Termasuk
diriku sudah sering membuat tulisan mengenai koruptor, dengan berbagai persi.
Semuanya merupakan kekecewaan atas perbuatan tercela tersebut, yang melumpuhkan
sendi-sendi kehidupan Masyarakat. Tak kurang dalam tulisan orang-orang mengenai
sindiran terhadap koruptor, membandingkan kehidupan mereka (koruptor) yang
penuh kecukupan tetapi masih juga merasa kurang puas dan menimbun kekayaaan
dengan jalan tak halal tersebut.
Pertanyaan,
apakah anda para penulis cercaan terhadap koruptor termasuk saya, bila punya
kesempatan korupsi, misalnya jadi pejabat, akan bersih dari perbuatan itu.
Jawabnya mungkin ada tiga:
Pertama;
Kapan lagi kesempatan tak akan terulang,
untuk jadi pejabat atau berkedudukan berpeluang korupsi, tidak sedikit biaya
yang harus dikeluarkan. Tentu tahun-tahun pertama sekurangnya mengembalikan
modal, tahun-tahun kedua memetik keuntungan. Tahun-tahun ketiga sampai kelima
menumpuk modal lagi untuk bertahan.
Kedua;
Ketika ingin merebut tempat tersebut kan harus menebar janji, nanti tidak
korupsi. Kalau ketahuan korupsi apa kata dunia yang sudah mencatat tebaran
janji. Yaaah bilapun korupsi jangan sampai menyolok. Kata orang bijak “pandai
makan pandai pula menyuci piring”.
Ketiga:
Sejak semula bertekad untuk tidak korupsi, ketika mencalonkan diri jadi
pejabat, kalaupun berbiaya, biaya sendiri dan memang sudah diniatkan, biar
habis juga ndak apa-apa agar terjaga nama sampai keanak cucu. Motif jadi
pejabat bukan untuk mencari harta, tapi benar-benar untuk mengharumkan nama
keluarga, supaya tercatat pernah menduduki jabatan prestisius, alasan dunianya.
Alasan akhiratnya lebih dari itu, untuk mencari keredhaan Allah.
Ulasan jawaban pertama:
Benar,
bahwa kesempatan untuk jadi pejabat publik (yang dipilih rakyat) di Indonesia,
tidak mungkin gratis, sekurangnya biaya-biaya kampanye, mulai dari beli kaos,
pasang umbul-umbul dan balego, spanduk, penggandaan brosur, konsumsi setidaknya
buat tim sukses. Belum lagi menyewa “perahu”, yang akan ditumpangi mengantarkan
ke pencalonan. Kalau tak punya modal, keinginan menjadi pajabat publik tersebut
biarkan tetap menjadi mimpi.
Modal,
sesuai kelaziman dalam niaga, dapat berwujud modal sendiri dan juga dimungkinkan
modal asing. Modal asing dapat berupa pinjaman, juga tak mustahil ada pihak
yang siap jadi sponsor. Manusiawi jika modal sendiri harus kembali berikut
untung yang mengikutinya. Nah kalau modal asing tentu benar-benar harus kembali
berikut jasanya. Itulah sebabnya wajar dan manusiawi jika sebagian pejabat yang
menjabat karena dipilih rakyat, berikhtiar untuk mengembalikannya. Sayangnya
biaya itu dalam kalkulasi dari penghasilan legal (gaji resmi) sepertinya tak
masuk akal akan pulang modal. Itulah sebabnya jalur illegal, terpaksa digunakan
untuk mengembalikan modal, baik modal sendiri apalagi modal asing. Khawatir
kalau pengembalian modal sendiri dan modal asing itu bila hanya sepriode hanya
sedikit diatas breakeven, maka diupayakan sekuat tenaga untuk sepriode lagi
dalam rangka cari untung.
Ulasan
jawaban kedua:
Kelompok
ini, korupsi mungkin ada juga sikit-sikit, sekedarnya untuk nutup ongkos
jabatan, untuk nutup ongkos mendapatkan jabatan. diakui atau tidak bahwa untuk
mendapatkan jabatan paling tidak harus mendapatkan beberapa “TANGAN”:
·
Uluran TANGAN, para pemilih, agar mau menusuk
tanda gambar ybs.
·
Agar pemilih mau memberikan suaranya diperlukan
Buah TANGAN kepada mereka
·
Untuk legal menjadi pejabat publik harus
diangkat dengan keputusan memerlukan tanda TANGAN
Jadi
bagaimanapun tetap melalui TANGAN-TANGAN yang memerlukan buah TANGAN yang harus
dipersiapkan, untuk mempersiapkannya diperlukan biaya buat ongkos jabatan.
Pihak
dengan alasan ini, melakukan korupsi ala kadarnya sesuai keperluan, supaya
biaya-biaya jabatan dalam berjalan menjalankan jabatan tidak mengorbankan hasil
jabatan legal. Semboyan mereka bahwa korupsi adalah “uang setan”, lantas tak
apalah kalau disalurkan kepada “Iblis”, yang menggerogoti minta upeti atau
minta sangu selama dia jadi pejabat. “Uang setan” biar “Iblis yang makan”, asal
“uang setan” itu tidak dinafkahkan buat diri dan keluarga.
Komentar
jawaban ketiga:
Semula
niat baik, belum pasti dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai referensi kita
bahwa:
Manusia
memang berpotensi untuk menjadi baik dan buruk, seperti diinformasikan pencipta
manusia dalam Al-Qur’an surat Asy-Syams
ayat 8
“maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”
Semula si “manusia” memang berniat baik, akan tetapi dalam
perjalanan, kerena memang manusia sudah di disian pencipta manusia berpontensi
untuk menjadi fasik atau kelakuan yang tidak baik, perilaku tidak terpuji,
perilaku serakah, perilaku tamak, perilaku angkara murka, bengis tak kunjung
puas. Sementara manusia juga berpotensi untuk menjadi jujur, menjadi
berperilaku terpuji, berperilaku jujur, dan segala macam perilaku kebaikan atau
takwa.
Sementara itu memang Syaitan selalu mengintai dari berbagai jurusan,
dari atas, dari bawah dari samping dari dalam dan dari luar. Kerena memang
Syaitan mendapat wewenang untuk menggoda manusia sampai waktu yang ditentukan,
kecuali orang yang muhlisin. Surat Shaad ayat 83
“kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”.
Jika
tidak kerena bantuan Allah tak seorangpun dapat terhindar dari godaaan Syaitan.
Surat An-Nur ayat 20.
“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa
azab yang besar)”.
Konsep Islam, untuk menghindari segala bentuk keburukan, maka harus
ada system yang mampu untuk mencegah terjerumusnya manusia ke lembah nista
menjadi koruptor sebelum apa boleh buat harus korupsi.
Disekitar 2003 saya pernah menlusuri perjalanan kayu di sebuah sungai
di Indonesia. Usai memberikan pelatihan ekspor di suatu daerah, seorang
pengusaha penggergajian kayu memberitahukan bahwa nanti sore akan pergi ke
lokasi dihulu sungai untuk mengurus rakit kayu mereka karena tertahan di suatu
kawasan kabupaten. Saya ikut dalam rombongan pengusaha tersebut dengan speed
boat kecepatan tinggi. Sampailah kami di suatu Kabupaten tepian sungai alur ketiga dilalui perjalan kayu. Rupanya 17
rakit kayu yang berasal dari kabupaten A. itu telah lolos dari dua Kabupaten.
Kini nyangkut di Kabupaten D. Al hasil nyangkutnya itu karena memang pihak
pengusahapun salah. Mereka membahwa 17 rakit kayu, hanya dilengkapi dokumen
(dengan demikian bayar rettribusi untuk pemasukan negara), kurang dari
sepertiga Jumlah kayu.
Petugas di Kabupaten-Kabupaten yang dilalui, mau meloloskan
rakit-rakit itu asalkan bagi untung dari Jumlah rettribusi yang kurang dibayar.
Sementara menurut pihak pengusaha, kalau jujur-jujuran mendokumeni semua rakit,
bukannya untung malah mereka buntung, sebab toh setiap lewat juga “di pak
Ogahi”. Jadi biar sekalian, untung-untungan bayar rettribusi dibawah tangan.
Cuma kadang negosiasi rettribusi bawah tangan ini ada yang alot. Kealotan ini dikerenakan rupanya Kabupaten D
minta Jumlah yang cukup besar. Kalau dituruti, maka untung akan tipis sekali,
mungkin bahkan rugi karena sudah membayar “Pak Ogah” di Kabupaten A. B dan C.
Keadaan itulah maka suruhan BOS harus menghadap pembesar yang
berwenang di Kabupaten D malam itu dan kebetulan mengajak saya. Sesampainya di
Kab. D. saya diajak untuk ke daratan kira-kira 2 KM dari tepian sungai untuk
menghadap “pejabat”. terjadi negosiasi besaran sekian juta. Oleh suruhan Bos, setelah tawar menawar
disepakati suatu Jumlah, tetapi tidak dapat dalam bentuk cash, dalam selembar
cek.
Sementara ojek di ujung malam itu mengantar suruhan Bos ke tepian
sungai, saya masih harus menunggu di ruangan “pejabat”. Pejabat menanyakan
identitas dan asal saya. Saya jelaskan bahwa hubungan saya dengan pengusaha,
adalah karena saya diundang untuk memberikan pelatihan, asal dari Jakarta. Beliau
menceritakan bahwa mereka tidak mau kalah dengan Kebupaten lainnya yang dilalui
sungainya oleh kayu tak bayar rettribusi yang benar itu. Mereka mendapatkan
bagian, kami juga harus dapat. Yang menarik tidak secercahpun anggapan para
pelaku penerima hasil “transaksi” bahwa perilaku mereka itu menyimpang. Sepertinya
apa yang dilakukan itu sah-sah saja.
Sementara menunggu kadatangan penjemputku dari daratan ke pinggir
sungai tempat bertambat speed boat kami, seorang yang masih muda belia,
mempersilahkan saya keruangannya. Mungkin dia ingin juga curhat kepada saya,
setelah atasannya sekilas ngobrol dengan saya. Pemuda ini rupanya baru
limatahun terakhir lulus universitas menyandang gelar S1. Dianya adalah
diterima sebagai pegawai di instansi atasannya itu. Ini pemuda mengaku terus
terang, bahwa keterlibatannya adalah “apa boleh buat, mau bagaimana lagi” ,
sebab kalau tidak mau ikut, kelangsungan kariernya akan terhenti, mungkin
dipecat, sedang dia sudah beranak beristri. Lebih jauh pemuda ini mengatakan,
bahwa selama dia masih menjadi mahasiswa, dia paling depan dibarisan kalau ada
demonstrasi mengecam korupsi. Tapi setelah masuk ke dalam sistem dianya terikut
dalam pusaran korupsi tak mungkin untuk keluar, kalau masih mau kerja.
Menyadari sifat manusia yang
berpotensi dua tersebut di atas, yaitu berponsi menjadi takwa dan berpotensi
fujur atau curang, koruptor, maka Konsep Islam ialah jangan mendekati lokasi
tempat terjadinya kejahatan misalnya perzinahan terkenal dengan “La Takrabu Zinna”. Ini bukan berarti si
pemuda tadi jangan masuk jadi pegawai tempat korupsi, tetapi ialah bagaimana
pihak penguasa membuat suatu sistem agar tidak mungkin dilakukan korupsi. Gaji
besar bukan solusi tetapi gaji kecil pemancing korupsi. Bagaimana sistem dibuat
agar orang tidak mungkin dapat berlaku curang.
Contoh konkrit.
Pengurusan surat-surat, kalau memang hasus ditentukan biayanya
tetapkan menurut peraturan dan diawasi, tidak boleh ada calo, misalnya sistem
pebayaran melalui atm atau bank. Cara pembayaran selain cara itu didak
dilayani. Petugas tidak beleh bertemu tatap muka dengan pihak berkepentingan.
Kalau sampai ada peretmuan, ditetapkan sebagai pelanggaran berat dengan hukuman
dan denda yang berat, baik bagi yang ngurus surat-surat maupun yang melayani.
Jadi loket-leket pengurusan dibuka dengan kaca baur, dimana pihak yang dilayani
tidak dapat melihat siapa yang melayani dan sebaliknya. menggunakan nomer
antrian dan setelah berkas dimasukkan, ada tanda terima yang distandarisir dengan
TIDAK bertanda tangan, sehingga tidak deiketahui nama pejabat yang mengurus.
Setelah surat-surat selesai atau yang bersangkutan mengambil surat yang sudah
selesai, dengan membawa resi tanda terima berkas.
penyelesaian perkara di pengadilan
Pengadalin digelar baik yang terbuka maupun yang tertutup, wajah para
hakim berada dibalik kaca yang tak tembus pandang oleh Terdakwa, Pengacara dan Jagsa.
Sehingga tidak ada kemungkinan untuk berhubungan diluar sidang. Jika sampai terjadi hubungan diluar sidang,
baik melalui Perantara apalagi langsung,
maka si Hakim dikenakan sanksi pemecatan. Atau mendatangkan hakim impor, dapat
direferensikan seorang hakim dalam senetron seri china kalau ndak salah nama
hakimnya Judge Bow. Hakim ini boleh kita impor untuk memberi teladan bagi
hakim-hakim kita yang “nakal”. Hakim-hakim kita yang jujur juga masih banyak
mereka dapat membantu hakim Judge Bow.
Pusat pelayanan publik, semua dilakukan dengan tanpa berhubungannya
antara pihak yang berkepentingan dengan pelayan publik. Hal ini sudah banyak
dapat dilakukan, misalnya sekarang pembelian tiket penjalan kereta apa dan
pesawat terbang. Dengan model on line ini sudah tidak Nampak lagi adanya kong
kalikong petugas dengan calo.
Dengan cara ini, maka bila kita jadi orang yang berperan sabagai
pejabat, atau sebagai apapun yang melayani hajat hidup atau kepentingan orang
banyak akan terjauh dari mendekati kemudahan untuk melakukan korupsi atau
perilaku yang tidak terpuji. Sebab sistem dibuat sedemikian rupa sehingga kita
tidak mendekati perbuatan keji itu. Barakallu fikum, wallahu a’lam bishawab.