Lahan
kosong disepanjang jalan didepan kediaman keluarga kami, beberapa bulan sesudah
Idul Adha, biasanya datang serombongan orang diantaranya ada berpakaian seragam
pemerintah daerah DKI. Mereka agaknya mengukur panjang jalan dan lebar tanah
kosong itu. Beberapa minggu kemudian datang lagi serombongan yang mirip, dengan
yang datang pertama, kali ini membawa bibit sekaligus menata dan menanami tanah
kosong itu. Tidak lama sesudah itu kembang-kembang ditaman kota itu bersemi
dengan indahnya. Jika kebetulan keberadaan taman kota itu melalui musim panas,
setiap subuh datang tangki air menyemprot tanaman taman agar tetap segar.
Demikian besar AGAKNYA biaya yang dialokasikan untuk penanaman dan perawatan
taman setiap tahun.
Sayangnya
itu taman yang tertata dan terawat, umurnya tak sampai setahun. Beberapa bulan
setelah Idul Adha taman mulai ditanami dan sekitar 20 harian sebelum Idul Adha,
mulai lagi orang memasang tenda diatas taman, untuk memajang Kambing dan Sapi
bakal hewan kurban. Itu taman tentu saja akan musnah, diinjak dan dilalap Sapi
dan Kambing.
Jangan
dikira tak ada larangan mendirikan bangunan dalam bentuk apapun di atas taman,
bahkan ketika tenda-tenda dibangun, spanduk larangan itupun masih terpasang,
lengkap menyebutkan PERDA yang mengaturnya. Tapi kenyataannya ketika SATPOL PP
datang, pengguna lapak Kambing/Sapi yang baru di bangun, terlibat dialog yang
sayup-sayup kudengar dari rumah “Nanti
bila sudah idul adha langsung bangunan kami bongkar dan tanaman dirapikan lagi”.
Kenyataannya idul adha-pun berlalu, taman yang tadinya tanahnya gembur, sudah
memadat terinjak Sapi/Kambing, sedangkan tanamannya berupa aneka kembang entah
kemana.
Peristiwa
ini berlangsung setiap tahun, betapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk
membangun dan merawat taman kota ini, mungkin, sekali lagi mungkin, kalau
dikalkulasi keuntungan seluruh pedagang Sapi/Kambing disepanjang taman yang
rusak, jauh lebih besar biaya pengadaan taman ketibang keuntungan mereka. Biaya
pembangunan taman dan perawatan adalah biaya pemerintah yang nota bine adalah
uang yang berasal dari rakyat.
Marketing
kambing dengan marketing Durian dikota Pointianak, ternyata ada sisi
persamaannya. Pemasaran pertama; kedua komoditas ini sama-sama digelar dijalan
yang ramai dialui orang. Kata penjual, kalau penjual dikumpulkan di suatu
tempat tertentu, dimana bukan lokasi lalu lalang orang, dikhawatirkan dagangan
mereka tidak laku.
Persamaan
kedua; marketing kambing kurban dan marketing Durian sama-sama berpicu dengan
waktu. Seorang pedagang Kambing kurban tahun ini menceritakan bahwa sehari
sebelum hari “H” dianya sudah mulai
menjual kambing tersisa dengan harga hanya sedikit untung, bahkan menjelang
sore hari tanggal sembilan Dzulhijjah sudah mulai dijual dengan harga pokok.
Kalau masih ada tersisa sampai malam, apaboleh buat dijual di bawah modal.
Penyebabnya adalah; Abang pedagang Kambing Korban yang satu ini rupanya
menerima Kambing dari peternak Kambing dengan “Putus” artinya bukan secara
konsinyasi, dianya membayar cash sejumlah kambing dengan harga sesuai
kesepakatan. Dengan Teknik ini, Kambing
yang tidak laku tak dapat dikembalikan, tak mungkin pula untuk diternakkan,
seperti di maklumi hidup di Jakarta tak punya lahan.
Marketing Durian di Pontianak:
Model
marketing Kambing ini ada persamaannya dengan pedagang Durian di kota
Pontianak. Adalah perangai Durian local Pontianak, tidak tahan disimpan lama.
Pada umumnya Durian di kota Kahtulistiwa itu digelar sebagai buah dagangan
masak dipuun, mateng di pohon. Durian jatuh alami ketanah dipungut, dikumpulkan
dan dibawa untuk dipasarkan. Tidak heran kalau citarasanya demikian enaaaak,
karena bukan Durian mateng dikarbit atau diperam. Konsekwensinya adalah si
Duren tidak bertahan lama, si Duren beberapa waktu tertentu akan merekah. Bila
sudah merekah maka cita rasa Durian menjadi sama sekali tidak enak, asam dan
getir.
Menyikapi
perangai Durian Pontianak ini, maka
pedagang Durian yang menggelar dagangannya, harus sering menghitung uang
perolehan penjualannya. Kadang terlihat sepuluh atau 15 menit sekali si pedang
menyusun duit dalam kotak hasil penjualan. Uang disusun dan terus menerus
dijumlah. Ketika Durian masih Fresh Durian dapat dijual dengan harga maksimal.
Uang dihitung terus-menerus, disusun dalam bendel yang rapi, sebendel sejuta,
misalnya. Sementara si pedagang harus tetap mengingat sudah berapa juta yang
diperoleh. Dalam pada itu terus-menerus memperhatikan berapa sisa buah Durian
yang tergelar. Jika modal sudah kembali, termasuk segala ongkos, maka sisa buah
yang ada adalah keuntungannya. Buah tersisa ini jika ada pembeli, sudah sangat
negotiable. Kadang dapat dibeli dengan harga borongan, apalagi malam sudah
mulai larut, pengunjung mungkin akan menuju sepi. Dari pada ditunggu sampai
esok hari ada harapan buah Durian sudah mulai merekah, lebih baik dijual segera
walau di bawah harga modal, karena itulah untungnya.
Tak
jarang ketika kami masih di Pontianak, sekitar pukul 10 malam turun ke lapak
Durian dengan mobil. Ketika si abang penjual Durian di tanya “Berapa sebiji” abangnya
menjawab, “Pileh ja’ dulu bang, nanti baru kite taksir”. Kamipun menumpukkan Durian
yang bagus-bagus menurut kami, hingga puluhan butir. Si abang menetapkan harga
setumpuk Durian tersebut. Harga yang ditetapkan kadang sudah murah, tapi dasar
pembeli tradisional kalau tak menawar rasanya tak afdal. ternyata setelah
ditawarpun, Durian setumpuk yang ketika dimuat dalam bagasi mobil hampir penuh
itu, dapat dibayar dengan harga yang tak seberapa. Si abang sudah menikmati
keuntungan sedangkan kita sekeluarga menikmati Durian dengan sepuasnya
sekeluarga dan handai tolan yang kita ajak menikmati malam, Durian di
Pontianak.
Marketing
Kambing hewan Kurban di depan kediaman kami di Jakarta, rupanya mempunyai
persamaan dengan Penjual Durian di Pontianak. Hanya saja kalau penjual Kambing
kurban di jalan di depan alamat kami di Jakarta merusak taman. Sedangkan
penjual Durian di Pontianak, ketika kami di Pontianak belum merusak taman,
hanya saja sampahnya lumayan banyak, agaknya merepotkan kebersihan kota.
No comments:
Post a Comment