Saturday 14 February 2015

KAMBING HITAM



Istilah “Kambing Hitam” sudah populer demikian lama, sebelum kita-kita ini lahir kambing hitam yang benar-benar seekor kambing berbulu hitam sudah ada dan istilah “Kambing Hitam” juga sudah dipakai untuk suatu ungkapan kiasan.
 

Banyak orang yg  mengartikan ungkapan “Kambing Hitam” adalah suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan;  “me·ngam·bing·hi·tam·kan” menjadikan kambing hitam; mempersalahkan; menuduh bersalah: sikapnya selalu menyalahkan orang lain, padahal sebenarnya dia sendiri yg berbuat kesalahan.
Persoalannya adalah KENAPA BANGSA KITA INI SUKA MENCARI KAMBING HITAM dalam setiap ada permasalahan.
Agaknya ini harus diakui, bahwa selama ini sudah terlanjur salah pola sejak masa kecil kita. Setiap hari sebagian dari kita dijejali oleh generasi yang membesarkan sebagian dari kita, untuk terbiasa dengan sesuatu yang mengarahkan ke model “Kambing Hitam”.
Salah satu contoh konkrit bahwa  sampai saat ini, masih sering kita dengar ketika anak disuapi makan. Jika si anak agak rewel tidak mau makan, enggan membuka mulutnya, maka kiat mengalihkan perhatian si anak mulai dilakukan.  Si penyuap makanan mengalihkan perhatian dengan menunjuk Cecak didinding, sebetulnya Cecak tidak ada kaitannya dengan permasalahan si anak yang sedang tidak mau disuapi makanan, tidak ada kaitannya dengan keengganan si anak membuka mulut. Kiat pengalihan ke cecak ini agaknya banyak yang sukses, perhatian si anak teralih dan membuka mulut, sendokpun masuk suap demi suap untuk menghabiskan porsi makanan tersedia.
Hal ini berlangsung terus hari kehari sampai anak ini besar dan siap makan sendiri tanpa disuapi. Pengalihan perhatian ini juga bukan sekedar ketika akan makan saja, tetapipun digunakan juga manakala si anak rewel, menangis oleh sesuatu sebab yang kurang diketahui. Untuk menghentikan tangisnya, bukannya dicari penyebab anak itu menangis, melainkan dialihkan perhatian si anak dengan sesuatu yang lain, kadang cecak, kadang kendaraan lewat, kadang bunyi sesuatu dan seterusnya. Teknik pengalihan perhatian ini, terus menerus diterapkan semasa masih belum bisa ngomong, sampai beranjak besar, pelajaran itu membekas di memori sebagian anak bangsa ini. Pusaka inipun diwarisi dan diturun persis terus menerus, ketika si bayi tadi punya bayi lagi, terus menerus dari generasi ke generasi. Agaknya itu membekas sampai tua dan sampai sekarang sudah menjadi kebiasaan bahwa kalau ada suatu kesalahan dicarikanlah “Kambing Hitamnya”.
Supaya berimbang, dalam tulisan inipun harus kukemukakan bahwa budaya bangsa kita juga mencegah perilaku mencari “Kambing Hitam” hal tersebut terbukti ada pepatah lama yang mungkin disebagian anak muda zaman kini sudah usang dan tak diketahui lagi kalimatnya apa lagi artinya.  Itu pepatah masih tersimpan baik dalam pustaka memoriku bunyinya begini: “KALAU DIRI TAK PANDAI MENARI,  JANGAN SALAHKAN LANTAI TEMPAT BERDIRI” atau ada yang sanat pepatahnya berbunyi: “MENARI TAK PANDAI,  JANGAN MENYALAHKAN LANTAI”.
Untuk diketahui anak muda sekarang bahwa dulu lantai orang dibuat dari papan yang ditumpangkan di atas rangka bangunan rumah (umumnya rumah waktu itu rumah panggung). Sedangkan menari kan harus mengikuti irama gendang (sekarang musik). Akan terlihat tidak harmonis kalau si penari menari tidak sejalan dengan irama gendang, apa lagi jika menari berkelompok. Si penari ternyata salah menarinya tidak sesuai irama gendang, atau jika menari kelompok tidak seragam dengan penari lainnya. Ketika dikoreksi atau di diberitahukan penonton “kenapa tadi menarinya salah”. Si penari menjawab “tadi lantainya ada yang lepas pakunya, sehingga ketika diinjak menjungkit”. Itulah makna dari pepatah di atas, padahal lantai tidak apa-apa tapi si penari menyalahkan lantai. Pepatah memesankan “jangan salahkan lantai, kalau anda tak pandai menari”. Mengaku sajalah, kurang latihan.