Tuesday 16 February 2016

SIAPAKAH yang lebih dahulu MASUK SURGA



Soal Surga dan Neraka adalah masalah iman, tak dapat di jelaskan secara tuntas dengan contoh dan bukti nyata selama kita hidup di dunia ini. Jelas semua agama memberikan motovasi kepada ummatnya bahwa, kelak setelah kiamat, orang-orang yang baik dalam menjalani hidup ini dengan tekun ibadah akan mendapat  ganjaran berupa masuk ke dalam Surga.
Iseng-iseng sambil nunggu suatu antrian, seorang temanku yang udah lama tak bertemu, bertanya / bercerita kepadaku akan perihal “Siapakah yang lebih dahulu masuk Surga”.
Pertanyaan sulit memang.  Aku pernah mendengar seorang khatib Jum’at mengatakan:
·         Ketika seorang yang mati dalam berjuang berperang di perang menegakkan agama, ternyata di depan pengadilah Allah, dianya tidak masuk surga. Rupanya ketika dia berjuang, terselip niatnya adalah untuk mendapat penghargaan sebagai pahlawan, untuk dikenang  sebagai orang yang gagah berani. Orang itu naik banding, dengan menyebut perjuangannya. Allah mengatakan bahwa engkau sudah mendapatkan apa yang engkau inginkan. Di dunia engkau sudah diangkat sebagai pahlawan, keberanianmu sudah dijadikan buah bibir orang yang hidup sezaman denganmu sampai  anak cucunya.
·         Ada lagi seorang, pendakwah agama, ternyata tidak lolos ke Surga juga. Kenapa rupanya, selama di dunia dia berdakwah untuk popularitas dan mendapatkan sanjungan dari ummat serta memperoleh manfaat berlebihan dari dakwahnya itu. Begitu juga jawaban Allah, bahwa hal-hal tersebut sudah diperoleh selama di dunia. Di Dunia dia mendapat  sanjungan “ustadz top”, di dunia engkau sudah populer, saking populernya engkau; undangan yang amplopnya tipis engkau kesampingkan.
·         Tiba giliran seorang dermawan, juga urung masuk ke surga, karena rupanya dianya selama di dunia berderma minta dipublikasikan, agar dinilai dermawan oleh manusia. Enggan dia keluarkan hartanya kalau tidak diliput  televisi, kecil jumlah dia berderma kalau panitia dikiranya tidak akan mengumumkannya. Keinginannya ternyata sebagian besar telah didapat di dunia, sebagai dermawan besar,  walau ada juga yang mencemooh “dermawan pamer”.
·         Juga rupanya ahli ibadahpun, belum juga dapat memastikan diri masuk ke surga, jika dalam ibadahnya masih terselip keinginan pamer dan riya. Belum tentu pak Haji atau bu Hajjah yang lebih dulu masuk surga, kalau hajinya untuk sekedar malu ama tetangga, karena semua se RT yang tua-tua udah pada haji diapun berupaya berangkat ke tanah suci. Hajinya hanya sekedar agar di sapa dengan sebutan Bu Hajjah dan Pak Haji. Apalagi kalau untuk mendapatkan haji dengan dana yang kurang jelas, sama saja berwudhu dengan air najis.
Temankupun melanjutkan cerita, bahwa kelak di akhirat (tentu saja ceritanya rekaan belaka). Bahwa nanti disana ketika di sidang, untuk menentukan siapakah yang lebih dahulu masuk  ke Surga. Berperkaralah seorang  Pendeta dengan seorang supir Metro Mini  yang habis minum.
Ternyata yang lebih dahulu masuk ke Surga, adalah si Supir mabok. Lantaran dia ketika menyetir mobilnya dalam keadaan mabok, mobil dikendalikan ngebut dan oleng, sehingga para penumpang  menyebut  nama Tuhan, sebab merasa cemas, merasa takut. Nama Tuhan disebut dengan ikhlas karena dalam keadaan takut memohon kepada Tuhan akan keselamatan masing-masing. Nama Tuhan bergema serentak di dalam mobil.
Kenapa Pendeta jadi lebih belakang masuk surga dari “Supir mabok”? tanyaku. Temanku lebih jauh menjelaskan bahwa memang  Pendeta, memberikan wejangan/mengucapkan khutbah dihadapan jemaahnya. Tetapi si pendeta ndak menyadari bahwa jemaah yang mendengarkan tidak sungguh-sungguh mendengarkan, hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja dan tak jarang ada yang ketiduran. Belum lagi si Pendeta, belum tentu dapat mengamalkan apa yang di khutbahkannya,  dalam pada itu jemaahnyapun sepulang dari mendengarkan khutbah, belum tentu menerapkan nasihat khutbah dalam kehidupan se-hari-hari.
Ooh kalau begitu belum dapat dipastikan “Siapakah  yang lebih dahulu masuk Surga”.
Kembali ku ingat  ceramah Ustadz, bahwa zaman sebelum ummat kini, manusia dapat hidup ratusan tahun. Tersebut kisah seorang ahli ibadah, beribadah selama 500 tahun, tanpa menghiraukan banyak hal-hal duniawi. Ketika di penentuan masuk Surga, maka dipanggillah ahli ibadah ini: “MASUKLAH ENGKAU KE DALAM SURGA DENGAN/KARENA RAHMAT-KU” kata Allah Penguasa dan Raja di hari perhitungan itu. Si Ahli ibadah protes: “Kenapa aku masuk Surga kerena Rahmat-MU, bukankah aku telah beribadah kepada-MU selama 500 tahun, jadi ibadahkulah memasukkan aku ke Surga”. “Baik kalau engkau minta itung-itungan”,  kata Allah. Diperhitungkanlah ibadah selama 500 tahun, dengan nikmat yang diterima si ahli ibadah selama di dunia. Ternyata setelah dihitung, ibadah 500 tahun itu hanya cukup untuk meng-cover nikmat “mata” yang diberikan Allah untuk ybs.,
Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman kini, rata-rata hidup antara 70 han tahun dan mungkin ibadah intensip baru dilaksanakan di usia 20 tahunan, jadi hanya 50 tahunanlah ibadah. Mungkin ibadah 50 han tahun itu, hanya dapat menutup nikmat Allah berupa tumbuhnya rambut (bagi yang ndak botak) dan tumbuhnya kuku (bagi yang berjari). Waluhu A’lam bishawab.

Monday 15 February 2016

SIAPAPUN TAKUT MATI



Dialih bahasa secara bebas dari bahasa Jawa  tulisan “Sri Setyo Utami”, Jawa Timur.
Alkisah, maling  buah jeruk di kebun dekat kuburan merunduk-runduk memetik jeruk ranum di kebun seseorang di wilayah tak jauh dari kompleks kuburan umum. Baru saja terpetik kira-kira separo karung, anjing pemilik kebun menggonggong. Lantaran gonggongan anjing, kedua maling lansung lari terbirit-birit . Lokasi pelarian yang terdekat adalah kompleks pekuburan umum. Sampai di gerbang kompleks kuburan, tak disengaja jatuh dua buah jeruk di sekitar pintu gerbang. Maklum lagi tergesa-gesa, maka yang ketugasan manggul karung, berguman “biar aja nanti kalau sudah aman baru kita ambil, yang penting kita selamatkan diri”.
Alhasil sambil menahan nafas yang  terengah-engah , kedua maling mengendap berdiam diri diantara nisan kuburan, sambil menunggu keadaan aman dan lolongan anjing berhenti. Rupanya keadaan amanpun datang, mereka tak ingin lagi menambah isi karung, tiba saatnya membagi hasil. Maling yang satunya menggelar karung kosong, dan maling pemanggul membuka mulut karung dan mereka mulai membagi. “Satu untuk kamu, satu untuk saya, satu untuk kamu, satu untuk saya”. Begitu terus berulang-ulang sampai isi karung pindah ke tumpukan karung yang digelar di kegelapan malam, yang hanya ada sedikit cahaya bintang dan lampu penerangan jalan dan lampu samping rumah tetangga kuburan.
Rupanya sementara mereka berhitung, ada seorang anak muda melintasi kuburan menuju rumahnya yang juga tetangga kuburan.  Suara  “satu untuk kamu, satu untuk saya” ini,  mengundang ia selidik, pemuda tersebut selanjutnya  mendengarkan lebih seksama. Suara itu terus-terusan, tapi tidak terlihat ada manusia. Suasana hening kuburan, diselaputi  sugesti angker kuburan. Pemuda tadi mikir pasti ini suara mahluk halus entah Jin atau mungkin juga Malaikat.
Singkat kisah, ia langsung terpikir ke ustadz dianya belajar ngaji yang rumahnyapun jiran pekuburan umum itu. Langsung di gedor pintu pak ustadz dengan gemetaran yang tinggi, sehingga lutut si pemuda rasanya sudah mau copot ketakutan. Ustadz membuka pintu begitu mendengar suara tergopoh gopoh di luar memberi salam. “Ee Jo waalaikum salam, ada apa ni begitu gopoh”. “Ustadz-ustadz, ayo kita dengar suara di kuburan, belum pernah saya dengar begitu selama ini” jawab Paijo kepada Ustadz.
Merekapun berdua dengan hati hati menuju ke gerbang pekuburan, tempat suara itu bersumber menurut “Paijo”. Benar juga pembagian masih berlangsung, terus hitungan “satu untuk saya, satu untuk kamu”.  “Ustadz itu suara malaikat pencabut nyawa ya, mereka sedang membagi tugas mencabut nyawa, “satu untuk kamu satu untuk saya”. “Entahlah” kata ustadz sambil melebarkan daun telinganya dengan tangan, untuk memastikan suara itu. Terakhir terdengar suara “Sudah kita sudah bagi adil, sedangkan yang dua di depan pintu gerbang, juga satu untuk saya, satu untuk kamu”.  Mendengar itu si Paijo dan Guru Ngajinya lari terbirit birit, karena dikira mereka akan di cabut juga nyawanya dengan pembagian “satu untuk kamu, satu untuk saya” dibagikan si pencabut nyawa. Padahal yang dimaksud adalah jeruk yang jatuh di pintu gerbang ketika masuk terburu buru di salak anjing. Rupanya sama saja si Paijo juga takut dicabut nyawanya, demikianpun ustadz.
Terimaksih Mbak Utami