Prosedur, pengertiannya kira-kira adalah urutan proses
kegiatan dalam satu rangkaian pekerjaan. Setiap diri kita sejak mulai bangun
tidur sampai tidur lagi melakukan proses kegiatan yang dilaksanakan melalui
prosedur. Sebelum masuk ke kamar mandi, membawa handuk dan selanjutnya di kamar
mandi urutan proses kegiatan dilakukan sampailah mengembalikan handuk ke
sedaian handuk. Memang urutan proses itu, kadang ada yang dapat dibolak-balik,
tetapi ada kalanya, urutan proses yang tak dapat dilangkahi. Contoh, memakai celana panjang lebih dahulu, baru
memakai celana dalam, ini tidak mungkin dilakukan. Sedangkan singlet dan celana
dalam, bisa saja urutan proses yang didahulukan, dapat singlet dulu, dapat celana dalam lebih
dahulu, tergantung selera dan yang mana tersedia paling dekat, paling mudah.
Ketika masih bekerja sektor formal di kantor, diriku pernah
menyaksikan urutan proses delivery Koran oleh seorang office boy di kantorku
itu. Kantor berlantai dua, cukup besar dengan pegawai 350 orang diantaranya 30
orang setingkat manager. Untuk naik ke lantai atas, tersedia dua tangga, di
sisi samping kiri dan sisi samping kanan gedung bagian dalam. Di kantor itu,
ada ketentuan di institusi kami itu, bahwa tiap manager setiap hari dapat koran dibiayai kantor. Dua terbitan untuk senior, satu terbitan untuk Yunior. 10 orang manager senior dan 20 orang manager
yunior, jadi ada 40 eksemplar surat kabar setiap hari dikelola bagian umum,
kemudian didistribusikan ke meja para pejabat manager dimaksud.
“Tarno” demikian
panggilan office boy (bukan nama sebenarnya) punya tugas rutin
men-delivery surat kabar itu ke meja
para pejabat. Sejatinya “Tarno” bukan office boy sebab pangkatnya sudah setara
dengan golongan II. Dianya diberi peranan tukang antar koran dan minuman,
semestinya tugas office boy, karena beberapa tahun sebelumnya dianya menderita
sakit berat membuatnya “lumpuh jiwa”. kantor tempatku bekerja itu, bukan
termasuk kantor milik “Cukong”, yang biasanya mempekerjakan karyawan hanya
ingin mengambil tenaga saja “bila habis manisnya sepah segera dibuang”. Ini
tidak, karena Tarno belum waktunya
pensiun, walau sudah jadi “Sepah”, tetap saja dipekerjakan apa adanya sesuai
kemampuannya. Beda dengan sekarang, banyak perusahaan yang mempekerjakan
pegawai atas dasar kontrak. Kalau kontrak sudah dua kali tak dapat diperpanjang
lagi, harus keluar, sehingga si pegawai hampir tak punya masa depan, sementara
usia semakin kedepan.
Pegawai bagian umum menuliskan nama-nama pejabat yang punya
jatah Koran di lembar pertama setiap Koran. Kemudian menyusunnya secara acak,
makapun terjadilah “Prosedur Tarno” seperti judul tulisanku ini.
Beberapa eksemplar Koran dimbilnya dari meja bagian umum
sekuat tangannya membawa, misalnya yang paling atas adalah nama seorang pejabat
di lantai 2 posisi mejanya di dibagian samping kiri gedung, diapun mengantarkan
ke meja pejabat itu di lantai 2. Eksemplar
kedua untuk pejabat di lantai 1 sisi gedung bagian kanan, diapun
mengantarkan ke meja pejabat yang bersangkutan, dengan turun ke lantai satu
melalui tangga kanan. Begitu seterusnya eksemplar ke 3 untuk pejabat yang ada
di lantai 2 gedung bagian kiri, dia naik lagi ke atas melalui tangga kiri. Juga
untuk pejabat senior yang 10 orang mendapat dua kunjungan Tarno mengantarkan
Koran. Untuk menyelesaikan tugasnya
Tarno menghabiskan waktu berjam-jam dan terlihat cukup melelahkan. Rupanya bagian umum sengaja tidak membantu menyusunkan urutan koran-koran
itu, dengan harapan mengembalikan “Kelumpuhan Jiwa”, sahabat kami itu. Sampai
saya dimutasi dari kantor itu ke kantor
kami di kota lain, “Kelumpuhan jiwa”
teman ini tak sembuh, sampai waktunya dipensiun.
“Prosedur Tarno” ini, kuingat kembali, ketika kami menjajal
BPJS di sebuah rumah sakit rujukan di DKI Jakarta. Dari sekian banyak hal yang
kami pandang sebagai hal positip, ada juga penerapan “Prosedur Tarno”. Kami
datang ke Rumah-sakit rujukan sekitar pukul 9 nan. Sebab sama sekali belum ada
bayangan bagaimana cara pengurusan, kami menanyakan dengan seseorang yang
kelihatannya aparat rumah-sakit itu. Dengan ramah orang tadi memberi petunjuk,
benar saja di tempat itu banyak orang sedang duduk di sederet kursi panjang berjejer
dan di depan tempat duduk itu tersedia beberapa loket yang tak urung banyak
orang mengerubung. Kami berhasil ke loket untuk pasien baru. Prosedurpun
dimulai:
1.
Kertas rujukan dan foto copy kartu BPJS kami
letakkan di kotak yang sudah disediakan, setelah menunggu agak berapa lama,
mungkin ada hampir setengah jam-an. Nama kami dipanggil dan diminta untuk melampirkan
foto copy surat rujukan. Kami dapat arahan membuat foto copy di samping
loket-loket itu dan rupanya di loket foto copy banyak juga orang antri dan kelihatannya
yang difoto copy hampir sama.
2. Foto
copy rujukan dan fotocopy kartu BPJS diletakkan dalam kotak di suatu loket dan
kami diminta menunggu sampai dipanggil. Agaknya menunggu inipun mendekati
setengah jam-an.
3. Prosedur
selanjutnya kami dipanggil, diberikan selembar formulir yang harus diisi sesuai
permintaan formulir tersebut; diantaranya, nama diri, nama orang tua, nama
suami atau nama istri dan identitas diri. Setelah pengisian formulir itu,
kembali diletakkan lagi di dalam kotak dan menunggu lagi hampir setengah jam-an,
barulah dipanggil.
4. Pada
pemanggilan di prosedur 3 di atas kepada kami diberikan lagi sebuah map di dalamnya
ada daftar isian lagi yang hampir sama dengan formulir daftar isian pada prosedur 3. Kembali
diletakkan lagi map itu didalam kotak. Ada sebagian kami lihat agak cepat,
begitu map diserahkan langsung diberi nomor urut dengan karton kecil, untuk
menuju ke poli sesuai dengan rujukan.
5.
Sampai di poli, kami sempat di tegur oleh
petugas. “kenapa sudah siang begini baru
sampai di poli” (jam waktu itu menunjukkan pukul satu siang kurang
sedikit). Setelah kami jelaskan yang lama antri mendapatkan nomor urut, dengan
cepat petugas tersebut membawa kami masuk ke ruang dokter. Rupanya di dalam
sudah banyak orang yang antri lebih duluan dari kami. Setelah kami duduk rupanya
masih datang lagi beberapa orang yang lebih terlambat dari kehadiran kami.
Dari langkah-langkah prosedur di atas, jelas bahwa ada
“Prosedur Tarno” misalnya pada langkah foto copy, mestinya dibuat pengumuman:
syarat mengajukan rujukan yang dapat dibaca dengan mudah, atau sejak dari
klinik yang merujuk, sudah diinformasikan bahwa syaratnya buat foto copy surat
rujukan. Prosedur Tarno yang nampak jelas disini, adalah prosedur butir 3 dan 4
mestinya sekaligus diberikan kepada pasien formulir isian dan map supaya diisi
bersamaan, sehingga dapat memangkas proses dan mengurangi antrian.
Demikian informasi ini, semoga para pembaca mendapat manfaat
dari informasi ini. Secara keseluruhan pelayanan kesehatan model BPJS ini dapat
dikatakan baik dan cukup memudahkan masyarakat segenap strata ekonomi. Keadaan
di atas adalah prosedur di salah satu rumah sakit rujukan di DKI Jakarta,
mungkin saja berbeda di rumah sakit lainnya di DKI dan tentu saja mungkin
berbeda lagi di daerah yang penduduknya tidak sepadat Jakarta. Namun demikian
tentu saja pihak BPJS dan mitranya nanti akan menemukan formula pelayanan
standar yang lebih baik kepada masyarakat. Tentu untuk itu semua memerlukan
masukan dari pengguna jasa BPJS. Semoga tulisan ini dipandang sebagai masukan
yang positip, semoga semakin hari pelayanan BPJS dan mitranya semakin baik. Aamiin.