Di
dalam kemahnya, Rasulullah Muhammad berdua dengan sahabatnya Abu Bakar,
menangis berurai air mata. Peristiwa itu terjadi belum lama usai perang Badr
yang dimenangkan dengan gemilang oleh kaum muslimin. Kemenangan ditandai dengan
dengan 70 orang musyrikin terbunuh dan 70 orang tertawan. Tawanan adalah
penduduk Makkah dan adalah kerabat Rasulullah, juga mereka kerabat dari para
sahabat beliau yang hijrah ke Madinah. Dalam tawanan itu diantaranya terdapat
paman Nabi; Abbas bin Abdul Muthalib, Sepupu Nabi; Aqil bin Abu Thalib dan
menantunya; Abul ‘Ash suami dari putri beliau Zainab.
Kejadian
menangisnya Rasulullah berserta Abu Bakar itu diketahui oleh Umar bin Khatab, ketika
dia masuk ke kemah beliau dipagi hari setelah kemarinnya diambil suatu
keputusan mengenai tawanan perang Badr. Keputusan mengenai tawanan perang itu
sebenarnya diambil melalui suatu musyawarah. Pada musyawarah dihadiri sahabat Rasululah
dan para pahlawan Badr itu terdapat dua opsi:
·
Opsi Pertama; di gagas Umar, Semua tawanan
dibunuh, dengan argumentasi bahwa mereka telah memesuhi Islam, telah mengusir
Rasulullah dan para sahabat dari Makkah dan selama ini berbuat kejam dan jahat
kepada ummat Islam. Bukan mustahil mereka nanti bila dibebaskan akan menyusun
kekuatan kembali memerangi ummat Islam. Pendapat ini didukung sebagian besar
kelompok pemuda.
·
Opsi Kedua; di gagas Abu Bakar, setiap diri
tawanan diberi kesempatan menebus diri, dengan pertimbangan bahwa semua mereka
adalah kerabat, masih ada pertalian darah dan diharapkan mereka nantinya akan
bertaubat. Pendapat ini didukung sebagain besar pahlawan Badr meskipun motivasi
dari pendukung gagasan ini beda dengan Abu Bakar; sebagian besar ada yang
membayangkan harta yang banyak dari tebusan itu.
Rasulullah
memutuskan memilih opsi yang digagas Abu Bakar, memberi kesempatan kepada setiap
tawanan menebus dirinya dengan sejumlah Emas. Sebetulnya keputusan tersebut tidaklah diambil
Rasulullah langsung begitu saja sesaat ketika musyawarah berlangsung.
Rasulullah lebih dahulu masuk ke kemahnya mempertimbangkan dengan seksama kedua
opsi tersebut. Ketika Rasulullah keluar dari kemahnya yang memang sudah
ditunggu para sahabatnya itu, sebelum menyampaikan keputusannya Rasulullah
terlebih dahulu menyampaikan prolog mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
turun sebelumnya sampai saat itu (ketika itu ayat-ayat Al-Qur’an belum
diwahyukan seluruhnya oleh Allah)
Prolog
yang dikemukakan Rasulullah terhadap opsi yang dikemukakan Abu Bakar adalah:
a)
laksana Nabi Ibrahim a.s. ( Al-Qur’an surat
Ibrahim 36) “Siapa yang mengikuti aku,
maka dia itu adalah dari golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakai aku,
Engkau Ya Tuhan – adalah Maha Pengampun lagi Penyayang”.
b)
Dan juga Opsi yang dikemukakan Abu Bakar,
laksana Isa a.s. yang berkata (Al-Qur’an
surat Al-Maidah 118) “Jika Engkau siksa
mereka, mereka itu adalah hamba-hamba Engkau semua. Dan jika Engkau beri ampun
mereka, maka sesungguhnya Engkau adalah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.
Adapun
Prolog yang disampaikan Rasulullah terhadap opsi yang digagas Umar:
a)
Laksana Nabi Nuh (surat Nuh 26) yang berkata “Ya Tuhanku Jangan Engkau biarkan di atas
bumi ini, dari orang kafir itu, seeorangpun penduduk”
b)
Laksana Musa a.s. (surat Yunus 88) “Ya Tuhan kami musnahkanlah harta benda mereka dan keras
sangatkanlah hati mereka, maka tidaklah mereka mau beriman sehingga siksaan
yang pedih”
Nabi
Muhammad bersama sahabat utama beliau Abu Bakar sampai menangis tersedu sedu
disebabkan keputusan yang beliau ambil merifer kapada gagasan Abu Bakar dan
sebagian besar pahlawan Badr dikoreksi oleh Allah, dengan turunnya tiga ayat
dari surat Al-Anfal ayat 67, 68 dan 69.
67. Tidak patut, bagi seorang
Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
68. Kalau sekiranya tidak ada
ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang
besar karena tebusan yang kamu ambil.
69. Maka makanlah dari sebagian
rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi
baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ternyata
Opsi Umar bin Khatab dalam hal ini yang dibenarkan oleh Wahyu yang turun
sesudah keputusan diambil. Akan tetapi Allah telah menetapkan sebelumnya, bahwa
pahlawan-pahlawan Badr telah diberikan keistimewaan pengampunan dosa atas
kealfaan itu (termuat di ayat 68 Al-Anfal)
Dari
peristiwa itu dapat dipetik pelajaran bahwa hendaklah seluruh aturan yang akan
di ambil pemeluk agama Islam, apakah dia sebagai rakyat biasa dalam mengambil
langkah-langkah aktivitas perbuatan hidup mencari nafkah bergaul di masyarakat,
maupun sebagai pemimpin yang mengambil keputusan penting untuk rakyat banyak,
sudah jelas acuannya di dalam petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dari
peristiwa menangisnya Rasulullah karena salah mengambil keputusan itu, maka
dapat diambil hikmahnya bahwa Rasulullah saja, bila hanya mempertimbangkan
keputusan dengan menggunakan logika dan perasaan, tanpa petunjuk Allah
langsung, maka masih dapat keliru bila diukur dengan kebenaran yang datang dari
Allah.
Itulah
sebabnya sebelum perang Badr berlangsung seorang sahabat bernama Al-Habbab dengan segala hormat bertanya: “Apakah dalam memilih tempat berkemah atas
dasar tuntunan wahyu”? Karena nabi menjawab “Atas dasar siasat perang saja”, maka Al-Habbab mengemukakan bahwa
tempat berkemah tersebut tidak tepat karena akan sulit menambah air. Rasulullahpun menuruti saran Al-Habbab. Bila keputusan
datang dari Allah mereka melaksanakan tanpa ragu-ragu, tetapi bila Nabi
menjawab ini bukan dari Allah, mereka memberikan usulan, seperti yang dilakukan
oleh Al-Habbab itu.
Keputusan
yang diambil atas dasar musyawarah, telah pula mempertimbangkan dengan melalui
pemikiran mendalam dan merifer pula kepada apa yang pernah dilakukan para nabi
terdahulu, masih saja dapat salah bila tanpa bimbingan Allah. Sebab opsi
nabi-nabi terdahulu menghadapi kaumnya adalah situasional sesuai LOGIKA
masing-masing nabi tersebut. Karena akal
manuia terbatas, kebenaran menurut manusia nisbi tidak mutlak.
Kini dengan sudah rampungnya Al-Qur’an turun ke bumi secara
lengkap, sebagaimana di tegaskan Allah ketika penutup wahyu yang turun melalui
Rasulullah di dalam surat Al-Maidah ayat 3, ketika di padang Arafah pada saat
Rasulullah melaksanakan Hajji (disebut Hajji Wada’)
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Semua
petunjuk mengenai perihal apa saja dalam hidup dan kehidupan ini dengan penegasan
Allah tersebut ayat 3 surat Al-Maidah di
atas sudah diatur dalam Al-Qur’an, sejak manusia menikah, sampai mempunyai anak
keturunan, sampai membagi harta warisan. Misalnya ketentuan tentang pembagian
waris a.l. lelaki mendapatkan dua bagian perempuan. Mungkin ada logika yang
kurang menerimanya menganggap kurang adil, namun itulah keadilan yang diatur
menurut ketentuan Al-Qur’an.
Hikmah
yang kita ambil dari peristiwa pengambilan keputusan mengenai tawanan perang
Badr, adalah:
1.
Keputusan Rasulullah saja, walau sudah dengan
melalui musyawarah difikirkan dengan matang, mengacu kepada referensi yang
pernah dilakukan nabi-babi terdahulu saja bisa salah. Apalagi keputusan itu
diambil oleh kita manusia biasa, bila tidak mengacu kepada petunjuk Allah.
2.
Bahwa apabila keputusan sudah diambil, meskipun
sedikit keliru harus dilaksanakan. Asalkan keputusan telah diambil dengan
musyawarah dan sejauh mungkin sudah merifer kepada apa yang telah dilakukan
nabi-nabi terdahulu.
3.
Terbukti bahwa keputusan yang salah itu yang
telah diambil dengan musyawarah, dengan berupaya membertimbangkan dengan
saksama dan sedapat mungkin merifer lkepada nabi nabi terdahulu, akhirnya
dilegalisir oleh Allah dan berujung kepada kebaikan. Terbukti bahwa para itu
tawanan itu setelah dibebaskan satu persatu
masuk Islam dan menjadi pahlawan-pahlawan penting dalam Perkembangan Islam
selanjutnya.
Bangsa
kita secara keseluruhan, sering orang perorang dihadapkan untuk mengambil
keputusan misalnya dalam memilih Pengurus masjid, ketua RT, ketua RW dan
pemilihan yang dilakukan orang perorangan untuk memilih seseorang sebagai
pemimpin di daerah masing-masing bahkan pemimpin negara, sepanjang hal itu
harus melalui pemilihan. Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dengan jelas
tentang hal itu.
Persoalannya,
jika anda memilih dengan tidak sesuai petunjuk Allah, maka tanggung jawab
andalah kepada Allah. Allah dan Rasulnya tidak dapat anda paido, bila sesudah
itu terdapat akibatnya yang tidak mengenakkan baik di dunia lebih lagi di
akhirat.
Belakangan ini, ada Pendapat bahwa dalam memilih pemimpin “Asalkan dia benar, harus didukung tidak perlu
dilihat apa agamanya, siapa bapaknya”.
Masalahnya apa itu “benar”?.
Setiap
agama mungkin punya definisi kebenaran menurut persi agama masing-masing. Yang
saya tau Islam memberikan batasan bahwa kebenaran hanya datang dari Allah,
seperti yang termuat dalam ayat 147 surat Al-Baqarah dan surat Ali Imran ayat 60.
147. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
60. (Apa yang telah Kami ceritakan itu),
itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk
orang-orang yang ragu-ragu.
Jadi tentulah siapapun dia tidak akan boleh menyalahkan
kalau orang Islam mengacu kepada sumber agamanya kitab Al-Qur’an untuk mencari
kebenaran bahwa kebenaran hanya datang dari Allah.
Tentulah
tidak seorangpun yang dapat melarang kalau setiap penganut agama yang diakui di
negeri ini mengamalkan dan menjalankan apa yang diperintahkan agamanya.
Demikian pula kiranya siapapun dia, baik orang Islam yang hanya sekedar beriman
saja tetapi belum betul-betul menjadi pengamal agamanya dan juga orang diluar
agama Islam, adalah tidak pada tempatnya untuk menilai SARA orang Islam yang
membaca, kemudian menginformasikannya (mendakwahkannya), menghayati dan
mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Demikian
pula pemeluk Islam-pun tidak boleh melarang pemeluk agama lain mengimani dan
mengamalkan ajaran kitab sucinya masing-masing, sepanjang agama itu diakui di
negeri ini. Ini nampaknya harus disadarkan, difahamkan bagi seluruh anak
negeri, arti dari toleransi antar ummat beragama.
Semoga
kiranya, penganut agama Islam, semakin hari semakin taat menjalankan agamanya,
semakin meningkat ketakwaannya kepada Allah.
Semoga
ummat Islam Indonesia diberikan kekuatan oleh Allah menjalankan agamanya di
negara yang mayoritas Islam ini.
Semoga
ummat Islam yang belum begitu memahami ajaran agamanya dapat lebih meningkat
pemahamannya sekaligus dapat
mengamalkannya dengan baik.
Semoga
Allah menerima taubat pemeluk Islam yang masih saja ragu-ragu akan kebenaran
Al-Qur’an, selagi mereka mau bertobat sebelum berakhirnya hayat.
Amien.
Barakallahu
……….min na waminkum.