Judul
di atas benaran, ini saya alami ketika masih belum sekolah, sekitar umur lima
tahunan (saya ndak ikutan
TK di kampungku waktu itu belum ada), tapi sudah mulai
“ingat-ingat lalat” (ingatan yang putus putus). Adalah nenekku, almarhummah,
seingatku tak pernah tinggal shalat, tak pernah tinggal puasa Ramadhan. Itu
sebabnya barang kali beliau pengen agar cucunya dapat melaksanakan puasa, kelak
kalau dia besar nanti. Untuk maksud tersebut beliau memotivasiku untuk berpuasa
di bulan Ramadah itu, dengan menjanjikan setiap aku sanggup puasa setengah hari
akan diberi hadiah “lima ketip” =
lima puluh sen.
Puasapun
dapat kujalankan dengan baik selama 10 hari. Walau benar-benar menderita, usus
rasanya sudah dempet. Hausnya bukan buatan, sampai untuk menyiasatinya kepala
dicelupkan ke dalam ember berisi air. Mau minum tidak berani, karena kata nenek
Allah melihat, biar kita minumnya sembunyi.
Setelah
sukses sepuluh hari, nenek memberikan tantangan lagi, “kalau kamu tahan puasa sampai
bedug magrib, hadiahnya nenek tingkatkan jadi “tiga suku”. Tiga suku = seratus lima puluh sen, jadi tiga kali
lipat puasa setengah hari. Tantangan nenek itu ke ambil, sebab mulai hari
kesepuluh, rasa haus dan lapar sudah tidak begitu mendera lagi.
Syukurlah
walau dengan berbagai ikhtiar, termasuk mandi berenang di kali, biar menjadi
segar, bermain bersama teman sebaya dan macam-macam kegiatan termasuk mencari
buah-buah hutan untuk persiapan berbuka. Seperti buah “Rukam” buah “Cengkodok”,
pentil “Tembabal” dan banyak lagi
buah-buah di kampungku yang asik bila di kenang. Untuk hiburan, mencari buah
“Gorah”, sebagai ganti kelereng. Pokoknya puasa dengan nawaitu “Tiga suku” itu sampailah ke penghabisan
Ramadhan.
Besar
sekali jasa nenekku untuk menjadikan aku tahan berpuasa, sampai sekarang masih
kuingat. Walau ketika melatih anak-anakku berpuasa, aku dan isttri tidak memotivasi
mereka dengan “uang”. Karena kami berpendapat, anak ketika usia dini jangan
dibiasakan diberikan uang.
Model anak-anak kami sangat suka makanan-makanan
tertentu sebagai makanan faporit. Masing-masing anak punya kegemaran akan
makanan yang relative ada bedanya, walau juga ada persamaannya. Setiap bulan
puasa, disiapkan hal-hal ekstra tersebut, apa saja makanan yang mereka sukai
diusahakan hadir dimeja makan sebelum buka puasa. Alhamdulillah kini mereka
juga tahan menjalankan ibadah puasa.
Tersiar
kabar di satu kota di Indonesia, sang walikota memotivasi penduduknya dengan “shalat berjamah berhadiah”. Teringat
aku dengan ide nenekku melatih aku berpuasa. Tapi nenekku belum sempat
mematenkan idenya itu, karena waktu itu dan mungkin sampai sekarang banyak
nenek-nenek melakukan hal yang sama buat cucu mereka.
Lalu
terjadilah pro kontra. Aku tetap membela nenekku karena aku “bernawaitu tiga suku”, untuk puasaku, karena
waktu itu aku belum baligh, masih balita. Bagaimana kalau orang sudah dewasa
nawaitu shalat berjamaahnya adalah mobil?. Oh……… itu para ustazdlah berkompeten
membahasnya, bukan domin kita orang awam.
Tapi
sepenggal referensi barangkali perlu diingatkan ada hadist Rasulullah dan ayat
al.Quran yang cukup relevant dengan “Nawaitu
MOBIL” ini.
SYIRIK KECIL
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ
الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ
الرِّياَءُ
“Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian ialah syirik kecil”.
Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?” Jawab
Beliau, “Riya’ ”. (H.R. Ahmad dengan sanad yang shahih)[4].
Ustadz
yang ngajar “Ikidah” di mesjid kami mengatakan, salah satu contoh syirik kecil
itu “ada orang yang shalat sunat di masjid, demikian tertib, baik shalatnya,
tetapi dalam hatinya terlintas; biar
jemaah lain melihat bagaimana baik shalat yang dia lakukan”. Bagaimana kalau
shalat nya mengharapkan hadiah. Entahlah mari kita tanya ustadz.
Selanjutnya
di dalam surat al-Baqarah 264:
264. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun
dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir[168].
|
[168].
Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak
pula mendapat pahala di akhirat
|
Memang
si, ayat ini mengenai sedekah, tapi agaknya
cocok dianalogkan buat amal yang lain,
tidak boleh karena riya yang akibatnya seperti tanah di atas batu licin
tertimpa hujan lebat.
Walahu
alam bishawab.
No comments:
Post a Comment