Ku sempat pernah berfikir, bahwa kemiskinan di dunia ini tak
mungkin ditiadakan, sebab diinformasikan Allah dalam kitab suci, bahwa adanya
orang miskin. Lantas ada orang kaya, dimana si kaya diperintahkan harus menyantuni
si miskin dengan sebagian kakayaan yang dimilikinya. Fikiran ku itu didukung
logika, bahwa kitab suci kan berlaku sepanjang masa sampai kiamat, jadi
logikapun sampai kepada kesimpulan bahwa orang miskin harus tetap ada. Kalau nanti misalnya sepuluh tahun kedepan di
dunia ini ndak ada lagi orang miskin, nah bagaimana generasi yang akan datang,
ketika dia membaca kitab suci yang di dalamnya disebut tentang orang miskin,
padahal ketika itu ndak ada orang miskin. Jadi nanti ada komentar bagi yang lemah
imannya “kandungan kitab ini, hanya kisah orang dahulu, buktinya ndak ada orang
miskin”.
Fikiran dan logika ku ini selanjutnya terbantahkan oleh
logika juga, di dalam ajaran agama (Islam), dalam banyak hal amal yang sangat
baik diwujudkan dengan “memerdekakan Budak”. Banyak denda-denda pelanggaran
pantangan agama, dengan “memerdekakan Budak”. Sampai-sampai ada fadhilah zikir
sesudah shalat wajib yaitu seperti yang dikatakan Abu Ayyub Al-Anshari, r.a.
bahwa Rasulullah pernah berkata “SIAPA YANG MEMBACA: LAA
ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH, 10 kali maka seperti orang yang
memerdekakan 4 jiwa (Budak) dari keturunan Nabi Ismail” Bulughul Maram
(terjemahan) 1992:786. Berkat anjuran
sangat kuat dari Islam untuk membebaskan Budak, walaupun ketika itu masih
dilegalisir, berangsur-angsur perbudakan hapus di negeri-negeri Islam dan
Alhamdulillah sekarang di duniapun kini hapus perbudakan. Sejarah harus mengakui bahwa pelopor
pembebasan Perbudakan diawali oleh ajaran Islam.
Sandaran logika inipun, meyakinkan kita bahwa kemiskinanpun
akan tertuntaskan di dunia ini, asalkan semua pihak terutama orang kaya mau
menunaikan kewajibannya sebagai orang kaya, yaitu membagi kan sebagian rezeki
yang diperolehnya kepada orang miskin. Semua yang wajib zakat, menunaikan
zakatnya dan dikelola dengan baik oleh badan yang jujur, maka miskinpun akan
dapat dituntaskan, bukan sebaliknya kemiskinan ditetaskan. Habisnya kemiskinan
ini bukan hal yang belum pernah terjadi, sejarah mencatat bahwa di zaman ke Khalifahan,
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak terdapat orang miskin, sehingga tidak
seorangpun menjadi mustahiq penerima zakat. Orang semua berzakat dihimpun di
Baitul Mal, penggunaannya untuk kepentingan kemajuan negara, membangun infrastruktur.
Salah satu syarat tentunya adalah pemimpin yang adil, hidup sederhana dan taqwa
kepada Allah.
Sekarang tibalah giliran kita mengukur, sampai kemana sudah
kepedulian kita kepada orang miskin yang sering diistilahkan kaum Duafa, kaum
lemah, agar cita-cita kitab suci menghapuskan kemiskinan dapat terwujud.
Memenuhi undangan kaum lemah
Banyak diantara kita bila datang kondangan ke kaum lemah,
seringnya memberikan sumbangan ke dalam “tempayan sumbangan” dengan uang,
banter lima digit. Jarang yang memasukkan ke tempat sumbangan dengan enam digit.
Sementara itu bila yang mengundang adalah orang terkemuka dan kaya maka amplop yang diberikan bukan saja lembaran
enam digit kadang beberapa lembar diikuti kartu nama. Apa yang kita lalukan ini
agaknya terbalik. Mestinya orang lemahlah yang diberi sumbangan lebih banyak.
Sedangkan orang terkemuka dan kaya, mereka sudah berkecukupan untuk apa lagi
ditambah oleh kita, cukup berikan sekedarnya saja.
Belanja di pasar tradisional
Sangat getol menawar, sebegitu rupa kadang sampai si penjual
dalam posisi yang mengalah, karena daripada tidak habis terjual, barang
dagangannya dilepas walau untung sangat tipis bahkan rugi dari pada akan layu
atau kedaluarsa. Dalam pada itu jika
belanja di super market, tanpa tawar menawar, padahal super market milik orang
kaya dan perekonomiannya kuat.
Membayar jasa tukang sol sepatu, Tukang jahit keliling
Seharian tukang sol sepatu berkeliling kampung memikul
alat-alatnya sambil mulutnya berteriak has “Sol Sepatu”. Kita yang bersangkutan
minta menjahitkan atau mengelem sepatu yang terbuka solnya padahal keadaan
sepatu masih baik. Jasa tukang sol tersebut ditawar habis, sampai akhirnya si
tukang sol yang lemah posisi tawarnya, harus menyerah dengan tawaran pemilik
sepatu, daripada ndak ada kerjaan hari ini “belum dapat penglaris” katanya. Hal
serupa bila menjahitkan retsleting celana rusak atau ada pakaian anda perlu d
jahit dengan penjahit keliling. Bandingkan bila anda membayar jasa parkir
ketika masuk di mall, tanpa dapat menawar anda harus membayar puluhan ribu karena
parkir anda sekian jam, hebatnya lagi kalau mobil anda parkir 4 jam lebih
beberapa menit maka dibeberapa tempat parkir dihitung menjadi 5 jam. Andapun
tak pernah dapat protes, padahal pengelola parkir dan gedung adalah orang
kaya-raya.
Antara Pizza dan Makanan Gerobak
Kitapun juga lebih suka memesan dengan telepon dari rumah
untuk diantarkan sekotak Pizza, ketimbang menghentikan Makanan Grobak yang didorong
oleh si ekonomi lemah. Padahal mereka lebih butuh akan lakunya dagangan mereka.
Sedangkan outlet Pizza dikelola pengusaha kaya dan harganyapun lebih mahal
ketibang makanan grobal, semisal sate, siomay, ketoprak dll. Seharusnya minimal
untuk menerapkan kepedulian kita kepada yang lemah, dari pada membeli Pizza
mendingan lariskan pedagang kecil. Sudahkan anda peduli dengan mereka, jika anda
karena sesuatu penyakit sehingga ada larangan makan dari makanan gerobak,
setidaknya dalam hati anda berdo’a semoga orang yang mencari rezeki halal ini,
dimudahkan Allah, dilariskan dagangannya. Ketahuilah do’a anda yang tak diketahui
orang yang di do’akan lebih manjur, karena dilaksanakan dengan tulus.
Itu sebagian kecil contoh sikap sebagian kita terhadap orang
lemah. Semakin terbalik cara bersikap kita terhadap orang lemah ini, maka
semakin jauhlah kita dapat MENGENTASKAN kemiskinan dan bahkan mungkin-mungkin
malah dapat MENETASKAN KEMISKINAN.
Semoga
kepedulian kita kepada pihak yang lemah selama ini dapat dikoreksi, bila
kebetulan sebagian kita berperilaku yang kurang berpihak kepada yang lemah dan
bahkan dermawan kepada pihak yang kuat. Baik sama kita renungkan apakah
perilaku kita itu tepat. Wallahu a’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment