Dalam suatu
kampanye, sang “jurkam”, dengan suara lantang penuh percaya diri berpidato diruang
sebuah sekolah SD di suatu desa dengan penerangan lampu petromak. Antara lain
pidato yang berapi-api itu: “Kita harus
mampu memilih wakil-wakil kita yang representative, untuk duduk dilembaga
legeslatif dan akhirnya wakil-wakil rakyat kita itu nanti akan menentukan kita
punya nasib, sebab merekalah yang nantinya akan mengangkat siapakah yang akan
menjadi pemimpin eksekutif di negeri kita ini, agar mereka memimpin kita dengan
arif, memimpin negeri kita ini dengan kreatif penuh inisiatif dan inovatif
tetapi tetap objektif”. Ini adalah kampanye pemilu sebelum jaman reformasi,
sebab Pilkada dan Pilpres belum langsung dipilih oleh rakyat.
Walau kalimat
pidato yang dikutip di atas, disampaikan dengan kalimat panjang tanpa jeda dan
senapas, karena diucapkan dengan lancar
dengan intonasi yang baik, agaknya para hadirin yang sebagian tetua kampung
itu, terpana diam dan penuh kemengertian.
Sebagian tetua
kampung yang usianya yang sudah kepala enam, didudukkan dibarisan depan dengan
kursi “sedan” (istilah di kampung = kursi yang empuk besar dan rendah, mungkin
sebangsa kursi sofa). Si jurkam sempat melirik ketika ia sedang pidato, bahwa
beberapa diantara tetua itu mengeluarkan sapu tangan dan menyeka matanya.
Agaknya mereka terharu dan bahkan ada yang menangis sambil menahan
cegugukannya.
Karena rencana
pidato yang akan disampaikan belum selesai, si jurkam terus saja meneruskan
pidatonya sampai seluruh materi tersampaikan sesuai scenario yang ditetapkan
partai untuk merebut hati rakyat. Tetapi di akhir pidato, sebagai kesimpulan
diucapkan kembali isi pidato seperti yang terkutip di atas. Langsung saja
Bapak-Bapak tua di barisan depan mengambil lagi sapu tangan dan mengusap
matanya dan diantaranya ada yang cegugukan.
Sudah menjadi
tradisi, setiap ada acara begini ada jeda isterahat untuk beramah tamah, walau
acara sudah ditutup, namun keramah tamahan bangsa kita tetap terjaga. Tamu
dihormati sambil menikmati minum atau makan walau ala kadarnya kue penganan berbahan
tepung singkong buatan kampung. Bapak dibarisan depan yang mengusik perhatian
sang jurkam, sudah pulang duluan, karena mereka umumnya tidur tidak boleh
terlalu malam. Kalau terlambat tidur dari pukul 10 han malam, nanti bakal
“kancilan” (yaitu susah tidur sampai pagi). Ujungnya bukan mustahil bakal jatuh
sakit.
Begitu para
tetua itu pulang, tidak sabar si jurkam ingin mengetahui, apa gerangan yang
membuat pak-pak tua itu pada terharu dengan pidatonya, betul-betul
mengherankan, sebab pidato yang sama juga disampaikan dengan meteri yang sama
dikota dan di desa lain. Sampai hapal si jurkam itu dengan kalimat-kalimat
pidato yang harus disampaikan. Namun tidak menemukan reaksi seperti dikampung
ini.
Iapun bertanya
dengan seorang anak muda yang menjadi panitia penyambutan jurkam, merupakan
kader partai di kampung itu. “Apa agaknya
yang membuat pinisepuh-pinisepuh kita itu terharu dengan pidato saya itu” tanya
si jurkam. Lama juga si ketua panitia tidak dapat memberikan jawaban, setelah
terjadi berapa jurus dialog. Walau si ketua panitia juga melihat kejadian itu,
karena ia duduk di kursi di belakang meja, berhadapan dengan hadirin. Akhirnya
salah seorang dari hadirin yang masih ada dalam majelis, sudah agak berangkat
tua usianya mungkin di bawah enampuluhan menjelaskan. “Begini pak, dahulu di kampung ini, pernah ada seorang guru ngaji yang
sangat-sangat kami hormati dan disayangi oleh penduduk. “Seregi guru” (sebutan
sangat hormat untuk mendiang), bernama “Abdul Latif”. Ketika Bapak
menyebut-nyebut “reperesentatif”, “eksekutif”, “legeslatif”, “Inisiatif”,
“inovatif”, “kreatif” dan “objektif”, para penisepuh itu tergugah kembali
ingatannya kepada “tuan guru” yang teramat mereka hormati dan sayangi. Mereka
mungkin menyangka bahwa Bapak kenal atau setidaknya pernah tau reputasi “tuan
guru” mereka itu. Itulah sebabnya sebagian terharu dan mungkin ada yang
menangis.”
Belakangan
istilah-istilah penuh dengan “tif” di atas banyak lagi digunakan misalnya kata
“Objective”. Yang diartikan menurut kamus bahasa adalah: “menurut kenyataan”
jadi tak boleh ditambah-atau dikurangi, bolah juga di kata arti objective “apa
adanya”. Sebagai lawan objective ialah subjective. Menurut kamus, subjective
diartikan “menurut pandangan sendiri”. Persoalannya adalah, sepertinya kita dipertotonkan
di madia bahwa agaknya “Objective” itu sendiri mengandung “Subjective”, sebab
setiap pakar sepertinya menterjemahkan menurut kenyataan itu berbeda-beda.
Kalau sudah berbeda-beda artinya tidak sesuai kenyataan, kalau sudah tidak
sesuai kenyataan kan artinya “subjective”.
Pinisepuh di
kampung diceritakan di atas mungkin sudah tiada, dan yakin kalau nanti pemilu
mendatang jurkam datang lagi ke kampung itu dengan pidato yang sama, sudah
dipahami hadirin. Tapi cerita ini memberikan pelajaran buat kita bahwa kalau
memberikan penjelasan kepada suatu lingkungan, sebagai apapun kita, apakah
sebagai jurkam, sebagai penceramah, sebagai pemberi materi disuatu kelompok
sebaiknya dipelajari lebih dahulu, atau sekurangnya dicari informasi tentang
audience anda. Selanjutnya ketika berbicara kitapun dapat menggunakan bahasa
yang dapat dimaknai oleh para penanggap kita.
No comments:
Post a Comment