Sunday 27 November 2016

MAKNA JEMARI



Karena sudah umum berlangsung setiap hari, kita jadi tidak menyadari hal-hal semestinya istemewa di dalam tubuh kita sendiri. Bagi yang senang di ajak merenung, tapi bukan bermenung, ayo kita lihat jemari kita.  Jemari di dalam genggaman kita sama kiri dan kanan normalnya 10, mereka terlahir sama ikut bersama kita dilahirkan ibunda. Bahasa Indonesia memberi nama-nama masing-masing jari itu adalah:
·         Kelingking, agak kecil dari jari lainnya tertancap di ujung tangan kita di posisi paling pinggir.
·         Jari manis, menduduki posisi kedua dari sisi, fosturnya lebih besar dari jari kelingking juga lebih tinggi.
·         Menyusul jari tengah, lebih besar dari kelingking dan jari manis, letaknya di tengah-tengah juga tertinggi dari jari-jari lainnya, besarnya hanya lebih sedikit dari jari manis.
·         Berikutnya jari telunjuk, ini jari lebih rendah dari jari manis dan jari tengah, besarnya sama dengan jari manis posisinya mendekati ibu jari.
·         Terakhir ibu jari, ini jari ruasnyapun hanya dua ruas beda dengan yang lainnya punya tiga ruas. Kemenangannya biar pendek tapi ibu jari agak gemuk dari jari lainnya.
Total ruas jemari kita sebelah tangan adalah 14. Kiri kanan jadi 28 ruas. Apa makna 28 ruas dari 360 ruas tubuh kita (informasi hadist) belum paham saya maknanya. Yang pernah kudengar ada hadist bahwa 360 ruas seluruh tubuh kita setiap hari perlu diberikan sedekah. Sedekah itu dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: Membersihkan sampah di masjid, atau menyingkirkan duri/paku di jalan, atau shalat dhuha dua rakaat.
Kembali ke makna jemari kita yang lahirnya sama, tetapi besarnya, panjangnya berbeda. Sepertinya memberi makna bahwa kehidupan kita di dunia ini mamang di desain oleh Yang Maha Kuasa tidak sama nasib keberuntungannya. Ada yang berkedudukan tinggi, ada yang biasa saja dan bahkan ada yang rendah. Ada  yang hidupnya makmur, mewah harta melimpah ruah, ada yang hidup dengan hanya cukup memenuhi kehidupan sehari-hari. Dibalik itu ada yang hidup jauh dibawah kebutuhan, pagi makan belum tentu ada yang dimakan sore, apalagi cadangan makan untuk besok.
Walau berbagai Kondisi kehidupan dan nasib tersebut di atas, bagaikan suatu tamsil makna dari jemari tersebut bahwa setiap dari jari jemari tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang fungsi tersebut suatu jari kurang pas bila dilaksanakan oleh jari yang lain dalam kerjasama yang kompak contohnya:
1.       Jari kelingking berfungsi sebagai “petugas kebersihan ringan” dianya dapat masuk ke rongga-rongga yang sempit dalam tubuh kita. Jari lain tak sanggup melaksanakannya. Contoh telinga yang sedikit terpapar gatal atau ada sesuatu yang ada di dalam nya maka sesuatu yang mengganggu itupan dapat diatasi, demikian juga “upil” tak mungkin dapat diraih dengan ibu jari dan banyak lagi rongga lain ditiubuh kita yang dapat dibersihkan dengan kelingking, silakan pembaca kemontari sendiri.
2.       Jari manis, banyak orang yang memanfaatkannya untruk menempatkan cincin. Suatu ketika pernah kubertanya kepada seorang kakek, apa gunanya kakek memakai cincin. Jawaban si kakek sederhana tapi masuk akal. “Kalau suatu saat saya abis umur, misalnya sedang bertamu dirumahmu, atau rumah keluarga, paling tidak cincin ini dapat dijadikan uang untuk sekedar membeli kain kafan”. “Tidak selalu pada saat itu nanti (kematian tiba) keluarga dalam keadaan siap, atau apakah dapat diyakini bahwa kita mati di tengah keluarga”. Setidaknya memberi makna bahwa jari manis adalah berfungsi untuk bendahara berjalan, siap menyimpan ala kadarnya untuk keperluan mendesak. Setidak nya menurut kakek ini.
3.       Bila kelingking berfungsi untuk kebersihan ringan, maka fungsi jari tengah berfungsi untuk kebersihan kelas berat. Perhatikanlah bila habis “kebelakang”, baru dapat bersih maksimal bila dibantu oleh jari tengah, tapi tak akan cocok jika dilakukan oleh kelingking. Begitu juga kalau ketiak kebetulan perlu di control, maka jari utama pengontrolnya adalah jari tengah.
4.       Sedangkan jari telunjuk, dianya berfungsi suntuk menunjukkan arah, berfungsi untuk menyatakan setuju, menyatakan ingin sesuatu, ingin bertanya, ingin menyampaikan pendapat dan juga untuk memberikan komando.
5.       Adapun ibu jari berfungsi sebagai pernyataan salut, memberikan pujian, menyatakan setuju,  membenarkan.
Khusus mengenai komando, kadang juga dapat dilakukan oleh telunjuk dan kadang dilakukan dengan ibu jari.  Ada yang memberikan makna, kalau orang memberikan komando atau menunjuk arah dengan menggunakan telunjuk, otomatis  ibu jarinya juga ikut mengarah kedepan. Dengan demikian orang ini punya kepribadian, bahwa 40% suka mengoreksi orang lain, sementara 60 % mengoreksi diri sendiri. Dua jari kedepan/kearah luar, tiga jari mengarah kedirinya. Sementara bila orang sering memberikan petunjuk atau komando dengan ibu jarinya, orang ini dalam hidup, dianya mengoreksi orang lain 20% dan 80% intstropeksi diri, karena empat jarinya menghadap ke dirinya hanya satu yang kedepan/kearah luar. Bagaimana pula kalau menunjukkan arah atau mempersilahkan dengan semua jari, kalau begitu 100% mengoreksi orang sementara tak ada yang mengoreksi dirinya, sementara itu ada yang mengatakan bahwa itu tanda ketulusan, karena semua yang ada padanya diberikan. Kalau begitu bila orang menunjukkan arah atau mengomando dengan mengepalkan seluruh jarinya, artinya 100% mengoreksi dirinya namun ada berpendapat bahwa itu tandanya penuh kesungguhan dan bersemangat. Silahkan berpendapat, sebelum berpendapat itu dilarang.
Begitu lah makna dari jemari, yang saya dapat ketengahkan semoga para pembaca dapat memberikan pemaknaan yang lebih baik. Terimkasih bagi anda yang meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini sejenak, ditengah-tengah anda membaca bacaan yang berat-berat berseleweran di dunia maya sekarang ini. Semoga tulisan ini tidak mengusik kenyamanan pembaca dan menjadi bacaan yang menyenangkan. Selanjutnya semoga dapat menjadi bahan renungan betapa hebatnya penciptaan diri kita ini oleh Yang Maha Pencipta. Wallahu ‘alam bishawab Barakullahu Fikum.



Wednesday 23 November 2016

KOMUNIKASI LIDI



Manusia tidak dapat berelak harus berkomunikasi, sejak mulai lahir sampai akhir hayat. Itu barang kali sebabnya maka Al-Qur’an sampai memberikan arah kepada manusia tentang cara-cara berkomunikasi. Dibanyak ayat dapat dipetik, Allah memberitahukan kepada ummat manusia bagaimana sebaiknya seseorang berkomunikasi dengan orang lain antara lain caranya yaitu: SADIDA, BALIGHA, MA’RUFA, KARIMA, LAYINA DAN MAY-SYURA.
Kumunikasi tersebut terkait; ialah bagaimana caranya berkomunikasi ke seluruh pihak, yaitu:
·         komunikasi seorang komunikator dengan masyarakat banyak,
·         komunikasi seorang komunikator dihadapan orang yang sedang berjabatan tinggi,
·         komunikasi seorang komunikator kepada audience yang strata pemahamannya heterogin,
·         komunikasi antara komunikator dengan orang yang lebih tua,
·         komunikasi oleh komunikator  dengan orang yang lebih muda, seperti misalnya dengan anak-anak khususnya anak sendiri.
Dari macam-macam model komunikasi tersebut, dalam tulisan ini sengaja baru saya anggkat satah satu diantaranya. Mari kita perhatikan komunikasi dengan anak sendiri oleh seorang Ibu kepada anaknya yang baru duduk di bangku kelas satu SD.
Sepulang dari sekolah dengan muka sedih si anak melapor pada bundanya: “soal matematiknya sulit Bunda”. Dengan kelembutan seorang ibu si Ibunda menyahut: “Ya nanti Bunda lihat, ganti baju dulu dan ayo kita makan”.
Setelah makan diketahui bahwa kesulitan si anak adalah menjawab soal 3 ditambah 60. Si anak telah diajari oleh gurunya 60 ditambah 3. Dia tau jumlahnya adalah 63. Bundanya segera mengetahui masalah anaknya, bahwa tidak paham kalau dibalik.
Singkat cerita segera ibunya memotong-motong lidi dibuat pendek-pendek sebanyak 100 lidi. Mula-mula praktek berhitung dengan yang selama ini sudah dipahami si anak yaitu 60 buah lidi terdiri dari 6 ikat sepuluh lidi diletakkan di sebelah kiri selanjutnya 3 buah lidi di sebelah kanan. Selanjutnya si anak disuruh menyebutkan berapa jumlahnya. Dengan sigap si anak tentunya menyebutkan angka pasti 63.
Kemudian lidi yang tiga di letakkan di sebelah kiri sedangkan lidi yang 6 ikat sengaja di jauhkan dulu (ditempatkan di belakang si ibu duduk dilantai), kemudian si bunda meletakkan 6 ikat itu satu persatu disebelah kanan tumpukan yang tiga tadi sampai enam. Si anak diminta ibunya menyebutkan berapa jumlahnya, disini si anak dapat menyebutkan jumlah lidi adalah sebanyak 63. Tidak hanya itu saja; yang tiga lidi di taroh di atas dan yang 60 di letakkan dibawahnya, juga ditanyakan ke si anak berapa jumlahnya. Alhamdulillah si anak dapat mengatakn jumlahnya ya tetap 63. Hal sama dilakukan yang 60 diletakkan di atas dan yang tiga dibawah, anak itupun paham jumlahnya juga sama 63. Mulai saat itu sitidaknya si anak memahami bahwa penjumlahan dua angka dibolak balik adalah sama. Inilah barangkali yang dimaksud berkomunikasi dengan “May Syura”, dimaksudkan surat Al Isra ayat 28.
May-syura; terjemahannya kurang lebih “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.  Kata KUNCI :  Pengertian dan Tak Tis,  Contoh kecil dikemukakan di atas; seseorang anak SD klas satu, nalarnya belum sampai, kalau letak angka yang dijumlah dibalik saja sudah tidak memahami. Komunikatorlah yang harus mampu mencari tak-tis untuk mimilih kata-kata yang pantas, sehingga pesan dapat tersampaikan sekaligus dimengerti oleh yang diajak berkomunikasi. Diiringi dengan cara yang tidak menyakitkan; istilah syar’ienya, berkomunikasi dengan “Ma’rufa (Al-Baqarah 263). Anak tadi tentu akan kecewa dan ndak mau belajar lagi, bila si Ibu menyahutnya dengan kata-kata yang menyakitkan misalnya; “masa’ gitu aja kamu ngak bisa”. Tapi ini ibu cukup bijak, dan akan dikenang anaknya sampai diapun menjadi orang tua lagi bagi anak-anaknya dan mungkin sampai dianya menjadi nenek dan kakek buat cucu mereka. Semoga jadi bahan renungan untuk yang masih punya momongan yang baru tumbuh. Wallahu ‘alam bishawab. Baraqallahu fikum.

Friday 18 November 2016

Ngoco to Lee



Anak, adalah idaman setiap orang yang menikah, sampai ada “kata berlanjut” yang biasa diucapkan orang “mandi sampai basah, belayar sampai ke pulau, menikah sampai punya anak”. Ada pasangan yang menikah sudah belasan tahun, belum juga dikarunia anak. Usahapun dilakukan, pokoknya asal mendengar ada dokter yang canggih tentang dapat mebuat kesuburan pasangan suami isteri, kemanupun jauh didatangi, berapapun mahal dikumpulkan duit. Apalagi dokter, sampai “orang pintar” yang kadang ndak masuk nalarpun dicoba dengan alasan ihtiar.
Ketika masih muda dulu, kami pernah tinggal di suatu daerah, punya dua orang tetangga yang belasan tahun menikah belum dapat keturunan. Kurang lebih tahun ke dua belas menikah, akhirnya masih-masing kedua pasangan ini, bagaikan janjian sama sama mendapat tanda akan hadir kedunia penurus keturunan mereka. Sekali lagi bagaikan janjian tetangga sekomplek kami itu yang berada di blok di depan blok rumah kami dan juga yang dibelakang blok rumah kami itu sama-sama mendapatkan anak lelaki.
Begitu sayangnya kedua orang tua mereka kepada anak idaman itu, semua mainan, semua keiinginan si anak dipenuhi sebisa mungkin.  Sampai mereka mulai masuk TK, belum ada lagi tanda adiknya akan nongol, al hasil sampai kami pindah tugas diperoleh kabar bahwa kedua pasangan ini hanya punya anak satu satunya dan kini mereka sudah tumbuh menjadi orang dewasa dan punya anak pula.
Sama-sama anak dielukan dan dimanja semasa kecil, ternyata pertumbuhan kedua anak manusia ini berbeda sedemikian rupa, bagaikan siang dan malam. Kami ketahui kisah nyata ini, setelah 31 tahun kami kunjung silaturahim ke kompleks yang pernah kami tinggal disana selama 5 tahunan.
Kini anak yg satunya menjadi anak yang sangat berbakti kepada ibunya, ayahanda telah pulang kerahmatullah ketika dia masih kelas dua es em a. Ibunyalah yang meneruskan membimbingnya dan membiayai hidup sampai selesai kuliah. Begitu hebat perjuangan sang ibu menyekolahkan anak semata wayang itu, dengan berusaha menjual makanan di kantin kantor almarhum suaminya. Alhamdulillah perjuangan ibu ini tidak sia-sia, bahkan sianak walaupun sudah beristeri dan beranak empat, namun kasih sayangnya kepada ibunya demikian tinggi, ibunyapun sudah dibawa menunaikan ibadah haji. Kebetulan kehidupannyapun lumayan, lebih baik kalaulah dibanding dengan kesusksesan ortunya dulu di  bidang pekerjaan.
Beda dengan anak yang satunya lagi, kini dianya hidup tinggal sebatang kara, masih tinggal di kompleks kami dulu. Kehidupannya agak kurang beruntung tak jelas apa usahanya. Rupanya ibundanya belum lama meninggal dunia,  si ibu mengakhiri hidupnya secara tragis bunuh diri. Ibu ini memilih jalan ini konon alasannya tak tahan menahan tekanan hidup, lantaran si anak selalu merongrong. Semenjak ditinggal almarhum suami, si ibu terpaksa ngutang sana-ngutang sini demi memenuhi keinginan si anak yang sudah terlanjur dipenuhi sejak kecil apa maunya. Rupanya tak tahan dililit hutang sudah melilit pinggang, pilihannya jatuh ke mengakhiri hidup dangan menggantung diri dengan tambang.
Memang terdapat perbedaan kedua anak ini semasa ditinggal ayah mereka, yang satu hidup dengan penuh prihatin, menurut apa yang diarahkan si ibu, sementara anak yang satunya sepeninggal Bapaknya tetap saja, tak tau bagaimana caranya si ibu harus dapat mengadakan apa yang diminta.
Setelah kami pindah ke kota lain, ketemu lagi dengan anak yang masih sedang bertumbuh, sudah duduk di kelas satu es em pe,  punya ayah bekerja sebagai pegawai rendahan di sebuah perusahaan. Anak ini punya saudara 3 orang. Suatu hari si anak berdialog dengan Bapaknya: “Bapak; saya minta uang, nanti setelah pulang sekolah, mau langsung ke kolam renang, abis berenang mampir makan ke Mac D, ama teman-teman, juga mau mampir ke mall beli tas”. Si Bapak menjawab:  “Ngoco to lee, koe iku anak e sopo”. Agaknya si anak tersadar bahwa si Bapak tak mungkin ngasi uang sesuai kebutuhan, kolam renang, sekaligus makan di Mac D dan juga beli tas. Ketika teman-temannya mampir menjemputnya si anak memilih untuk tidak ikut. Kasihan memang dengan ini anak, tapi dirinya mulai belajar bahwa hidup ini tidak sama, tiap anak sama duduk di bangku es em pe,  tapi dirinya anak siapa harus disadari, kerena setiap Bapak (Ortu) tidak sama kemampuannya.
Begitu juga anak tetangga kami 31 tahun yang lalu dikisahkan di atas itu, yang satunya berhasil ibunya menanamkan palsafah “Ngoco to lee kue iku anak e sopo”. Sedang yang satunya tidak peduli, sampai akhirnya ujung kehidupan ibunya tragis dan dirinyapun sekarang belum nampak tanda-tanda kehidupan membaik.
Begitulah kehidupan manusia dalam mendapat amanah mempunyai anak. Anak itu seperti pernah saya tulis juga di blog, berpotensi sebagai inventasi, berpotensi sebagai membuat kita lalai mengingat Allah, berpotensi sebagai musuh, berpotensi sebagai cobaan  dan berpotensi pembela kehidupan akhirat. Dari kelima potensi ini, terlihat dua berpotensi baik dan dua berpotensi kurang baik serta satu berpontensi 50%-50% yaitu potensi cobaan. Kalau cobaan itu dapat kita atasi maka akan menjadi kebaikan dan sebaliknya jika cobaan itu tidak dapat diatasi akan mencelakakan.
Agar menjadikan anak berpotensi kebaikan, dapat dilakukan dua ihtiar. Saya katakan ihtiar, karena walau sudah di ihtiarkanpun belum tentu berhasil, semua tergantung penyertaan Yang Maha Kuasa, Allah S.W.T.
Ihtiarnya adalah:
Yang pertama;  ikuti anjuran Nabi Muhammad agar anak diajarkan sholat sejak berusia 7 tahun, kalau sudah sampai 10 tahun bila perlu diingtakan dengan agak keras. Sebab anak yang sholat dan mengenal Allah, selalu dekat dengan Allah, diharapkan akan mengerti keadaaan orang tua, tau bersyukur, tidak tegaan merongrong orang tuanya.
Yang kedua;  senantiasa menyerahkan kepada Allah dengan do’a. “Rabbana hablana min ajwajina wajuriatina kurata a’yunin waj’alna lil mutaqina imama”. Kita eberdo’a kepada Allah agar anak keturunan kita menjadi orang yang taqwa, berperilaku yang enak dipandang mata dan menjadi pemimpin orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Dengan demikian mudah-mudahan anak keturunan kita tidak menjadi anak yang seperti di isyaratkan oleh Allah dalam surat At-Taghabun ayat 14 “ya ayuhallazi na amanu inna min ajwajikum wa awladikum ‘aduwan lakum fahzaruhum” (sesungguhnya di antara istreri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu).
Semoga anak-anak keturunan kita menjadi anak-anak  yang saleh dan salehah. Amien ya rabbal ‘alamin. Barakallahu fikum.

Saturday 12 November 2016

MALINGpun hormat pada Al-Qur’an



Keberadaan Al’Qur’an di bhumi Nusantara ini, tepatnya entah kapan, tapi yang jelas sudah berbilang abad lamanya. Dapat dipahami bahwa demikian akrabnya Al-Qur’an dengan penduduk negeri ini, anak-anak sejak usia sangat dini sudah dikenalkan dengan aksara Al-Qur’an, diajarkan oleh guru ngaji mulai dengan alif - ba – ta, untuk anak-anak yang Ortunya muslim tentunya. Selanjutnya ngaji (belajar membaca Al-Qur’an) merupakan ekstra kurikuler yang harus diikuti oleh anak-anak sampai setelah duduk di bangku “es er” (SD sekarang). Di kampung kelahiranku khusus anak lelaki (waktu itu 60 tahunan yang lalu), belum di khitan jika belum hatam membaca Al-Qur’an.
Belajar membaca Al-Qur’an kala itu tidak semudah sekarang, masih harus dibaca ayat demi ayat. Mula mula zus 30, surat-surat pendek dan kemudian baru mulai membaca zus satu dan seterusnya, dikaji ayat demi ayat sampai lancar membacanya, dituntun guru ngaji. Pengkajian ayat demi ayat ini istilah kampungku “menderas”. Di sisi anak yang menderas duduk  sang guru ngaji, tersedia sebilah rotan yang dibelah empat, siap diraih sang guru untuk dipukulkan ke lantai bahkan ke tubuh muridnya bila berkali-kali “bebal” (tak dapat membaca dengan baik) pada hal sudah berulang diajarkan.
Setelah selesai mengaji sore itu, atau malam itu, anak-anak pengajian menutup kitab Al-Qur’an dan membawanya ke rak yang disediakan ditempat ngaji atau di Langgar/Surau (masjid kecil) atau mungkin juga dirumah tuan guru ngaji. Kitab dibawa dengan penuh hormat, sebelum diletakkan di tempatnya Al-Qur’an lebih dahulu dijunjung di atas kepala kemudian di cium. Begitu etika penghormatan yang diajarkan sejak dini. Tak heran penduduk seantero negeri juga menyimpan Al-Qur’an dirumahnya ditempat yang terhormat, biasanya diletakkan di tempat yang tinggi di atas penempatan buku-buku lainnya.
Karena pembelajaran dan penghormatan seperti di atas sudah membudaya dikalangan masyarakat khususnya yang beragama Islam, barang kali itulah sebabnya kelak setelah anak-anak itu menjadi dewasa, penghormatan kepada Al-Qur’an itu tetap merasuk sampai ke tulang sumsumnya barang kali. Sebagaimana dimaklumi bahwa guratan tangan masing-masing anak manusia tidaklah sama. kelak anak-anak itu tumbuh berkembang dengan nasibnya masing-masing. Diantaranya ada yang meraih sukses menjadi orang kaya ternama, atau pejabat atau pengusaha sukses. Namun tidak pula dapat diherankan ada pula yang hidupnya susah, makan pagi mengenangkan petang, ada juga yang terpaksa menjadi maling misalnya. Tetapi jadi apapun kelak anak-anak itu, mereka sudah dibekali membaca Al-Qur’an, sudah diajari etika penghormatan kepada Al-Qur’an.
Dua orang yang rupanya sudah lama merajut hidup menjadi maling (bahasa setempat pencuri), suatu malam menyatroni sebuah rumah di kampung jiran. Rumah di kampung kami waktu itu, boleh dikata belum ada yang terbuat dari semen (rumah batu bahasa setempat), semua rumah dari bahan kayu. Rumah orang berduit terbuat dari kayu Belian (kayu besi), beratap Sirap. Sedang rumah orang yang kurang mampu biasanya kerangkanya dari kayu Belian tapi dindingnya “Kajang” atapnya “daun nipah”. Sasaran maling tentu rumah orang berduit, setidaknya barang yang dimaling jika dijual dapat untuk membeli beras. Sebuah rumah yang sudah disurvey di kampung jiran (bukan kampung si maling sendiri), akan disatroni malam nanti.
Rumah satu dengan rumah lainnya tidak dempet seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, tetapi berjauhan. Setiap kamar dan ruangan melekat jendela-jendela. Maling sudah hapal dan punya keakhlian membuka kunci jendela, pakai slot atau pakai apapun, apalagi rumah yang akan disatroni sudah disurvey memakai kunci apa jendelanya.
Kegelapan malampun tiba, maklum dikampungku 60 an tahun yang lalu belum masuk PLN, mengendap ngendaplah dua orang ini disamping sebuah rumah panggung. Rumah panggung cukup tinggi, sebagai ilustrasi bahwa kolong rumahnya dengan leluasa masuk hewan Sapi, bahkan ada yang membuat kandang sapi di bawah rumah. Untuk dapat meraih jendela, salah satu maling lebih dulu duduk berjongkok, kemudian maling yang satunya menginjakkan kakinya ke kedua belah bahu maling yang jongkok, barulah perlahan-lahan maling yang jongkok berdiri, sambil tangan maling yang satunya memegang bangunan rumah. Setelah sampai dijendela, mulailah dilaksanakan membuka jendela. sementara maling yang ditanah menunggu kode dari bunyi kain sarung yang ditarik, untuk memberi isyarat berhasil, untuk memberi isyarat akan turun, untuk memberi isyarat dalam bahaya dan lain sebagainya, merekalah yang mengatur sandi tersebut.
Belum berapa lama maling yang bertugas masuk rumah melewati jendela, terdengar kode agar menyiapkan pundak untuk mendarat kembali. Dengan penuh heran maling yang nunggu di tanah bertanya dalam hati, ndak ada kode bahaya, tapi tiba tiba minta turun. Sudahlah diikuti saja, langsung berdiri di tempat naik tadi, dan kaki partnerpun mendarat dibahu dan perlahan-lahan diturunkan. Heran tak ada satu bendapun yang dibawa teman dari rumah satronan. Dengan berbisik pelan maling operasional mengajak “cepat-cepat kita hengkang, nanti saya ceritakan”.
Sampai ditempat aman, berceritalah maling ini kepada temannya. Bahwa “jendela yang dimasuki itu rupanya ada meja, di atas meja tersebut terdapat  sebuah Al-Qur’an yang terletak di atas meja, agaknya baru selesai dibaca. Hampir saja aku menginjak Al-Qur’an itu ketika mau melangkahi meja. Pikiranku jadi ragu untuk meneruskan masuk ke ruangan dalam rumah. Dadaku bergemuruh, jantungku terasa berdegub kuat dan tubuhku gemetar, jangan-jangan aku telah terlajur melakangkahi Al-Qur-an.  Karena itulah nampaknya usaha kita malam ini kalau diteruskan akan membawa melapateka buat kita”, kata maling itu kepada temannya. Meskipun dia kini berprofessi sebagai maling, namun penghormatan terhadap Al-Qur’an yang sudah tertanam sejak kecil  dan kekhawatiran kewalat akan al-Qur’an membuat si maling mengurungkan niatnya untuk mencuri setidaknya pada malam itu, diingatkan oleh kitab Suci Al-Qur’an.
Baik kita renungkan, penghormatan terhadap Al-Qur’an begitu besar oleh penduduk negeri ini, terutama bagi yang memeluk agama Islam, apa lagi yang menjalankan seluruh ibadah dalam agama Islam. Bagi yang Islamnya belum dapat ibadah dengan intensifpun, akan menaruh hormat kepada Al-Qur’an, akan merasa terpanggil untuk setidaknya ber do’a agar kemuliaan Al-Qur’an tetap terjaga.  Allah memang ada menjamin akan memelihara Al-Qur’an itu sampai hari kiamat. Tapi tidak ada jaminan bahwa Al-Qur’an akan terjaga terus di bhumi Nusantara ini, kalau ummatnya tidak berperan aktif menjaganya, dengan mengamalkan kandungan Al-Qur’an itu. Di dunia ini sudah dapat kita saksikan suatu negeri yang tadinya sangat Qur’ani, menjadi negeri yang tidak Qu’ani lagi bahkan penduduk yang meng-imani Al-Qur’an menjadi termarginalkan.  
Untuk mengawal Al-Qur’an mungkin salah satunya adalah membuktikan, bahwa pengamal-pengamal Al-Qur’an mempunyai akhlak mulia yang patut diteladani, sehingga Insya Allah orang yang belum kenal Al-Qur’an akan tertarik mengenalnya dengan cara yang benar, bukan sebaliknya mengambilnya sepenggal-sepenggal tanpa menyakininya malah mungkin menistakannya. Wajar jika ada pihak yang diduga menistakan Al-Qur’an, penduduk negeri yang sejak kecil menghomati Al-Qur’an akan terpanggil untuk membela Al-Qur’an, setidaknya mengkonfirmasi, apakah benar Al-Qur’an sudah dinistakan?. Kalau benar Al-Qur’an telah dinista, peng-iman Al’Qur’an akan membela Al-Qur’an, walau tidak mampu dengan tenaga, walau tidak mampu dengan ucapan, minimal dengan do’a, semoga Allah S.W.T. membukakan pintu hati penegak hukum menegakkan kebenar ditempat yang benar. Amien yaa rabbal ‘alamin.