Soal
Surga dan Neraka adalah masalah iman, tak dapat di jelaskan secara tuntas
dengan contoh dan bukti nyata selama kita hidup di dunia ini. Jelas semua agama
memberikan motovasi kepada ummatnya bahwa, kelak setelah kiamat, orang-orang
yang baik dalam menjalani hidup ini dengan tekun ibadah akan mendapat ganjaran berupa masuk ke dalam Surga.
Iseng-iseng
sambil nunggu suatu antrian, seorang temanku yang udah lama tak bertemu,
bertanya / bercerita kepadaku akan perihal “Siapakah
yang lebih dahulu masuk Surga”.
Pertanyaan sulit memang. Aku pernah mendengar seorang khatib Jum’at
mengatakan:
·
Ketika seorang yang mati dalam berjuang
berperang di perang menegakkan agama, ternyata di depan pengadilah Allah,
dianya tidak masuk surga. Rupanya ketika dia berjuang, terselip niatnya adalah
untuk mendapat penghargaan sebagai pahlawan, untuk dikenang sebagai orang yang gagah berani. Orang itu
naik banding, dengan menyebut perjuangannya. Allah mengatakan bahwa engkau
sudah mendapatkan apa yang engkau inginkan. Di dunia engkau sudah diangkat
sebagai pahlawan, keberanianmu sudah dijadikan buah bibir orang yang hidup sezaman
denganmu sampai anak cucunya.
·
Ada lagi seorang, pendakwah agama, ternyata
tidak lolos ke Surga juga. Kenapa rupanya, selama di dunia dia berdakwah untuk
popularitas dan mendapatkan sanjungan dari ummat serta memperoleh manfaat berlebihan
dari dakwahnya itu. Begitu juga jawaban Allah, bahwa hal-hal tersebut sudah
diperoleh selama di dunia. Di Dunia dia mendapat sanjungan “ustadz top”, di dunia engkau sudah
populer, saking populernya engkau; undangan yang amplopnya tipis engkau
kesampingkan.
·
Tiba giliran seorang dermawan, juga urung masuk
ke surga, karena rupanya dianya selama di dunia berderma minta dipublikasikan,
agar dinilai dermawan oleh manusia. Enggan dia keluarkan hartanya kalau tidak
diliput televisi, kecil jumlah dia
berderma kalau panitia dikiranya tidak akan mengumumkannya. Keinginannya
ternyata sebagian besar telah didapat di dunia, sebagai dermawan besar, walau ada juga yang mencemooh “dermawan
pamer”.
·
Juga rupanya ahli ibadahpun, belum juga dapat
memastikan diri masuk ke surga, jika dalam ibadahnya masih terselip keinginan
pamer dan riya. Belum tentu pak Haji atau bu Hajjah yang lebih dulu masuk surga,
kalau hajinya untuk sekedar malu ama tetangga, karena semua se RT yang tua-tua
udah pada haji diapun berupaya berangkat ke tanah suci. Hajinya hanya sekedar
agar di sapa dengan sebutan Bu Hajjah dan Pak Haji. Apalagi kalau untuk
mendapatkan haji dengan dana yang kurang jelas, sama saja berwudhu dengan air
najis.
Temankupun
melanjutkan cerita, bahwa kelak di akhirat (tentu saja ceritanya rekaan
belaka). Bahwa nanti disana ketika di sidang, untuk menentukan siapakah yang
lebih dahulu masuk ke Surga. Berperkaralah
seorang Pendeta dengan seorang supir
Metro Mini yang habis minum.
Ternyata
yang lebih dahulu masuk ke Surga, adalah si Supir mabok. Lantaran dia ketika
menyetir mobilnya dalam keadaan mabok, mobil dikendalikan ngebut dan oleng,
sehingga para penumpang menyebut nama Tuhan, sebab merasa cemas, merasa takut.
Nama Tuhan disebut dengan ikhlas karena dalam keadaan takut memohon kepada Tuhan
akan keselamatan masing-masing. Nama Tuhan bergema serentak di dalam mobil.
Kenapa
Pendeta jadi lebih belakang masuk surga dari “Supir mabok”? tanyaku. Temanku
lebih jauh menjelaskan bahwa memang
Pendeta, memberikan wejangan/mengucapkan khutbah dihadapan jemaahnya.
Tetapi si pendeta ndak menyadari bahwa jemaah yang mendengarkan tidak
sungguh-sungguh mendengarkan, hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja dan tak
jarang ada yang ketiduran. Belum lagi si Pendeta, belum tentu dapat mengamalkan
apa yang di khutbahkannya, dalam pada
itu jemaahnyapun sepulang dari mendengarkan khutbah, belum tentu menerapkan
nasihat khutbah dalam kehidupan se-hari-hari.
Ooh
kalau begitu belum dapat dipastikan “Siapakah
yang lebih dahulu masuk Surga”.
Kembali
ku ingat ceramah Ustadz, bahwa zaman
sebelum ummat kini, manusia dapat hidup ratusan tahun. Tersebut kisah seorang
ahli ibadah, beribadah selama 500 tahun, tanpa menghiraukan banyak hal-hal
duniawi. Ketika di penentuan masuk Surga, maka dipanggillah ahli ibadah ini:
“MASUKLAH ENGKAU KE DALAM SURGA DENGAN/KARENA RAHMAT-KU” kata Allah Penguasa
dan Raja di hari perhitungan itu. Si Ahli ibadah protes: “Kenapa aku masuk
Surga kerena Rahmat-MU, bukankah aku telah beribadah kepada-MU selama 500 tahun,
jadi ibadahkulah memasukkan aku ke Surga”. “Baik kalau engkau minta
itung-itungan”, kata Allah.
Diperhitungkanlah ibadah selama 500 tahun, dengan nikmat yang diterima si ahli
ibadah selama di dunia. Ternyata setelah dihitung, ibadah 500 tahun itu hanya
cukup untuk meng-cover nikmat “mata” yang diberikan Allah untuk ybs.,
Bagaimana
dengan kita yang hidup di zaman kini, rata-rata hidup antara 70 han tahun dan
mungkin ibadah intensip baru dilaksanakan di usia 20 tahunan, jadi hanya 50
tahunanlah ibadah. Mungkin ibadah 50 han tahun itu, hanya dapat menutup nikmat
Allah berupa tumbuhnya rambut (bagi yang ndak botak) dan tumbuhnya kuku (bagi
yang berjari). Waluhu A’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment