Ibu Padmo bersama suaminya baru saja menempati rumah dinas di dalam komplek perumahan suatu instansi. Pejabat setingkat suami ibu Padmo sering benar pindah-pindah kota tempat bertugas; “mutasi” dalam istilah di instansi tempat pak Padmo berdinas.
Lumrah, setiap menempati rumah pindahan, walau rumahnya terpelihara baik oleh penghuni lama, terasa ada saja lay out yang kurang pas, bangunan rasanya masih perlu direnovasi, letak perabot sepertinya harus dirapikan. Begitulah ibu Padmo setelah agak seminggu menempati rumah dinas itu, memanggil tukang untuk merubah sedikit ruang dapur, agar lebih nyaman berkreasi masak-memasak.
Walau anak-anak tidak ikut pada mutasi kali ini, karena mereka sudah jadi mahasiswa di Jawa, namun karena tidak puas kalau setiap hari nantinya makan “beli jadi” buat mereka suami- isteri. Lagi pula masalah selera sering tidak cocok dengan racikan bumbu masakan setempat.
Pukul sembilan pagi si tukang mulai renovasi dibantu seorang kernet. Bilangan pukul setengah dua, si ibu sedang liyer-liyer agak ngantuk sambil berbenah perabot di ruang tengah rumah. Si tukang pamit untuk pulang dulu hari ini, belum dapat menyelesaikan pekerjaan. Ibu Padmo tidak punya keberanian menegor kepulangan tukang tersebut, pikirnya mungkin di daerah ini “jam kerja tukang memang sampai setengah dua”. Ketika pamit si tukang sambil beranjak pulang berbicara kepada Ibu Padmo “hari ini saya pulang dulu nanti besok saya bawakan TELA”. Spontan si ibu terpikir kepada perabot masaknya yang masih ala kadarnya, kemudian ibu menyahut “Terimaksih sebelumnya, tapi jangan banyak-banyak saya hanya ada panci kecil”. Tukangpun berlalu dan hari itu suami pulang pukul empat petang dan mereka berdua sempat makan malam bersama di rumah yang baru mereka huni itu. Laporan singkat ibu Padmo kepada Pak Padmo mengenai penukangan ruang dapur. Tak lupa menyampaikan: “Tukang disini baik-baik ya MAS, besok kita akan dibawakan TELA”. Suami berkomentar ringan. “Begituah orang di daerah, apa yang dia punya ingin diberikan orang lain, mungkin mereka punya kebun”.
Keesokan harinya pak tukang dan kernetnya datang, memikul dengan gandar dua keranjang didepan dibelakang, berisi sejumlah “BATU BATA”. Si ibu tidak melihat sama sekali di dalam keranjang itu diselipkan “KETELA” atau bahasa Jawanya “TELO”. Menggelitik dihati si ibu, untuk menanyakan kepada pak tukang. “TELA-nya terlupa ya pak”. Pak tukang terdiam sejenak dan selanjutnya menunjuk ke tumpukkan Batu Bata, “ini ibu, saya bawa TELA-nya mudah-mudahan cukup untuk dapur ini.”
Ibu Padmo baru sadar bahwa yang dimaksud dengan TELA di Kawasan Sulawesi Utara itu adalah “Batu Bata”. Tentunya tidak kena’ kalau direbus. Kesimpulan itu, hari itu juga dikonfirmasi Ibu Padmo ke tetangga sebelah yang sudah lebih lama tinggal di Manado, tak ayal mengundang tawa para ibu-ibu tetangga, selama beberapa hari, bahwa “TELA NYA TAK DAPAT DIREBUS”.
No comments:
Post a Comment