Ketika
seorang Professor sedang berceramah di sebuah masjid, jamaah tertua sebagai
audience dari kursinya dia mengajukan pertanyaan. Begitu siriusnya kakek yang
usianya sudah di atas 80 tahun ini bertanya kepada penceramah. Yang menarik
buat ku selain materi pertanyaannya begitu didasari ingin minta kejelasan,
tetapi yang sangat terkesan istilah yang beliau kemukakan “SAYA INI HANYA NGAJI
KUPING”. Jamaah shalat Magrib dan sekaligus Isya itu, bermaksud bahwa dirinya
bukanlah orang berasal dari sekolah agama. Pengetahuan agama yang diperoleh
beliau, sampai usia begitu sepuh didapat
dari hanya mendengar, makanya beliau mengistilahkan dianya “NGAJI KUPING”.
Mungkin
bukan hanya Kakek ini; yang NGAJI KUPING, sebab tidak semua pemeluk agama.
sedari kecil sekolah agama. Tidak semua kita masuk pesantren. Sebagian besar
kita sekolah umum mulai SD (dulu SR), SMP, SLA perguruan tinggi (S1, S2 dan
S3). Tidak heran maka pengetahuan dasar agama sebagian besar kita, sekali lagi
sebagian besar (bukan semua) kita adalah NGAJI KUPING. Sebagian lagi ada juga
disamping Ngaji Kuping, ditambah dengan ngaji mandiri, melalui mendalami
sendiri buku-buku agama. Atau ada juga masa kecil oleh ORTU dimasukkan
Madrasah. Dua kelompok disebut terakhir, kadang mempunyai pemahaman mengenai
agama mendekati orang yang secara formal sekolah sedari kecil di sekolah agama.
Tidak jarang orang NGAJI MANDIRI + NGAJI KUPING ini berprofessi sebagai dokter,
sebagai insinyur, ahli Enonomi ahli Manajemen dan berbagai ahli lainnya, tetapi
mereka bukan saja “sedangan” pengetahuan agamanya sehingga juga sanggup
menularkan pemahamannya kepada jamaah dengan berceramah mengenai agama. Khusus
agama Islam tidak ada pembatasan yang boleh ber-khutbah hanya Kiayi atau
ustadz, tidak juga ada larangan seorang Muslimah atau Muslim memberikan tauziah
atau pengertian agama, asalkan yang bersangkutan dapat menyampaikan sesuai
dengan acuan utama agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist (yang dapat diurutkan
keasliannya). Tentu saja kalau sekedar NGAJI KUPING dan tidak menemukan
konfirmasi dengan referensi Al-Qur’an dan hadist dimaksud janganlah ikut dulu
men share kepada pihak lain. Namun demikian sesama PENGAJI KUPING ini juga
jangan cepat-cepat mendebat, seseorang yang berceramah atau membaca tulisan
seseorang, dengan mengemukakan hasil dari NGAJI KUPING juga. Terima dulu kalau
sedang mendengar informasi dari penceramah atau tulisan, baru kemudian mencari
referensinya, sebab kalau diibaratkan ilmu agama ini seluas lautan,
jangan-jangan ilmu yang kita miliki
barulah seperti sisa air di dasar gelas yang sudah habis diminum.
Nabi
Muhammad s.a.w. berpesan sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.
Sementara
Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran (surat 3) ayat 104.
Ngaji KUPING
Ketika
seorang Professor sedang berceramah di sebuah masjid, jamaah tertua sebagai
audience dari kursinya dia mengajukan pertanyaan. Begitu siriusnya kakek yang
usianya sudah di atas 80 tahun ini bertanya kepada penceramah. Yang menarik
buat ku selain materi pertanyaannya begitu didasari ingin minta kejelasan,
tetapi yang sangat terkesan istilah yang beliau kemukakan “SAYA INI HANYA NGAJI
KUPING”. Jamaah shalat Magrib dan sekaligus Isya itu, bermaksud bahwa dirinya
bukanlah orang berasal dari sekolah agama. Pengetahuan agama yang diperoleh
beliau, sampai usia begitu sepuh didapat
dari hanya mendengar, makanya beliau mengistilahkan dianya “NGAJI KUPING”.
Mungkin
bukan hanya Kakek ini; yang NGAJI KUPING, sebab tidak semua pemeluk agama.
sedari kecil sekolah agama. Tidak semua kita masuk pesantren. Sebagian besar
kita sekolah umum mulai SD (dulu SR), SMP, SLA perguruan tinggi (S1, S2 dan
S3). Tidak heran maka pengetahuan dasar agama sebagian besar kita, sekali lagi
sebagian besar (bukan semua) kita adalah NGAJI KUPING. Sebagian lagi ada juga
disamping Ngaji Kuping, ditambah dengan ngaji mandiri, melalui mendalami
sendiri buku-buku agama. Atau ada juga masa kecil oleh ORTU dimasukkan
Madrasah. Dua kelompok disebut terakhir, kadang mempunyai pemahaman mengenai
agama mendekati orang yang secara formal sekolah sedari kecil di sekolah agama.
Tidak jarang orang NGAJI MANDIRI + NGAJI KUPING ini berprofessi sebagai dokter,
sebagai insinyur, ahli Enonomi ahli Manajemen dan berbagai ahli lainnya, tetapi
mereka bukan saja “sedangan” pengetahuan agamanya sehingga juga sanggup
menularkan pemahamannya kepada jamaah dengan berceramah mengenai agama. Khusus
agama Islam tidak ada pembatasan yang boleh ber-khutbah hanya Kiayi atau
ustadz, tidak juga ada larangan seorang Muslimah atau Muslim memberikan tauziah
atau pengertian agama, asalkan yang bersangkutan dapat menyampaikan sesuai
dengan acuan utama agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist (yang dapat diurutkan
keasliannya). Tentu saja kalau sekedar NGAJI KUPING dan tidak menemukan
konfirmasi dengan referensi Al-Qur’an dan hadist dimaksud janganlah ikut dulu
men share kepada pihak lain. Namun demikian sesama PENGAJI KUPING ini juga
jangan cepat-cepat mendebat, seseorang yang berceramah atau membaca tulisan
seseorang, dengan mengemukakan hasil dari NGAJI KUPING juga. Terima dulu kalau
sedang mendengar informasi dari penceramah atau tulisan, baru kemudian mencari
referensinya, sebab kalau diibaratkan ilmu agama ini seluas lautan,
jangan-jangan ilmu yang kita miliki
barulah seperti sisa air di dasar gelas yang sudah habis diminum.
Nabi
Muhammad s.a.w. berpesan sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.
Sementara
Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran (surat 3) ayat 104.
Waltakumminkum ummatuyyad’una
ilalkhairi wayakmuruu nabilma’rufi wayanhauna ‘anilmunkari wa ulaa ika humul
muflihuna.
DAN HENDALAH ADA DI ANTARA KAMU SEGOLONGAN UMAT YANG
MENYERU KEPADA KEBAJIKAN, MENYURUH KEPADA YANG MA'RUF DAN MENCEGAH DARI YANG
MUNKAR (SEGALA
PERBUATAN YANG MENDEKATKAN KITA KEPADA ALLAH; SEDANGKAN MUNKAR IALAH SEGALA
PERBUATAN YANG MENJAUHKAN KITA DARI PADA-NYA). MEREKALAH ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG.
oleh karena itu, setiap orang berhak untuk masuk ke golongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf mencegah dari yang
munkar. Golongan itu adalah orang yang siap memberikan keterangan, memberikan
tauziah tentu menurut kadar kemampuannya.
Sementara
itu ulama panutan Imam
Syafi’i saja pernah mengatakan.
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah
pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan,
maka itulah pendapatku.”
“Jika kalian
mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah
pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah
sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”
“Setiap masalah yang di sana ada
hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan
dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi
baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”
“Kalau ada hadits shahih, maka
itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke
(balik) tembok.”
Kalau begitu, konon lagi kita yang
hanya NGAJI KUPING dan ditambah pengetahuan secara mandiri, kalaulah masih
disana sini ada kekurangan itu wajar, sedangkan Iman Syafi’i yang demikian
hebat kajiannya masih mengatakan seperti hal dikutipkan di atas. Tapi kita
harus berni berbuat atas perintah surat Ali-Imran ayat 104 “supaya ada segolongan
umat yang menyeru………….”. Menjalankan juga pesan Nabi “Sampaikan dariku walau
hanya seayat”. semoga Allah senantiasa membimbing kita semua kejalan yang di
redhai-Nya. Amien.