“Kepinding” , mahluk ini, diberbagai daerah menyamar
dengan berbagai nama. Di Perancis
disebut “punaises” di Indonesia
di setiap daerah dianya menyamar dengan
nama-nama seperti: “kutu busuk”, “Tumila”,
“Tinggi” “Bangsat”.
Ibuku
pernah mengisahkan bahwa masa remajanya di “Jaman Jepang”. mahluk ini sangat
banyaknya, sampai menempel di pakaian. Tidak heran waktu itu setidaknya di desa
ibuku terjadi masa sulit perekonomian, barang kebutuhan hidup susah didapat
sampai kebutuhan dasar seperti garam saja sulit ditemukan. Apalagi tekstil,
sehingga di jaman Jepang setidaknya di desa ibuku, saking sulitnya mendapatkan
pakaian, banyak orang memakai bahan pakaian dari karung goni. itu barangkali
antara lain penyebab banyaknya “kepinding” sampai hidup dia (kepinding) di pakaian,
maklum pakaiannya terbuat dari “karung goni”.
Hewan
ini pengisap darah manusia, oleh karena itu tidak heran kalau manusia tidak
menyukainya, bila ketemu tak ampun lagi, langsung dipites/ditindas hingga tamat
riwayatnya. Suatu keistimewaan hama ini, dia termasuk
makluk yang “di benci tapi
disayang”. Sebabnya bila seseorang berhasil menangkapnya misalnya sedang antara
tidur dan bangun, maka segera dipites
dan selanjutnya untuk meyakinkan bahwa yang dipites apakah kepinding atau
bukan, langsung secara refleks dicium. “Mula-mula benci kemudian disayang”.
“Mula-mula dimusuhi kemudian dimuliakan”. Itu sebabnya mungkin ada suatu daerah
mahluk ini dinamakan “Tinggi”, sebab kedudukannya “ditinggikan” yaitu dicium.
Sementara itu karena kelakuannya sangat-sangat tidak baik, penghisap darah
manusia maka nama lain untuk hama ini “Kutu Busuk”. Tidak cukup cemoohan untuk
kelakuan mahluk ini atas jahatnya peringainya maka diapun disebut “Bangsat”.
Mungkin julukan “Tumila” karena kutu itu “Tukang Minum Darah orang sedang
lalai”. Ada lagi orang mengistilahkan binatang ini dengan “Musuh dalam
selimut”.
Apa
tepat ya kalau koruptor sekarang kita samakan dengan “kepinding”. Sebab beberapa
kriteria koruptor ada yang mewakili seperti kepinding. Dalam hal dibenci,
hampir semua orang membencinya, termasuk sesama koruptorpun saling membenci,
seorang koruptor membenci kepada koruptor lain yang tidak dalam satu kelompok. Tetapi
sesama kelompok biasanya saling melindungi, sepanjang masih terlindungi, kalau
sudah terbongkar lain lagi saling tuding. Begitu juga kepinding; sesama kepinding dia
saling melindungi dan berkoloni disuatu tempat. Namun bila sudah diketahui
dengan mudah mencarinya mereka saling menunjukkan. Kalau kepinding bisa
ngomong, maka jika dia ditanya, dia
tentu tidak suka dengan kelompok hama penghisap darah lainnya, seperti nyamuk
dan pacet.
Disatu
sisi koruptur di benci, disisi lain dia disanjung dan dihormati, sama halnya
seperti kepinding akhir hayatnya dihormati dengan dicium. Koruptor kakap
mendapat pelayanan yang baik dalam proses hukum, dia dihormati, diliput oleh
media eloktronik dan cetak, diundang wawancara stasiun televisi dikawal ketat
dan konon tahanannyapun dikhususkan. Beda dengan pencuri kelas mbek seperti belakang
didengar lagi hanya menebang beberapa batang bambu saja sudah harus ditahan. Masih
segar ingatan kita dengan seorang nenek hanya mengambil beberapa buah kakau,
seorang remaja hanya khilaf mencuri sandal. Perlakuan hukum bagi pencuri kelas
mbek disebut terakhir, tidak mendapat perlakukan terhormat seperti para
koruptor.
Kriteria
lainnya adalah bahwa kenapa agaknya cocok menamakan koruptor seperti kepinding, karena ada yang saking sakit hati
mengistilahkan koruptor adalah bangsat, menyebutnya kutu busuk. Tetapi tetap
saja mereka mendapat tempat yang tinggi.
Bahkan ada suatu daerah, mantan koruptor diberi jabatan yang tinggi, walau
akhirnya karena protes rakyat juga yang bersangkutan undur diri. Begitulah
kehormatan yang didapat oleh “KEPINDING BERDASI”. Alasannya mudah dicari
ketiadaan SDM. Orang curang salah satu kebolehannya adalah cerdik sedang orang
jujur kebanyakan lugu. Ditengah komunitas koruptor orang jujur terlihat SARU.
Koruptor menilap harta rakyat, sedangkan kepinding menghisap darah rakyat.
Berkenaan
dengan nama hewan ini “bangsat” ada suatu kisah menarik di satu daerah. Suatu
malam seorang baru saja menempati rumah kontrakan baru di suatu kampung.
Singkat cerita tengah malam rumahnya disatroni maling dengan jalan maling
membuat lobang dari samping rumah “bahasa setempat si maling menggangsir”.
Ketika maling masuk rumah spontan penghuni baru di kampung itu, menjerit
beberapa kali,,,,,,,,,,,, “bangsat-bangsat…….. bangsat”, ……… kemudian diam,
karena golok sudah menempel dilehernya. Tetangga sebelah mendengar jeritan
tadi, tetapi tidak tertarik untuk memberi tahukan tetangga lain tentang apa
yang didengarnya, apa lagi melihat agak sejenak ketetangga sumber jeritan, karena
pikirnya si penghuni rumah baru, sedang nglindur atau risaukan banyaknya kepinding ditempat
tidurnya. Alhasil besok baru diketahui oleh tetangga sekampung barang-barang yang masih dalam pak-pakkan boyongan
pindah hampir semuanya digondol maling.
Walau
sekian banyak persamaan antara “Kepinding” dengan “Kepinding Berdasi”, ada juga
bedanya. Kalau “Kepinding alami” mengisap darah manusia bila perutnya sudah
penuh berhenti. Sedangkan “Kepinding Berdasi” perutnya tak pernah penuh,
meskipun sudah penuh terus saja untuk korupsi menimbun harta buat cadangan
sampai anak cucu bila perlu diharapkan hartanya tidak habis tujuh turunan.
Anehnya
kata ibuku melanjutkan kisahnya; bahwa setelah Jepang hengkang , kepindingpun
menghilang. Para pembaca mungkin
sekarang tidak menemukan lagi kepinding di spring bed atau di kasur anda. Tidak
heran kalau remaja sekarang banyak yang sudah tidak dapat menyaksikan lagi
kepinding atau kutu busuk, atau tumila atau tinggi atau bangsat itu. Namun hewan ini tidak termasuk hewan yang
dilindungi walaupun sudah termasuk langka.
Fenomena alam yang “aneh ini”, menghilangnya sesuatu
populasi hewan, atau bencana agaknya kadang dapat dihubungkan dengan Zaman yang
sedang berlangsung. Entah secara kebetulan atau tidak saya kurang paham. Kisah
di atas zaman Jepang banyak kepinding. “Jepang hengkang kepinding hilang”. Disuatu
saat dipenghujung zaman ORBA dikampungku diserang belalang, jumlahnya mungkin
milyaran. Konon lagi tanaman di sawah/ladang, bila kawanan belalang itu hinggap
di perumahan penduduk yang rumahnya beratapkan rumbia atau atap terbuat dari
daun nipah, dalam waktu semalam rumah-rumah penduduk atapnya sudah punah
tinggal lidi. Begitu banyaknya populasi belalang, pemerintah setempat ketika
itu membeli bangkai belalang, dihargakan setiap kilogram. Lahan rezeki bagi
rakyat karena bangkai belalang saking banyaknya, bergelimpangan di jalan raya
sampai kalau kendaraan melintas harus melindas bangkai belalang. Begitu pula
belalang tersebut setelah beberapa bulan kemudian menghilang entah kemana.
Situasi
kita kini, banyak bencana alam di mana-mana; banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin
puting beliung. Apakah ada hubungannya dengan “Musim korupsi yang sedang
melanda negeri ini” Apa saja di negeri ini sekarang tengah dikorupsi, bahkan
orang yang jujur dianggap bodoh. Kalau tidak dianggap bodoh orang jujur akan
digusur dari jalur karena dianggap penghambat kegiatan mereka untuk meluncur. Korupsi bukan lagi monopoli orang kantoran
atau pejabat, rakyat negeri ini sudah hampir semua korupsi sesuai bidang
masing-masing. Pegawai kecil dengan cara kecil-kecilan, pejabat sesuai
jabatannya, pedagang sudah tidak lagi banyak yang jujur menyukat takaran dan
timbangan. Mungkinkah bencana-bencana alam itu juga akan otomatis terhenti bila
“musim korupsi telah berlalu”.
No comments:
Post a Comment