Sambal, terbuat dari cabe dengan
aneka bumbu tambahan, sesuai selera. Sambal dalam dialeg bahasa Jawa dikenal
dengan Sambel. Beda sehuruf di huruf kedua dari terakhir dengan penuturan bukan
orang jawa. Penuturan orang diluar jawa umumnya “Sambal”. Ku-ndak tahu persis, kenapa beda penuturan
ini.
Lain hal nya dengan pengucapan
“malam” untuk menyebut keadaan sesudah matahari terbenam, penuturan saudara
kita asal pulau jawa diucapkan “malem”. Rupanya di Jawa kalau di ucapkan
“malam”, khawatir tumpang tindih pengertian dengan sejenis bahan media
membatik, yaitu lilin. Jadi kalau ucapan
selamat malam bisa salah pengertian “selamat lilin” ingatan pendengar penutur
bahasa jawa tertuju ke batik bila diucapkan “malam”, oleh sebab itu diucapkan
“selamat malem”.
Kembali ke soal sambal, sepertinya
pengiring makan nasi ini, sangat digandrungi hanya oleh orang Asia, wabil
khusus Indonesia. Bule tak mungkin makan roti dengan saus/selai sambal. Kita
orang Indonesia rata-rata menyukai sambal. Bahkan ada suatu komonitas di tanah
air ini yang menyebut lauk pauk apapun jenisnya disebut juga sambal. Ikan
digulai, juga disebut “sambal ikan”. Terong dipacri disebut “sambal terong”,
ikan teri di goreng dibumbui cabe ya sudah jelas nama “Sambal Garanti Teri” disebut juga “sambal teri” dan seterusnya.
Tersebut kisah seorang Kakek, sedari
muda penggemar panatik sambal, tidak
semua Janis cabe yang disukainya. Dia sangat suka cabe yang rangsangan/kadar
pedasnya tinggi, dikenal cabe rawit. Rupanya seiring tambah usia, seiring
semakin tua, lambung si kakek tak berkenan lagi menerima sambal. Setiap
kesentuh sambal, si kakek meringkuk sakit mag dan harus menelan obat selama
sekurangnya seminggu.
Menyikapi keadaan ini si Nenek,
jarang menghidangkan menu sambal di meja makan. Suatu hari pulang shalat zuhur,
ketagihan pedasnya sambal tak lagi tertahankan oleh si Kakek. Ia minta kepada
asisten rumah tangga, untuk membuat sambal kegemarannya, dengan menyerahkan
sebungkus kecil Cabe yang sempat dibelinya di warung tetangga Masjid sembari
pulang dari shalat berjamaah. Assisten rumah tangga tentu ndak mau ketiban
salah, jika nanti si Kakek sampai sakit. Oleh karena itu sebelum Cabe rawit di
uleg, diapun diam-diam menemui dulu si Nenek yang sedang duduk santai nonton
TV. Nenek segera tanggap, berbisik ke As-RT, “ganti cabenya dengan cabe
kriting, rawitnya kasilah satu aja”, ujar Nenek.
Singkat cerita ulegkan cabe yang
sangat enak bila disajikan langsung dengan alat cebe di uleg (Cuek), bertengger
di atas maja makan. AS-RT melapor ke Kakek sedang menunggu dan berbaring di
kamar, dengan suara lembut “sambalnya sudah siap pak”.
Ngomong orang memang bisa bohong, misalkan
si AS – RT, ngaku sudah mengulek semua cabe yang diberikan, telah dicampur
dengan Trasi kesukuan si Kakek, apa lagi ketika membakar Terasi, baunya tercium
radius 7 rumah tetangga, cukup sudah merangsang selera makan. Tetapi “Lidah”
Kakek tak dapat di bohongi. Baru saja dua tiga kunyahan, langsung sang Kakek
memanggil si AS-RT, dialog singkat terjadi dan apaboleh buat si AS RT terpaksa
harus mengakui bahwa sambel yang ada dalam “Cuek” adalah “rekayasa”, itu hanya ada satu cabe rawit, lainnya adalah
cebe keriting, semua itu di rekayasa oleh Si Nenek. Serta merta si Kakek
mendorong piringnya ke tengah meja makan dan bangkit dari tempat duduknya. Diapun
masuk kamar, berkemas dan langsung Minggat, tanpa basa basi ke Nenek untuk
pindah ke rumah anaknya yang berbeda kelurahan dengan si Nenek.
Sudah tiga tahun si Kakek tak pernah
datang lagi ke rumah Nenek, setelah Minggat gara-gara sambal itu. Jika mengacu
pada sighat Taklik yang diucapkan saat nikah, maka sebetulnya si Nenek sudah
dapat mengajukan gugatan Talak satu ke pengadailan agama. Tapi si Nenek
membiarkan saja, terserah sampai kapan Kakek mau pulang ke rumah. Kakekpun
minggatnya jelas, bukan ikut kelompok tertentu ke pulau lain, seperti di
beritakan TV, tapi ke rumah anaknya
sendiri. Selain itu juga Kakek, karena usianya sudah lanjut, sudah lama tidak
memberikan nafkah bathin ke Nenek dan Nenekpun sudah kurang perlu nafkah bathin
itu. Sementara itu sudah duapuluh tahunan belangan ini nafkah lahir se
hari-hari, makan minum, Bayar air/listrik, pokoknya sandang pangan semuanya di
supply anak-anak mereka yang kebetulan sudah sukses kehidupannya.
Secuail kisah ini, memberikan tamsil
ibarat kepada kita para pembaca yang sudah mulai masuk usia senja. Nanti
rupanya di usia senja, organ-organ tubuh sudah tidak normal lagi, makanan yang
biasa di konsumsi di masa muda sudah tidak lagi layak dimakan. Sementara jiwa
kitapun rupanya sudah mulai rapuh, gampang tersinggung, gampang merasa
disepelekan, gampang merasa tidak dihargai. Bercermin dari kisah ini, maka
kitapun sudah siap jika pada gilirannya diri kita dihampiri kondisi tersebut.
Tentu kalau hal itu mulai mendera, kita cepat sadar seraya dapat menasihati
diri sendiri, sebab nasihat yang paling jitu adalah nasihat oleh diri sendiri.
Buat
pembaca yang belum masuk usia senja, mungkin kisah ini dapat menjadi acuan
untuk bagaimana bersikap merawat orang tua anda. Siapa tau anda termasuk orang
yang mendapat anugerah Allah berpeluang mendapat pahala diberikan orang tua berumur
panjang. Sebab merawat orang tua yang berumur panjang, adalah suatu lahan
mendapatkan kesempatan mendapat pahala yang besar, asal diiringi dengan penuh
kesabaran.
No comments:
Post a Comment