Sebuah rumah
sakit di Bandung, menyiapkan sejumlah 30an kamar untuk merawat terdampak caleg.
Periode pemilu lalu rupanya telah juga disiapkan, ternyata memang persiapan itu
bermanfaat, benar juga seusai pengumuman caleg periode lalu ada caleg yang
gagal, goyang jiwanya. Betapa tidak
menggoncang jiwa, ketika men-caleg udah abis-abisan, sawah terjual, rumah
tergadai simpanan terkuras, buat modal. Taunya harapan menjadi orang
berpenghasilan tinggi dan terhormat tak menjadi kenyataan.
Sepertinya kenyataan
penghasilan tinggi dan hidup mewah bagi legislatif, kedepan sudah harus
dipikirkan untuk dikoreksi, menjadi lebih wajar. Misalnya seorang anggota legislatif
distandarkan berpenghasilan gaji yang setara/setinggi-tingginya sama dengan
pegawai pemerintah golongan pegawai karier tertinggi. Bila standar penghasilan
sedemikian, diharapkan tidak memicu nafsu orang menggebu untuk menjadi anggota
legislatif.
Kalau sudah
dikondisikan demikian orang men-caleg
betul-betul hanya karena pengabdian untuk memperjuangkan nasib rakyat, bukan
untuk mencari kesenangan hidup. Sebab dengan gaji seperti pegawai pemerintah
biasa, maka sejak semula mereka para caleg sudah dapat membayangkan bahwa
dengan penghasilannya nanti tidak dapat bermewah-mewah. Bakal timbul semboyan
seperti orang tua kita dulu “Kalau mau hidup mewah jangan berjuang untuk
rakyat” tapi jadilah pengusaha. “Berjuang untuk rakyat adalah pengabdian”.
Fungsi legislatif
dibatasi hanya untuk membuat undang-undang dan ketentuan peraturan dan mengawasi
pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang dibuatnya. Wewenang untuk
ikut mengangkat pejabat negara, wewenang
untuk ikut menentukan anggaran, sebaiknya tidak lagi dimiliki legislatif.
Wewenang ikut menentukan pejabat negara, ikut menentukan anggaran, wewenang
inilah agaknya berpotensi “di ketiaknya” ada celah kong kalikong.
Demi mengejar
penghasilan yang menggiurkan itulah banyak orang yang berusaha habis-habisan
tadi dengan harapan kelak setelah “jadi” beberapa bulan sampai setahun modal
sudah kembali. Kalau sudah begini, bukan lagi rakyat yang diperjuangkan, tapi
rakyat hanya digunakan sebagai pengantar untuk menuju kursi legislatif.
Usaha
sebagian caleg ini, kadang menggelikan hati dan tumben-tumben kata orang
Jakarta. Misalnya setelah mencaleg, tadinya bukan main tidak perdulinya dengan
tetangga, kini jadi mau duduk masuk ke rumah
tetangga yang miskin sampai nlosor duduk ditikarpun menjadi sudi. Tadinya
jarang ikut shalat berjamaah di masjid, kini menjadi rajin shalat berjamaah,
duduk di shaf depan. Tadinya tak pernah muncul jika ada tetangga yang meninggal
dunia, kini selalu datang walau tak diundang resmi, hanya diumumkan saja melalui
pengeras suara masjid, sudah datang paling awal ke pertemuan takziah warga
kemalangan dan minta pula untuk ikut memberikan sambutan. Isinya sambutan tentu
tersisip pesan pilihlah saya. Model caleg seperti ini apakah nanti akan
memperjuangkan nasib rakyat, atau rakyat dimintanya untuk memperjuangkan
dirinya.
Kini
kewenangan disebut di atas (menentukan pejabat Negara dan Anggaran) sudah
terlanjur melekat di legislatif. Untuk
menanggalkannya, harus melalui keputusan mereka, legislatif dan tentu saja
tidak dapat diharapkan mereka akan rela menanggalkan kewenangan strategis itu.
Tentu
para pakar ekonomi, hukum dan sosial dapat memikirkan cara yang terbaik
menentukan kepada instansi yang tepat untuk fungsi anggaran dan fungsi
pengujian pejabat negara. Juga para negarawanlah yang dapat memikirkan
bagaimana cara menanggalkan wewenang strategis itu, kalau legislatifnya sendiri
tentu akan keberatan menanggalkan wewenang tersebut, justru di wewenang itulah mungkin
kunci peluang bernegosiasi.
Sebagai
orang awam saya sampaikan, mungkin perlu dipikirkan bahwa kekuasaan kehakiman
tertinggi, juga harus dipilih rakyat dan merekalah nantinya diberikan amanah
untuk menguji “kelayakan dan kepatutan” calon yang diajukan Presiden seseorang
untuk diangkat menjadi pejabat penting negara seperti KPK, BPK, jabatan
Kapolri, Panglima TNI, dan jabatan mengurus BUMN dan lain-lain. Sedangkan
fungsi anggaran serahkan ke masing-masing kementerian diawasi nanti oleh BPK.
Duta besar tidak perlu melalui DPR, langsung hak presiden.
Sejalan
dengan dikuranginya kewenangan itu maka penghasilan DPR pun tidak perlu sebesar sekarang. Fasilitas istimewa
mereka tidak perlu menyedot anggaran negara begitu besar seperti sekarang.
Pensiun untuk seseorang setelah menjadi anggota DPR ditiadakan. Dengan demikian
semoga seseorang bila berniat menjadi anggota DPR, :”nawaitunya” adalah bukan
mencari hidup, bukan lagi memperbaiki kehidupan diri dan keluarga, tetapi
menyiapkan diri mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Mengumpulkan pundi
pahala untuk dibawa ke alam baka. Kalau keadaan ini tercipta kita yakin orang
tidak lagi berebut jadi anggota legislatif. Orang yang mencaleg betul-betul
orang yang sudah tidak terlalu memikirkan kepentingan harta, tidak terlalu
bergayut pada kepentingan dunia, dalam benaknya bagaimana berbuat untuk rakyat
sebagai bekal menuju akhirat.
Agaknya
rumah sakit perawatan caleg gagal ini, juga harus dipersiapkan setiap daerah
pemilihan. Belajar masa lalu, ada caleg yang gagal kemudian stress. Si caleg
minta diklentek karpet yang sudah disumbangkannya ke sebuah masjid. Hal itu karena setelah penghitungan suara
disekitar masjid yang dikiranya lumbung suaranya tidak memilih dirinya. Tidak
sedikit caleg stress seperti divisualisasikan dalam senetron, seorang pelakon
mendandani dirinya dengan pakaian seorang kepala daerah tapi pembicaraannya
tidak terkontrol. Kisah sinetron ini mungkin terinspirasi kenyataan banyak
orang menjadi stress jika harapannya untuk menduduki jabatan tertentu tidak
menjadi kenyataan.
Tidak
salah, bila seseorang menampilkan diri untuk dipilih jadi pemimpin, tetapi
betul-betul motivasinya, niatnya untuk melakukan perbaikan, untuk memperjuangkan
kemaslahatan ummat. Motivasi dan niat bukan sekedar diucapkan untuk memancing
simpati pemilih, tetapi benar-benar akan dilaksanakan kelak, setelah terpilih.
Bukan sebaliknya sejak awal niatnya memodali pencalonan diri sudah terbayang
keuntungan yang akan diperoleh. Inilah biang korupsi, yang kini menjadi-jadi di
setiap lini.
Bagi
pemilih, sebenarnya sudah dapat menilai sejak awal, siapakah calon wakil mereka
yang diprediksi akan menjadi wakil yang baik mungkin patut jadi acuan adalah:
Akhlaq,
terindikasi dalam pergaulan bermasyarakat, berperilaku yang menyenangkan.
Misalpun dianya adalah orang kaya, tidak sombong. Umpamanyapun dianya
biasa-biasa saja dan mungkin tidak begitu berpunya tapi kehidupan mereka tidak
menjadi beban masyarakat.
Beriman
dan bertaqwa. Karena iman saja tidak cukup, jika tidak taqwa. Taqwa bukan hanya
slogan, tetapi secara lahiriah terlihat yang bersangkutan taat melaksanakan
perintah agamanya.
Punya
kemampuan pribadi yang mumpuni, dalam artian biarpun tidak berpendidikan
tinggi, tapi punya wawasan yang luas. Terindikasi bila yang bersangkutan
mengemukakan pendapat atau berpendapat tentang sesuatu masalah, cukup dapat
dipahami dan masuk akal. Sementara itu bila dalam pergaulan tidak hendak menang
sendiri, mau menerima pendapat orang lain.
Kehidupan
rumah tangga mereka, dinilai baik, terindikasi dari anak istri dan keluarga mereka,
tidak ada yang terlibat kriminal, tidak ada yang terlibat suka meracuni diri
dengan minuman keras dan apa lagi narkoba.
Kalau
sudah terpenuhi syarat di atas, maka serahkan pilihan anda kepada yang
menciptakan alam ini. Semoga kedepan mereka para wakil rakyat mau memperbaiki
sendiri system yang ada sekarang. Sebab perbaikan yang paling cepat dapat
dilakukan adalah dari dalam diri sendiri ketimbang dari luar. Semoga kedepan
tidak lagi wakil rakyat kita dibiayai rakyat untuk rekreasi keluar negeri.
Merekapun sadar sendiri bahwa dengan teknologi sekarang ini banyak data sudah
dapat diperoleh dari dalam kamar tak perlu kunjungi “negeri orang”, mendatangi
lokasi sumber data dengan dalih “belajar
dengan membanding”.
No comments:
Post a Comment