangun hampir adzan subuh, sehingga tidak sempat sholat
tahajjud yang saban malam dilakukan, maka berikan penalty kepada diri misalnya
pagi harinya perbanyak rakaat sholat
dhuha, perbanyak bersedekah, tingkatkan jumlah sedekah misalnya biasanya hanya
Rp 2.000,- hukum diri dengan sedekah Rp 5.000,- Penalty ini menjadi pemacu agar
ibadah rutine tetap terlaksana.
Kelima;
serahkan diri. Sesudah keempat langkah di atas dilakukan, serahkan diri kepada
kuasa Allah. Sebab apalah artinya ibadah yang kita lakukan, jika Allah tidak
berkenan, apalah artinya seluruh ibadah kita jika dibandingkan dengan nikmat
Allah yang sudah kita terima. Apalah artinya ibadah kita dari ukuran besarnya
pahala dibandingkan dengan menggunungnya dosa kita. Tidak seorangpun masuk ke dalam
surga kalau bukan karena RAHMAT ALLAH. Oleh karena itulah kuncinya setelah
maksimal usaha serahkan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. semoga Allah mengampuni
dosa dan menerima ibadah kita dan lebih dari pada itu menaungi kita dengan
RAHMAT-NYA.
Keenam;
jauhi diri dari perangkap syaitan. Perangkap syaitan begitu menggurita dari
atas, dari kiri kanan dari bawah dari semua penjuru. Yang paling menonjol diantara
perangkap syaitan itu adalah “PALING”. Merasa paling kaya, merasa paling banyak
berbuat kebaikan, merasa paling banyak ibadah, merasa paling pintar, merasa
paling berkuasa, merasa paling benar. Adalah baik menjadi orang benar, tetapi
menjadi paling buruk menjadi orang yang merasa paling benar.
System
yang baik.
Kembali
kerumusan “Kejahatan = Kemauan + Kesempatan”. Soal Kemauan jalan keluarnya
adalah membenahi diri manusia agar sifat “Taqwaha” lebih dominan dari
“Fujuraha”, dengan enam langkah yang ditawarkan di atas. Bicara soal kesempatan
disini sangat berperanan adalah system yang harus dibuat oleh ikhtiar manusia
agar bagimanapun orang “mau” berbuat kejahatan oleh system dapat dipagari sehingga
orang tidak dapat melakukannya. Kuteringat system pengamanan berlapis yang
diterapkan bank dalam mengamankan penyimpanan uang tunai. Dibanyak cabang bank,
terutama cabang besar. Kunci pintu pertama masuk khasanah dipegang oleh si A,
selanjutnya kunci masuk pintu kedua ruang khasanah dipegang oleh si B kunci kombinasi
membuka ruang khasanah oleh si C dan kunci kombinasi lemari besi dimana
didalamnya ada uang dipegang kepala kasir. Kunci penyimpanan formulir berharga
baik bernilai nominal maupun tidak bernilai nominal dipegang pejabat yang
berkenaan dengan formulir tersebut. Bila salah seeorang dimutasikan maka kunci
kombinasi tersebut langsung diubah terutama bagian orang yang dimutasikan. Dengan
system itu seorang saja tidak dapat langsung membuka lemari besi penyimpanan
uang. Bagaimana membangun system yang lebih besar dalam skala mengurus
birokrasi negara, tentu para ahli bernegaralah yang lebih mengerti.
No comments:
Post a Comment