Monday 30 September 2013

LAIN LADANG LAIN BELALANG


Lain Ladang lain Belalang. Ungkapan pepatah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa tiap tempat berbeda adat istiadatnya, berbeda nilai kebenaran, berbeda sesuatu yang dinilai baik.  Pepatah itu ada sambungannya lagi  “Lain lubuk lain pula ikannya”.  Juga makna lanjutan kata-kata tadi juga adalah memperkuat arti pepatah bahwa pada dasarnya setiap tempat punya kekhasan tentang nilai kebenaran, nilai kebaikan bahkah nilai keindahan nilai kepatutan.
Sebetulnya dalam kenyataan mungkin adalah susah mencari  beda antara belalang disatu ladang dengan belalang di ladang yang lain, kalau bukan karena memang speciesnya yang dari asalnya memang beda. Begitu juga ikan di dalam lubuk, jika ikannya jenisnya sama ya samalah dia. Tapi kita akui dan rasa hormat nan tinggi atas kepiawaian nenek moyang kita menyusun kata menjadi pepatah yang dimaksud sudah susah untuk dibantah.
Sepertinya generasi kita belum lagi keluarkan redaksi pepatah-pepatah baru  untuk pusaka buat anak cucu kita. Yang santer jadi semboyan sekarang adalah “cari rezeki yang haram saja susah apa lagi yang halal”.  Apakah ini pepatah, entahlah, tetapi banyak orang yang tidak dapat membantah ungkapan ini, sebab kini orang sudah banyak yang mencari rezeki tidak dengan cara yang halal lagi. Setiap bidang pekerjaan bidang  usaha, terselip subhat dan tipu menipu, rekayasa, kedustaan. Dengan jalan begitu saja kata banyak orang sudah susah. Apa lagi kalau lurus rus akan ndak dapat apa-apa ndak dapat ikut kebanyakan orang. Tidak heran korupsi meraja lela, yang apes pada ketangkap yang bernasib baik berleha-leha sesama kolega.
Sudah banyak si istilah yang lain di zaman kini, misalnya: “Lain ditulis di pengumuman lain pula kenyataannya”. Di kantor-kantor pemerintahan pelayanan masyarakat, sering ditulis dalam redaksi pengumuman: “Jangan mengurus melalui calo”, “Jangan memberi imbalan apapun kepada petugas”. Dalam kenyataannya kalau surat-menyurat, izin mengizin diurus sendiri akan berkepanjangan, ada saja salahnya, membuat kita harus bolak balik ngurusnya membuang waktu dan tenaga. Akhirnya kebanyakan orang memilih melalui calo juga yang sudah mahir betul berapa jumlah meja yang harus “disinggahi dan disisipi”, sehingga menjadi jelas berapa total biaya yang katanya diumumkan gratis, atau hanya sesuai tariff resmi disetor ke kas Negara. “Menurut TV kan gratis”, kata seorang ngurus KTP, dengan enteng jawabannya “Urus saja di TV”.
Kembali ke pepatah, adalah anakku dalam tugasnya ke suatu daerah bertamu ke rumah sebuah keluarga. Sebagai penghormatan keluarga sahibul bait menghidangkan buah semangka, tentu sudah diiris potongan  yang pantas untuk dihidangkan. Sambil bebasa basi sekedarnya, kemudian anggota keluarga pemilik rumah langsung mengambil sepotong semangka terhidang dan memakan.   Ketika pulang, dalam perjalanan partner kerja anakku dalam kunjungan ke daerah itu, berkomentar, tentang kenapa putri tuan rumah lebih dahulu memakan semangka, bukannya mendahulukan tamu.
Di meja makan anak kami menceritakan kronologis pertamuannya dan komentar partner kerjanya itu. Kepada anakku kujelaskan, berkaitan dengan pepatah “Lain ladang lain Belalang, lain lubuk lain pula Ikannya”. Bahwa istiadat daerah yang dikunjunginya itu justru tuan rumahlah yang harus terlebih dahulu mencicipi makanan. Kalau dahulu lebih ekstrim lagi, sambil mencicipi makanan itu si tuan rumah saraya mengajak tetamunya makan sambil berucap “ayo dimakan tidak ada racunnya” dengan membuktikan memakannya sendiri.  Dahulu di daerah itu orang-orang dulu terkenal suka meracun tetamunya, dalam rangka menguji seberapa hebat kesaktian/kekebalan pendatang ke daerah mereka. Racunnya memang bukan kelompok racun berat, misalnya paling ringan orang diare, pusing kepala. Paling berat muntah darah dan batuk-batuk bertahun-tahun. Itulah sebabnya menjadi budaya di daerah itu sampai sekarang, kalau menghidangkan makanan nilai kesopanannya si pemilik makananlah mencicipi lebih dahulu.
Lain lagi dengan perihal menyuguhkan minuman, ada daerah, begitu tamu datang langsung disuguhi minuman dengan nilai kesopanan/kepatutan  menurut daerah itu, bahwa si tamu harus diberi minum lebih dahulu karena haus dalam perjalanan. Sementara menurut suatu daerah penyuguhan minuman lebih dahulu itu tidak pantas, tidak sopan karena dapat ditafsirkan mengusir tamu, agar cepat pulang. Justru di daerah penganut paham ini tamu setelah beberapa saat mengobrol baru dihidangkan minuman. Pokoknya “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”. Disatu daerah. tuan rumah merasa mendapat kehormatan dari tamunya bila minuman yang disuguhkan diminum habis, sementara di daerah tertentu menganggap yang sopan bagi tamu adalah menyisakan sedikit minuman di dasar digelas/cangkir.
Kuceritakan juga ke anak kami, ada suatu daerah kalau kita diundang makan di rumah mereka ketika mengambil daging ikan besar yang dihidangkan dipiring oval misalnya. Jika daging ikan disatu sisi sudah habis untuk mengambil daging ditubuh ikan di bawahnya, adalah tidak sopan dan tabu jika tubuh ikan itu dibalik. ”Lho kalau begitu gimana caranya” sela anak kami. Hendaklah tulang ikan yang diangkat jadi daging  ikan di bawah tulang yang besar itu dapat dimabil. “gak praktis sekali” tambah anak kami. “Memang tidak praktis”., jawabku. Itulah nilai kesopanan suatu daerah, nilai kebenaran suatu daerah, karena kalau dengan dibalik si empunya hidangan tersinggung berat, dianggap si tamu mengungkapkan bahwa bagian ikan sebelahnya kurang matang, atau tidak sama dengan bagian yang di atasnya. Sekali lagi “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”.
Banyak sekali budaya nusantara ini, bila dibukukan mungkin ribuan halaman, tiap daerah ada saja bedanya. Ini baru menyoal sedikit perihal bertamu, menyoal makanan dan minuman, belum lagi soal bagaimana harus bersikap, bagaimana harus berucap pokoknya banyak sekali soal “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain pula ikannya”. Yang penting pesanku ke anak kami, usahakan kenali daerah yang anda kunjungi sebelumnya. Pesan nenek datuk kita jika kita berkunjung ke negeri orang “Bawalah ayam betina, jangan membawa ayam jantan”.

No comments:

Post a Comment