Istilah “Kambing Hitam” sudah populer
demikian lama, sebelum kita-kita ini lahir kambing hitam yang benar-benar
seekor kambing berbulu hitam sudah ada dan istilah “Kambing Hitam” juga sudah
dipakai untuk suatu ungkapan kiasan.
Banyak orang yg mengartikan ungkapan “Kambing Hitam” adalah
suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan
tumpuan kesalahan; “me·ngam·bing·hi·tam·kan”
menjadikan kambing hitam; mempersalahkan; menuduh bersalah: sikapnya selalu menyalahkan
orang lain, padahal sebenarnya dia sendiri yg berbuat kesalahan.
Persoalannya
adalah KENAPA BANGSA KITA INI SUKA MENCARI KAMBING HITAM dalam setiap ada
permasalahan.
Agaknya ini harus diakui, bahwa selama ini sudah terlanjur salah pola
sejak masa kecil kita. Setiap hari sebagian dari kita dijejali oleh generasi
yang membesarkan sebagian dari kita, untuk terbiasa dengan sesuatu yang
mengarahkan ke model “Kambing Hitam”.
Salah satu contoh konkrit bahwa
sampai saat ini, masih sering kita dengar ketika anak disuapi makan.
Jika si anak agak rewel tidak mau makan, enggan membuka mulutnya, maka kiat
mengalihkan perhatian si anak mulai dilakukan. Si penyuap makanan mengalihkan perhatian
dengan menunjuk Cecak didinding, sebetulnya Cecak tidak ada kaitannya dengan
permasalahan si anak yang sedang tidak mau disuapi makanan, tidak ada kaitannya
dengan keengganan si anak membuka mulut. Kiat pengalihan ke cecak ini agaknya
banyak yang sukses, perhatian si anak teralih dan membuka mulut, sendokpun
masuk suap demi suap untuk menghabiskan porsi makanan tersedia.
Hal ini berlangsung terus hari kehari sampai anak ini besar dan siap
makan sendiri tanpa disuapi. Pengalihan perhatian ini juga bukan sekedar ketika
akan makan saja, tetapipun digunakan juga manakala si anak rewel, menangis oleh
sesuatu sebab yang kurang diketahui. Untuk menghentikan tangisnya, bukannya
dicari penyebab anak itu menangis, melainkan dialihkan perhatian si anak dengan
sesuatu yang lain, kadang cecak, kadang kendaraan lewat, kadang bunyi sesuatu
dan seterusnya. Teknik pengalihan perhatian ini, terus menerus diterapkan
semasa masih belum bisa ngomong, sampai beranjak besar, pelajaran itu membekas
di memori sebagian anak bangsa ini. Pusaka inipun diwarisi dan diturun persis
terus menerus, ketika si bayi tadi punya bayi lagi, terus menerus dari generasi
ke generasi. Agaknya itu membekas sampai tua dan sampai sekarang sudah menjadi
kebiasaan bahwa kalau ada suatu kesalahan dicarikanlah “Kambing Hitamnya”.
Supaya berimbang, dalam tulisan inipun harus kukemukakan bahwa budaya bangsa
kita juga mencegah perilaku mencari “Kambing Hitam” hal tersebut terbukti ada
pepatah lama yang mungkin disebagian anak muda zaman kini sudah usang dan tak
diketahui lagi kalimatnya apa lagi artinya. Itu pepatah masih tersimpan baik dalam pustaka
memoriku bunyinya begini: “KALAU DIRI TAK PANDAI MENARI, JANGAN SALAHKAN LANTAI TEMPAT BERDIRI” atau
ada yang sanat pepatahnya berbunyi: “MENARI TAK PANDAI, JANGAN MENYALAHKAN LANTAI”.
Untuk diketahui anak muda sekarang bahwa dulu lantai orang dibuat dari
papan yang ditumpangkan di atas rangka bangunan rumah (umumnya rumah waktu itu rumah
panggung). Sedangkan menari kan harus mengikuti irama gendang (sekarang musik).
Akan terlihat tidak harmonis kalau si penari menari tidak sejalan dengan irama
gendang, apa lagi jika menari berkelompok. Si penari ternyata salah menarinya
tidak sesuai irama gendang, atau jika menari kelompok tidak seragam dengan
penari lainnya. Ketika dikoreksi atau di diberitahukan penonton “kenapa tadi
menarinya salah”. Si penari menjawab “tadi lantainya ada yang lepas pakunya,
sehingga ketika diinjak menjungkit”. Itulah makna dari pepatah di atas, padahal
lantai tidak apa-apa tapi si penari menyalahkan lantai. Pepatah memesankan “jangan
salahkan lantai, kalau anda tak pandai menari”. Mengaku sajalah, kurang latihan.
No comments:
Post a Comment